Tanah Aset Mataram yang Disewa Belanda, dari Ujung ”Jabar” Hingga Ujung Jatim
——————————————
IMNEWS.ID – URGENSI Belanda yang ”ngeyel” tetap melancarkan peperangan (Agresi Belanda I-II/1947-1949) di sejumlah wilayah di Nusantara walau sudah ada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, ternyata menyangkut keabsahan lahirnya NKRI itu. Maka bagi Belanda, esensi dan substansi PBB menginisiasi Konferensi Meja Bundar (KMB), adalah untuk menghindari tudingan bahwa tindakanya dinilai salah/melanggar di satu sisi. Di sisi lain, dia tidak mau dirugikan atas pemutusan perjanjian sewa kontrak (lange contract) tanah dengan ”nagari” Mataram Surakarta (iMNews.id, 2/1).
Dalam buku ”Suara Nurani Keraton Surakarta” (karya Dr Sri Juari Santosa/kini Prof Dr) disajikan tabel daftar lengkap tanah yang disewa VOC (Belanda) sejak masa pemerintahan Sinuhun PB II. Di situ disebutkan tanah-tanah itu disewa Gubermen Belanda pada tahun (Jawa) Be 1670, lokasinya ada di 41 titik yang tersebar di ujung barat pulau Jawa (kini Provinsi Banten) hingga ujung timur pulau Jawa, yaitu di Banyuwangi (kini Jatim).
Luas bidang tanah yang disewa VOC/Belanda sangat bervariasi, dari 100 karya hingga 12.000 karya. ”Karya” adalah satuan luas menurut perkembangan ilmu pengetahuan peradaban Jawa saat itu, yang perbandingannya setara dengan 400 meter persegi untuk setiap 1 karya. Jadi apabila VOC/Belanda menyewa sebidang tanah seluas 12.000 karya di Pekalongan pada zaman Sinuhun PB II, itu setara 4.800.000 meter persegi atau 480 hektare.
Prof Dr Sri Juari Santosa (FMIPA-UGM) menyajikan beberapa tabel tanah yang disewa, untuk membedakan antara daftar tanah yag disewa VOC/Belanda dan Inggris dalam beberapa kurun waktu kontrak perjanjian sewa dilakukan. Karena, selain tabel yang melukiskan terjadinya perjanjian kontrak sewa di masa Sinuhun PB II, juga ada tabel daftar tanah-tanah di Kedu yang disewa Inggris semasa Sinuhun PB IV, tahun (Jawa) Alip 1739.
Contoh-contoh tabel daftar sewa tanah ”kagungan dalem” (milik lembaga-Red) ”negara” Mataram tersebut, bisa melukiskan satu di antara sejumlah sumber penghasilan ”nagari” Mataram sejak berIbu Kota di Kartasura, apalagi setelah berIbu Kota di Surakarta (1745-1945). Banyaknya sumber-sumber kapital (permodalan) yang dimiliki ”nagari”, tentu menjadi tidak aneh ketika sebidang tanah berupa ”rawa-rawa” seluas lebih dari 90 hektare di Desa Sala, menjadi milik lembaga (kagungandalem) ”nagari” setelah dibeli dan dibayar lunas oleh Sinuhun PB II.
”Tanah seluas itu, untuk memindahkan Ibu Kota pusat pemerintahan ‘nagari’ Mataram, seperti yang masih bisa kita lihat sekarang ini. Dari lima naskah yang tersimpan di Museum Radya Pustaka, menyebut nilai tanah Desa Sala yang dibeli Sinuhun PB II berbeda versi. Ada yang menyebut 1.000 Gulden, dan ada data lain menyebut 3.000 Gulden. Tetapi intinya, tanah untuk memindahkan keraton di Surakarta ini dibeli secara syah dari Ki Gede Sala,” tegas KRRA Budayaningrat, yang dihubungi iMNews.id di sela-sela mengajar siswa Sanggar Pasinaon Pambiwara di Kayonan, Baluwarti, tadi sore.
Melihat potensi kekuatan ekonomi ”negara” Mataram sampai saat lahirnya NKRI di tahun 1945, jelas begitu vitalnya posisi Mataram Surakarta bagi NKRI. Bahkan Prof Dr Sri Juari menyebut, keraton masih bisa ”memberi” bantuan NKRI di tahun 1965 atau ketika NKRI sudah berusia 20 tahun. Sumbangan itu disebut sebagai bantuan yang sangat berarti bagi kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Bantuan itu memang sangat masuk akal, mengingat peristiwa demi peristiwa bermunculan silih-berganti sejak 1945 hingga 1965, yang membuat perjalanan republik ini harus terseok-seok untuk mengatasi, terlebih membiayai segala upaya yang dilakukan untuk mengatasi itu. Karenanya sangat wajar, apabila Sinuhun PB XII yang sudah kehilangan hampir semua kedaulatannya demi lahirnya republik, tetap bersimpati menyisihkan sisa-sisa asetnya guna membantu meringankan beban/kerepotan republik sampai di tahun 1965.
”Padahal Sinuhun PB XII dan Keraton Surakarta sudah difitnah habis-habisan, tetapi tetap berkomitmen kepada republik. Yang namanya kekurangan itu ada pada siapa saja. Plus-minus selalu menyertai kehidupan di mana saja, termasuk di keraton. Tetapi, apa ‘eleke’ keraton, selamanya ‘elek’ terus? Apa semua jadi ‘elek’?. Sekarang, semua sudah terbuka. Bukti-bukti bermunculan. Hampir semua stigma negatif yang dituduhkan (kepada Sinuhun dan keraton), ternyata tidak ada yang terbukti,” tegas Ketua DPD Partai Golkar Surakarta, RM Koes Rahardjo dalam wawancara dengan iMNews.id, menjelang sarasehan Hari Pahlawan, akhir November 2021 lalu.
Setiap peristiwa yang dihadapi Keraton Mataram Surakarta secara langsung maupun tidak, memang memberi makna yang luar biasa khususnya bagi sejarah perjalanan Mataram sampai pasca 1945. Sebaliknya, keberadaan Mataram Surakarta yang eksis sebagai negara selama 200 tahun (1745-1945), banyak memberi makna terhadap kehidupan peradaban secara luas. Bahkan sampai disebut tinggal ”sak megroking payung”pun, Keraton Surakarta tetap memberi makna bagi kehidupan peradaban yang telah diwarnainya.
”Kalau tidak ada Mataram Surakarta, belum tentu ada NKRI. Tanpa ada Mataram Surakarta, belum tentu ada UNS. La wong rumah tangga istana (Presiden) saja mengadopsi yang sudah ada di keraton kok, gimana? Perguruan Islam Mambaul ‘Ulum, itu contoh nyata sumbangan keraton di bidang pendidikan. UNS sudah dipinjami Pendapa Pagelaran untuk kantor pusat dan perkuliahan. Rektor pertamanya, bahkan eyang GPH Haryo Mataram SH. PKJT (embriyo TBS/TBJT) dan ASKI (embriyo ISI), juga diinisiasi dan difasilitasi keraton. La, sekarang gimana? Republik ini berbuat apa terhadap keraton?,” tegas Gusti Moeng selaku Ketua LDA Keraton Mataram Surakarta dalam berbagai kesempatan ngobrol dengan iMNews.id, sebelumnya.
Bagi Dr Purwadi (Ketua Lokantara) dan Kusno S Utomo (Lembaga Pusadi Jogja), ada makna lain dari KMB yang juga penting, yaitu sepucuk surat yang dikirim Wapres M Hatta di sela-sela memimpin delegasi RI di Den Haag (Belanda) hingga 27 Desember 1949 itu. Surat yang ditujukan kepada Kementerian Pertahanan RI yang berkedudukan di Jogja itu, menegaskan bahwa pemerintah NKRI tetap pada sikap dan pendiriannya mengakui Daerah Istimewa Surakarta sesuai UUD 45. (Won Poerwono-habis)