“Mencintai Seni Budaya, Berarti Mencintai NKRI”
IMNEWS.ID – SEBUAH slogan yang terasa ringan atau tanpa beban untuk memahaminya, akhir-akhir ini berhembus dari wilayah lokal sekitar Surakarta dan lintas beberap provinsi hingga ke ranah nasional. Kurang begitu jelas pihak yang memulai memperkenalkan atau melempar ke ruang publik, tetapi ketika digali ke dalam esensi dan maknanya, punya penjelasan yang panjang-lebar namun mendasar yang dibutuhkan bagi identitas, cirikhas kepribadian bahkan keberadaan sebuah peradaban bangsa yang dibingkai dalam NKRI ini.
Karena memang benar, warga peradaban Jawa memang sudah dikenal memiliki asal-usul peradaban yang sudah terbentuk 200-an tahun selama Mataram Surakarta berdiri (1745-1945), belum lagi ketika kita melihat bagaimana peradaban Mataram Kartasura (1703-1745), Mataram Islam (1613-1703), Mataram Hindu (1588-1613) dan ratusan tahun pada peradaban sebelumnya yang telah melahirkan embriyo, mendewasakan hingga mematangkan peradaban dan produk-produknya. Oleh sebab itu, tidak salah apabila berbagai jenis seni budaya yang masih dipelihara Mataram Surakarta sebagai sumber dan pusat peradaban, serta yang berkembang dan bertahan di berbagai daerah dan wilayah dengan cirikhas kelokalannya, adalah “mark of identity” atau jatidirinya.
Dalam skema dan konstruksi seperti itu pula, 250-an kraton, kesultanan, kedatuan dan pelingsir adat yang telah menjadi pusat-pusat peradaban di wilayah masing-masing yang tersebar di Nusantara sampai 1945, juga memiliki “mark of identity” atau cirikhas jatidirinya yang benar-benar sangat bhineka. Mereka ini lalu bersepakat mendirikan sebuah bangsa dengan tetap menjaga kebhinekaan dan cirikhas jatidirinya, yang dibingkai dalam NKRI, berdasarkan Pancasila dan berjalan sesuai arah konstitusi UUD 45.
Digerogoti dan Dilemahkan
Oleh sebab itu, jatidiri bangsa ini adalah cirikhas “mark of identity” yang berhineka itu, yang disepakati untuk tetap dijaga sebagai ketanahan budaya nasional bangsa dan NKRI. Maka, tepat sekali kalau mantan Ketua PB NU KH Said Aqil Siradj dengan terang-terangan menegaskan ketika berpidato di depan warga Nahdliyin di sebuah tempat, di akhir masa pengabdiannya, di tahun 2021 yang menyebut bahwa “Bangsa Indonesia menjadi besar dan dikagumi bangsa-bangsa lain, karena budayanya. Bukan karena agamanya. Karena, cirikhas kepribadian bangsa Indonesia terletak pada keindahan budayanya”.
Rekaman pidato Ketua PB NU dalam bentuk Youtube yang beredar luas di media sosial itu, masih ada kelengkapan atau lanjutan yang kurang lebih menegaskan bahwa bangsa-bangsa yang mengedepankan agama sebagai cirikhas kebanggaan negaranya, justru banyak yang hancur dan tercerai-berai karena perang saudara dan hingga kini bisa mereka atasi. Dia juga memuji, bahwa bangsa Indonesia sudah tepat menjadikan cirikhas kepribadiannya di bidang budaya, sebagai kebanggaan bangsa dan negara, dan sudah terbukti membuat warga bangsa ini hidup dalam suasana rukun dalam keindahan kebhinekaannya.
Penilaian sekaligus pengakuan tegas Ketua PB NU itu memang fakta riil yang begitu adanya, bukan isapan jempol yang tidak bisa dibuktikan, atau bukan hanya cerita kosong. Walaupun, cirikhas “mark of identity” itu kini sudah tidak utuh terpancar dari 250-an lembaga masyarakat adat, tetapi tinggal kurang dari separonya. Oleh sebab itu, apabila peradaban Jawa telah melahirkan berbagai jenis seni budaya yang khas lokal daerah masing-masing, dan pernah mendarah-daging sebagai milik dan kebanggaannya, tidak sepatutnya kalau kini dbiarkan digerogoti dan dilemahkan oleh berbagai faktor dan anasir.
Sudah Meluas dan Mengakar
Melihat fakta-fakta itu, maka tidak aneh apabila Majlis Adat Kraton Nusantara (MAKN) yang diketuai KPH Edy Wirabhumi menangkap bola yang dilempar Ketua DPD RI La Nyala Mattaliti untuk menggalang kekuatan bersama komponen-komponen bangsa untuk memperkuat ketahanan budaya. Safari dan kesepakatan dilakukan dengan DPD RI, Kepala Staf Presiden, KSAD, Komisi X DPR RI, Kejagung dan beberapa lembaga tinggi negara lainnya, untuk merapatkan barisan dan bersinergi dengan pusat-pusat peradaban anggota MAKN, untuk kembali memperkuat cirikhas “Mark of Identity” dan memperkuat cirikhas kebhinekaan bangsa ini.
Yang sedang merisaukan dan sedang dihadapi, adalah sama, yaitu potensi ancaman anasir radikalisme dan intoleransi, seperti yang sudah tersulit pada Pilkada DKI 2017 dan semakin menajam menjadi politik identitas dari waktu ke waktu hingga kini. Oleh sebab itu, sebagai organisasi yang sudah punya reputasi di bidang penguasaan seni budaya, Putri Narpa Wandawa bisa mengambil porsi sesuai bidangnya, yang bisa disinergikan dengan berbagai kelembagaan pemerintah dan sosial lainnya sesuai kebutuhan, terutama elemen-elemen Lembaga Dewan Adat (LDA) seperti Pakasa, Mekar Budaya, Sanggar Pasinaon Pambiwara, Sanggar Pawiyatan Pedalangan, Sanggar Beksa Keraton Mataram Surakarta dan sebagainya.
Yang jelas, organisasi Putri Narpa Wandawa, Pakasa dan sejumlah elemen LDA lainnya sudah memiliki SDM dan materi pengetahuan tentang seni budaya yang akan disosialisasikan, tetapi seharusnya kalangan pemangku kebijakan seperti Pemkot dan jajaran tangan panjangnya yang proaktif membangun sinergi dan komunikasi untuk kebutuhan yang mendesak serta jangka panjang. Karena kebutuhan mendesak potensi ancaman anasir radikalisme dan intoleransi sudah semakin meluas dan mengakar, seperti fakta-fakta tentang berkembangnya sebuah aliran yang berpusat di Lampung, Sumatra, dan punya cabang pengurus cabang di sejumlah daerah di Jawa dan luar Jawa.
Bangsa Sedang Butuh
“Dulu, sebagai warga Kota Surakarta saya bangga karena tiap kelurahan punya gamelan dan kegiatan latihan karawitan. Tiap sekolah ada kegiatan ekstra karawitan dan seni tradisional lainnya. Intinya, mirip di Bali-lah, di setiap Banjar (sanggar desa) ada aktivitas seni. Tujuannya, untuk konsumsi turis, terutama asing. Saya berharap, di Solo juga begitu. Tetapi, sebelum ada pandemi kok sudah sepi. Padahal, situasi dan kondisi sekarang ini sangat butuh itu. Saya setuju slogan cinta budaya berarti cinta NKRI. Karena, yang melahirkan NKRI adalah bangsa berbudaya. Punya modal kuat, yaitu budaya yang bhineka. Mudah-mudahan Allah SWT meridhoi niat baik kita,” ujar KRAT Hendri Rosyad Wrekso Puspito saat berdiskusi dengan iMNews.id, sambil menyaksikan pentas wayang di markas/asrama TNI AD Grup 2 Kopassus Kandang Menjangan, Kartasura, Rabu malam (8/6).
Pertunjukan wayang kulit yang disajikan dalang Ki Danang Suseno dalam rangka ultah ke-70 Korps Kopassus sandi Yuda itu, disebut pemerhati budaya Jawa dan kraton dari sisi spiritual kebatinan itu bisa menjadi bagian dari jawaban adanya potensi ancaman anasir radikalisme dan intoleransi. Karena menurutnya, lembaga TNI sudah dikenal menjadi tulang punggung negara dan benteng pertahanan yang melindungi kesepakatan-kesepakatan yang pernah dicapai dalam mendirikan NKRI, yang berdasar Pancasila, UUD 45 dan cirikhas “Mark of Identity” yang plural bangsa ini.
KRAT Hendri Rosyad menyebut hampir di semua daerah seperti Kota Surakarta punya lembaga pendidikan ISI dan SMKI, itu merupakan modal kuat yang bisa diajak bersinergi dengan berbagai elemen yang dirangkul MAKN, yang dimiliki LDA dan bisa bergerak bersama TNI untuk mengatasi potensi-potensi ancaman di tiap wilayah, yang digerakkan melalui kebijakan secara nasional. Karena kebutuhan seperti itu, KRAT Hendri juga merasa senang mendengar kabar bahwa organisasi Putri Narpa Wandawa bisa eksis kembali, di saat bangsa ini sedang membutuhkan dukungan untuk penguatan ketahanan budaya regional Jawa, sebagai modal ketahanan budaya nasional. (Won Poerwono-habis/i1)