Menyambut 2022 Tetap Tegar dan Gigih Berjuang, Walau Tinggal “Tiga Serangkai”

  • Post author:
  • Post published:December 26, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:8 mins read

Jalan Masih Panjang dan Semakin Banyak Rintangan Mengadang  

IMNEWS.ID – SELAMA dua tahun nyaris penuh sejak awal 2020, hampir seluruh bangsa-bangsa di dunia terkungkung pandemi Corona. Kehidupan menjadi semakin berat, tantangan menjadi semakin banyak. Khususnya bagi bangsa/negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, yang baru mencicipi hasil-hasil di alam kebebasan yang dirintis dari krisis politik dan krisis ekonomi pada tahun 1998.

Kalau dalam skala nasional kehidupan bangsa ini menjadi semakin berat dan semakin banyak menghadapi rintangan/tantangan menghadang, bagaimana dalam lingkup kecil seperti yang sedang dihadapi Keraton Mataram Surakarta? Bagaimana pula ketika masyarakat adat penerus Dinasti Mataram di Surakarta itu dalam keadaan terbelash dua? Bagaimana masing-masing bagian menghadapi rintangan/tantangan serupa yang dihadapi bangsa/NKRI, juga bangsa-bangsa di dunia?

PUTRA MAHKOTA : Putra Mahkota KGPH Mangkubumi, kini tinggal satu-satunya tokoh lelaki yang sedang dipersiapkan dan didorong Trio Srikandi serta elemen LDA lainnya, termasuk KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, menghadapi saat proses regenerasi kepemimpinan ayahanda, ”raja” Sinuhun PB XIII yang kini jumeneng di Keraton Mataram Surakarta.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Menjelang datangnya tahun 2022, bisa disebut menjelang datangnya tahun ketiga masa pandemi Corona, meskipun pemerintah RI sedang mengkalkulasi situasi dan kondisi untuk menentukan level pandemi ini menjadi level yang lebih ringan bernama endemi itu. Terlepas dari persoalan teknis penanganan dan kalkulasi kondisi riilnya, tahun 2022 banyak pihak yang memperkirakan dunua dan khususnya Tanah Air, belum bisa kembali ke kehidupan yang benar-benar normal seperti sebelum dilanda virus Covid 19 itu.

Itu berarti, tahun ketiga yang diasumsikan masih dalam suasana pandemi, bangsa dan negara yang di dalamnya ada Keraton Mataram Surakarta, tetap akan menghadapi situasi dan kondisi serupa. Derajatnya bisa sama, menjadi lebih ringan atau justru lebih berat, akan sangat tergantung dari perkembangan global terutama dalam masalah penanganan pandemi Corona dan perkembangan variannya, sekaligus bagaimana ditemukan jurus-jurus jitu untuk pemulihan perekonomian nasional, regional dan global.

TRIO SRIKANDI : ”Trio Srikandi” Gusti Moeng, Gusti Timmoer dan Gusti Ayu, adalah Tiga Serangkai wanita pendekar yang tersisa. Walau ”berjuang” di luar keraton, tetapi daya juang dan dan daya jelajahnya untuk menjaga kelestarian budaya dan Keraton Mataram Surakarta, luar biasa. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dengan melihat posisi terkini, di satu sisi ada belahan separo masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta berupa keluarga kecil dan para pengikut yang ”bertopeng” sosok Sinuhun PB XIII yang menutup diri dari dunia luar, mungkin saja situasi dan kondisinya kurang lebih sama ketika dibandingkan dengan belahan separo di sisi lain yang sedang ”berjuang hidup” bersama Gusti Moeng selaku Ketua LDA di luar keraton. Plus-minus tentu dimiliki masing-masing belahan masyarakat adat itu, ketika sama-sama menghadapi rintangan dan tantangan di tahun 2022.

Padahal bila diinventarisasi, tantangan/rintangan yang dihadapi di tahun 2022, mungkin sama atau lebih ringan bila benar-benar memenuhi syarat di level endemi, atau justru makin berat kalau dua indikator antara varian baru Corona berhasil menjebol ”pertahanan” RI dan defisit anggaran makin akibat pemulihan ekonomi tak menggembirakan, baik salah satu atau keduanya terjadi. Sementara, separo masyarakat adat yang berlindung di belakang Sinuhun PB XIII, hanya menggantungkan ”belas-kasihan” pemerintah lewat APBD/APBN tetapi tanpa akuntabilitas secara baik di satu sisi, dan separo masyarakat adat yang mengikuti Gusti Moeng makin berat perjuangannya di luar karena situasi perekonomian nasional dan global belum membaik, atau justru makin berat.

PENJAGA LINTASAN : Pemerhati budaya Jawa dan keraton dari kacamata spriritual, KRT Hendri Rosyad, ibarat seorang ”crew paddock” yang selalu memberi dorongan semangat kepada Gusti Moeng dan para tokoh pendekar ”penyelataman keraton” yang lain, agar tetap berpacu dan berlaga ”on the track”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

”Yang jelas, dengan adanya Lembaga Dewan Adat (LDA) memudahkan kita dalam berkomunikasi dengan siapapun. Apalagi, kalau diperlukan yang bersifat punya ikatan secara hukum tetap. Karena, badan hukum kelembagaan seperti itu sangat diperlukan lembaga-lembaga masyarakat tradisional/adat seperti keraton (Mataram Surakarta). Mingat, keraton punya hubungan sangat luas. Tidak saja sebatas dengan pemerintah (NKRI), tetapi juga dengan bangsa-bangsa lain. Baik dalam skala organisasi sosial (NGO) maupun pemerintah (GO),” jelas Gusti Moeng selaku Ketua LDA Keraton Mataram Surakarta, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.

Ketua LDA yang bernama lengkap GKR Wandansari Koes Moertiyah itu memang tidak menjelaskan posisi barisannya yang kini tinggal ”Tiga Serangkai”, setelah berturut-turut ditinggal 3 saudara kandung wanita pendekar seperjuangannya dalam dua tahunan selama pandemi. Tiga wanita pendekar pejuang ”penyelamatan” keraton dari ”kehancuran” yang semua kakaknya itu, adalah GKR Galuh Kencana yang meninggal akhir tahun 2019 di usia 69 tahun, GKR Sekar Kencana meninggal awal tahun 2021 di usia 68 tahun dan GKR Retno Dumilah meninggal medio tahun 2021 di usia 67 tahun.

GENERASI MUDA : Dorongan semangat banyak diberikan KRT Hendri Rosyad kepada Gusti Timoer, generasi muda yang tersisa bersama ”Tiga Serangkai” atau ”Trio Srikandi”, yang harus bersiap-siap menerima tongkat kepemimpinan dalam upaya penyelamatan keraton dari kehancuran, seperti yang kini dimotori sang bibi, Gusti Moeng. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Meninggalnya tiga kakak kandung seibu dengan Gusti Moeng, bahkan dengan Sinuhun PB XIII yang berseberangan dengan tegas sejak 2017, meninggalkan sisa-sisa kekuatan yang bisa disebut ”Tiga Serangkai”. Karena, selain Gusti Moeng dan si bungsu (dari garwadalem KRAy Pradapaningrum), ada anak tertua Sinuhun PB XIII yang bernama GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani. Anak tertua perempuan ini lebih bersimpati dengan bibinya, Gusti Moeng, dan mengikuti garis perjuangannya, hingga genap tiga wanita pendekar atau ”Tiga Serangkai” atau ”Trio Srikandi”.

”Trio Srikandi” atau ”Tiga Serangkai” wanita pendekar ini terus-menerus melakukan konsolidasi kekuatan ”pertahanan” dan bahkan meningkatkan ”daya serang/jelajah” (ekspansi). Terlebih, konsolidasi harus secara intensif dilakukan dengan KGPH Mangkubumi, mengingat tokoh-tokoh lelaki sudah banyak berkurang sejak meninggalnya KGPH Kusumoyudo, KPA Winarno Kusumo, GPH Nur Cahyaningrat, KPH Broto Adiningrat dan para tokoh abdidalem penting yang setia pada perjuangan Gusti Moeng lainnya, seperti dua juru suranata.

LEBIH BANYAK : Pemerhati budaya Jawa dan keraton, KRT Hendri Rosyad harus lebih banyak memberi dorongan semangat kepada Gusti Ayu, bagian dari Tiga Serangkai atau Trio Srikandi yang tersisa, mengingat perjuangan melestarikan Keraton Mataram Surakarta dan menjaga kelangsungan peradaban, tidak bisa hanya dipikul Gusti Moeng. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

”Terus terang saya bersimpati terhadap perjuangan Gusti Moeng dan para wanita pendekar itu. Terlebih, saya memandang perlunya dikawal dan dipersiapkan proses regenerasi, antara tokoh-tokoh generasi Gusti Moeng (kedua), ke generasi Gusti Timoer (ketiga). Keraton memang tinggal ‘sak megroking’ (sebesar lingkar) payung (mengembang). Tetapi, pelestarian budaya (Jawa) dan peradaban (Mataram), mutlak harus dilakukan dan dikawal kelangsungannya,” ujar KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, pemerhati budaya Jawa dan keraton secara spiritual, saat dihubungi iMNews.id di tempat terpisah.

KRT Hendri juga melihat, perjuanganan di tahun 2022 masih sama beratnya, bahkan rintangan dan tantangannya semakin banyak, terlebih jika saat proses alih generasi dari Sinuhun PB XIII kepada yang jumeneng Sinuhun PB XIV benar-benar terjadi. Terlepas dari semua itu, tugas dan kewajiban melestarikan budaya dan menjaga kelangsungan peradaban mutlak harus dilakukan, dan barisan Gusti Moeng di dalam ”Tiga serangkai” bersama KGPH Mangkubumi dinilai sudah berada di ”track” yang benar untuk keperluan itu. (Won Poerwono)