Tingalan Jumenengan Jadi Momentum Kembali “On The Track” dan Percepatan
IMNEWS.ID – BERJALANNYA kembali berbagai jenis kegiatan adat di Kraton Mataram Surakarta yang ditandai dengan momentum “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton”, 17 Desember (iMNews.id, 18/12/2022), bisa menjadi refleksi seluruh keluarga besar masyarakat adat Mataram Surakarta dan juga warga peradaban secara luas, terutama yang masih mengakui asal-usulnya dari peradaban Jawa. Karena, waktu lima tahun yang lewat begitu saja sejak April 2017 akibat friksi keluarga yang memuncak tetapi diselesaikan dengan gaya “mirip operasi militer” itu, seakan terbuang sia-sia, padahal waktu sangat berharga bagi kraton yang sebenarnya sudah sedikit terlambat melakukan proses regenerasi untuk menjaga kelancaran kelangsungannya.
Bergulirnya kembali tradisi gladen tari Bedaya Ketawang tiap weton Anggara Kasih yang sudah berulang dua kali, yang dilengkapi dengan ritual “Ngesis wayang” di gedhong Sasana Handrawina (iMNews.id, 24/1/2023), merupakan contoh upacara adat yang masuk kategori penting dan bisa kembali dijalankan otoritas lembaga masyarakat adat di internal kraton yang digerakkan kantor Pengageng Sasana Wilapa itu. Bahkan, ritual wilujengan Dhukutan (Wuku Dhukut-Red) yang jatuh setiap 6 bulan sekali itu, untuk kali pertama atau perdana kembali dilakukan di teras Maligi Pendapa Sasana Sewaka, Senin Wage malam (23/1/2023).
“Ya, betul sekali. Banyak di antara kita lupa atau tidak sadar, bahwa semua yang bekerja di kraton terutama generasi saya, rata-rata usianya sudah menginjak 60-an dan harus memikirkan siapa yang akan meneruskan pekerjaan pelestarian dan menjaga kelangsungan kraton. Seharusnya sudah kita siapkan beberapa waktu lalu. Tahun 2004 generasi berganti dari era Sinuhun PB XII kepada generasi putra/putrinya. Saat itu sudah mulai kami siapkan beberapa wayahdalem yang sudah siap. Tetapi, insiden 2017 telah memutus proses regenerasi itu. Lima tahun seakan terbuang sia-sia. Meskipun masih banyak yang kita lakukan di luar, termasuk melakukan proses regenerasi itu sebisanya. Sekarang, adalah kesempatan baik untuk mempercepat proses itu,” ujar Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa, saat diwawancarai iMNews.id di teras Nguntarasana, belum lama ini.
Dengan kembalinya seluruh bebadan dan jajaran “kabinet” 2004 yang dipimpin Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa yang secara simbolis digenapi dengan gelar ritual “tingalan jumenengandalem” Sinuhun PB XIII, 16 Februari, harus dimaknai sebagai kembalinya “gerbong” semua perangkat yang sudah “on the track” untuk meneruskan pekerjaan terutama mempercepat proses regenerasi. Tampilnya putra mahkota tertua KGPH Hangabehi, KRMH Kusumo Adilogo, KRMH Manikmaya, KRMH Kusumo Wibowo dan BRM Parikesit di generasi muda lelaki, sementara di generasi muda wanita baru muncul GKR Timoer Gusti Devi, perlu ada percepatan penguasaan materi dan referensi budaya dan aset yang ada, tetapi perlu dipercepat pula bergabungnya generasi muda yang lain.
Lahirnya “Pusdiklat” tari Bedaya Ketawang akibat adanya tim penari “yang tak jelas asal-usulnya” dan “dipaksa” tampik di ajang ritual tingalan jumenengandalem 2018-2022, di satu sisi tentu menjadi beban bagi Pengageng Sasana Wilapa untuk melakukan penyelesaian yang terbaik dan bijak. Di sisi lain, secara tidak langsung memudahkan proses rekrutmen yang tinggal menguji mereka dengan proses sesuai aturan adat yang berlaku, hingga mereka yang tersaring nanti benar-benar sesuai yang diharapkan secara adat. Proses regenerasi tari Bedaya Ketawang juga perlu percepatan, karena hanya Ika Puspawinahyu seorang yang sudah lulus uji secara lengkap sebagai penari Bedaya Ketawang, padahal jumlah penari yang siap sedikitnya harus 9 orang.
Percepatan regenerasi di bidang-bidang tertentu misalnya para penari Bedaya Ketawang, mutlak perlu karena tarian sakral itu menjadi ikon sekaligus supremasi Mataram dalam arti karya berbeda dengan yang ada di antara Catur Sagatra dalam hal kelahirannya, makna filosofi, fungsi simbolisme, spesifik, eksklusif dan beberapa terminologi lain yang positif dan jauh dari kesan superioritas, kecongkaan kekuasaan secara pribadi dan lembaga dan unsur-unsur kesombongan lainnya. Kesadaran untuk kembali bekerja menjalankan tugas dan tanggungjawab pelestarian budaya (Jawa) dan menjaga kelangsungan kraton dengan percepatan proses regenerasi dalam koridor paugeran adat atau “on the track”, agar nasib Kraton Mataram Surakarta tidak seperti Kadipaten Mangkunegaran yang sudah “terkooptasi” penguasa.
Lima tahun lebih Kraton Mataram Surakarta ibarat “berjalan dalam kegelapan”, menjadi “warning” keras bagi seluruh keluarga besar masyarakat adat yang kini terlembaga dalam organisasi Pakasa yang tersebar di sejumlah daerah yang luas, bahkan menjadi peringatan keras bagi publik secara luas yang tidak terasa masih menggunakan/menjalankan unsur-unsur budaya Jawa sampai hal terkecil dalam kehidupannya. Karena benar kata Ketua PW Muhammadiyah Jateng, KRAT Dr KH Tafsir MAg (iMNews.id, 1/10/2022), bahwa Sinuhun Paku Buwana XIII sudah “bukan pemimpin agama” (Khalifatullah Sayidin Panatagama-Red) bagi Kraton Mataram Surakarta, karena organisasi Muhammadiyah telah “meninggalkan dan lupa” dengan kraton.
Pernyataan itu jelas menjadi “warning” bagi Kraton Mataram Surakarta yang sejak kelahirannya pada 17 Sura Tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745 jelas membawa label dan stampel serta meneruskan Kraton Mataram Islam yang didirikan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Oleh sebab itu, kerja pelestarian budaya Jawa dan upaya menjaga kelangsungan kraton “on the track” dalam koridor paugeran adat yang sudah dimulai Gusti Moeng selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) selama 5 tahun di luar kraton, sangat jelas ingin meneguhkan kembali simbol Islam Kraton Mataram Surakarta yang didirikan Sinuhun PB II itu.
Oleh sebab itu, tidak aneh ketika Gusti Moeng menyebut tari Bedaya Ketawang merupakan simbol Mataram Islam Surakarta, selain diciptakan tokoh pendiri Mataram Islam itu, di dalam karya tari juga tersirat dalam lirik cakepan gending iringannya yang penuh nilai-nilai ketuhanan. Bahkan para penarinya, disebutkan harus memiliki kekuatan spiritual kebatinan, juga spiritual religi yang mulai dibukakan jalannya melalui acara khataman Alqur’an tiap Rabu malam, selain kewajibannya beragama, meskipun kesempatan menjadi penari Bedaya Ketawang juga terbuka bagi yang berkeyakinan lain.
Khataman Alqur’an, tahlil dan dzikir memang sangat masuk akal ketika diinisiasi secara intensif oleh Gusti Moeng, baik dalam rangka mengembalikan kewibawaan, harkat dan martabat kraton maupun untuk meneguhkan simbol dan ciri Mataram Islam itu. Percepatan proses regenerasi yang “on the track” tetap pada paugeran adat inilah, yang sebenarnya dimaksudkan untuk segera mengembalikan kewibawaan, harkat dan martabat Kraton Mataram Surakarta secara fisik untuk melengkapi yang sudah mulai dilakukan secara nonfisik, agar kelangsungan kraton tetap terjaga sampai akhir zaman dan tetap berwibawa, punya harkat dan martabat yang nyaris habis dan musna dalam 5 tahun sejak April 2017. (Won Poerwono-habis/i1)