“Raja” Dengan Sederet Jasa, Karya dan Prestasi
IMNEWS.ID – SEMANGAT cinta Tanah Air, patriotisme, cinta budaya serta cinta damai, jelas melandasi sejarah perjalanan Kraton Mataram Surakarta yang sudah mulai dipancarkan sejak Sinuhun Paku Buwana III (1749-1788) yang disebut peneliti sejarah Dr Purwadi dan Dr Widodo Aribowo (Asga) sebagai “Bapak Perdamaian” (dinasti), sejak “nagari” Mataram Surakarta didirikan Sinuhun PB II pada 20 Februari 1745 atau 17 Sura Tahun Je 1670. Peradaban di bawah kepemimpinan para tokoh Mataram Surakarta silih-berganti dan terus berjalan mengikuti perjalanan zaman (Nut jaman kelakone) yang berturut-turut ditorehkan para penerusnya sampai 200 tahun pada titik 17 Agustus 1945.
Perjalanan menyambut perubahan di alam dunia baru sudah terasa sejak Sinuhun PB IV (1788-1820), VI (1823-1830), IX (1861-1893), dan ketika tatanan dunia baru di bidang sosial politik dan kebebasan mulai dihembuskan pada zaman Sinuhun PB X dan XI. Zaman-zaman yang disebut perintisan kemerdekaan di era Sinuhun PB X (1893-1939) dan XI (1939-1945) itu, kemudian menempatkan Sinuhun PB XII sebagai tokoh yang memaknai Proklamasi Kemerdekaan RI di tahun 1945 dan terus memperlihatkan “dharma bhakti”nya kepada Tanah Air dan dunia, sampai akhir hayat di tahun 2004.
Deretan nama tokoh pemimpin Mataram Surakarta itu disebut satu-persatu oleh GKR Wandansari Koes Moertiyah ketika membacakan “Sejahdalem SISKS Paku Buwana XII” (Karaton Mataram Surakarta Hadiningrat) sebelum doa, tahlil dan dzikir dipanjatkan sekitar 400 warga masyarakat adat dari berbagai elemen yang tergabung dalam Lembaga Dewan Adat (LDA) Kraton Mataram Surakarta, Sabti (12/11/2022). Warga masyarakat adat yang datang dari sejumlah Pakasa cabang di berbagai daerah di Jateng, Jatim dan DIY serta keluarga besar di kraton sebagai pusat pengurus Pakasa, mengikuti doa, tahlil dan dzikir pada ritual khol ke-15 Sinuhun PB XII yang digelar LDA di Pendapa Sitinggil Lor, belum lama ini (iMNews.id, 12/11/2022).
Karena tema haul atau khol Sinuhun PB XII erat kaitannya dengan kepahlawanan, maka tidak aneh apabila naskah riwayat singkat atau sejarahdalem raja yang disebut “Sinuhun Amardika” itu banyak mengemukakan fakta data kekaryaan, jasa, dan prestasi yang memberi nilai-nilai manfaat bagi kehidupan peradaban tak hanya bagi “Republik”, melainkan juga dunia. Tema kepahlawanan “Sinuhun Amardika” sangat ditandaskan GKR Wandansari Koes Moertiyah yang disapa Gusti Moeng itu, terutama mengenai jatidiri GRM Surya Guritna yang lahir pada 14 April 1925 dari garwa prameswari GKR Paku Buwana (permaisuri SISKS PB XI-Red), yang kelak pada hitungan 35 hari sebelum NKRI lahir, jumeneng nata sebagai SISKS Paku Buwana XII.
Di situ ditegaskan, seorang calon pemimpin Kraton Mataram Surakarta sebagai kraton Islam penerus Mataram Kerta (Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma) memiliki gelar sebagai pemimpin agama selain sebagai pemimpin negara, pemimpin adat dan kepala pemerintahan. Gelar itu diperoleh GRM Surya Guritna saat namanya sudah berubah menjadi KGPH Purubaya, yang kemudian menjalani prosesi persiapan menjadi raja untuk menerima gelar Adipati Anom dengan sebutan Kangjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Amangkunagara Sudibya Narendra Mataram.
Begitu menobatkan diri sebagai raja pada Jumat Pahing, tanggal 19 Rejeb Tahun (Jawa) 1876 atau 12 Juli 1945, maka nama dan gelarnya berubah menjadi Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Senapati Ing Ngalaga Ngabdurarahman Sayidin Panatagama Kaping XII. Kata “Panatagama” itu berarti seorang Raja Mataram punya gelar sebagai pemimpin agama, untuk meneruskan tradisi para pendahulunya. Walaupun proses yang dilalui KGPH Hangabehi seperti itu, tetapi ketika menjadi SISKS PB XIII sepertinya “sudah melepas” gelar pemimpin agama, seperti disinggung Ketua Umum PW Muhammadiyah Jateng KRAT Dr KH Tafsir MAg saat bersarasehan di Pendapa Sitinggil Lor, beberapa waktu lalu (iMNews.id, 1/10/2022).
Ilustrasi itu sekadar memberi gambaran tentang kapasitas pribadi seorang pemimpin adat di Kraton Mataram (Islam) Surakarta selepas 200 tahun berdaulat (1745-1945), kemudian meneruskan perjalanannnya di alam “Republik” yang dimulai ketika kedaulatan politik dan wilayahnya sudah “digabungkan” SISKS PB XII ke NKRI, dan “seharusnya” tinggal diteruskan dan dimaknai dengan baik oleh SISKS PB XIII. Tetapi, karena temanya adalah kepahlawanan yang sangat cocok dengan “atmosphere Bulan Pahlawan”, maka SISKS PB XII-lah yang paling cocok dibahas Gusti Moeng, dan memang itulah “hot issue” dari “core message” yang disampaikan melalui ritual khol ke-15 “Sang Pahlawan Sinuhun Amardika”.
Dalam riwayat singkat itu jelas tidak menyebut sedikitpun tokoh penerus yang membuat sejarah perjalanan Mataram Surakarta menjadi “kontra produktif”, melainkan menyebut sederet jasa-jasa, karya-karya dan prestasi “Sang Pahlawan Sinuhun Amardika”. Karena, dalam peristiwa bersama para pemuda laskar pejuang merebut senjata di markas tentara Jepang, Kompetai di kawasan Timuran (kini masuk Kecamatan Banjarsari-Red), itu menjadi satu di antara sejumlah fakta tentang dedikasi “Sang Pahlawan Sinuhun Amardika” yang sangat anti penjajah dan sebaliknya sangat “pro-republik”. (Won Poerwono-bersambung/i1)