Tiga Tahun Sinuhun PB II Susun Kekuatan Bersama Warga Ponorogo (3-habis)

  • Post author:
  • Post published:December 25, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:8 mins read

Tumenggung Honggowongso Memimpin di Bidang Konstruksi Bangunan

IMNEWS.ID – BERAWAL dari ritual ”wilujengan Bubur Menang” untuk mendokumentasi peristiwa perjuangan segenap elemen masyarakat Ponorogo membantu Sinuhun PB II merebut kembali Ibu Kota Mataram, Kartasura pada tahun 1742 (iMNews, 21/12), sangatlah masuk akal apabila rangkaian memori dan imajinasi publik berkembang ke mana-aman. Sebab, dari sana bisa muncul pertanyaan siapa saja tokoh/pihak yang berjasa dalam pindahnya Ibu Kota ”nagari” Mataram Kartasura?

Dan data-data hasil penelitian sejarah yang dilakukan Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat/Jogja), menyebut nama wilayah (Kabupaten) Kebumen (Jateng) dan menyentuh nama tokoh Tumenggung Honggowongso (Hanggawangsa-Red). Data-data informasi ini tentu akan memperkaya memori publik yang kini masih sangat terbatas, terutama untuk membuka jatidiri sosok Honggowongso yang namanya dijadikan nama jalan di berbagai kota di Tanah Air.

Sebagai ilustrasi, sebuah sarasehan bertema tentang pahlawan nasional yang digelar DPD Partai Golkar Solo dalam rangka memperingati Hari Pahlawan, akhir November lalu, bisa menjadi pembenaran yang mencerminkan fakta bahwa generasi bangsa di Nusantara kini sangat miskin pengetahuan tentang hal-ikhwal jatidiri Pahlawan Nasional yang jumlahnya lebih dari 150 nama itu. Bahkan Ketua DPD Partai Golkar Solo RM Koes Rahardjo meyakini, banyak yang tidak tahu siapa jatidiri sejumlah nama pahlawan yang dijadikan nama sejumlah jalan di Kota Solo.

KARYA HONGGOWONGSO : Kagungandalem Masjid Agung Keraton Mataram Surakarta yang masih berdiri gagah, adalah bagian dari karya besar Tumenggung Honggowongso, seorang tokoh penting dalam proses pembangunan tata ruang insfrastruktur Ibu Kota ”nagari” Mataram yang kini hanya sekadar dikenal sebagai nama jalan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ritual ”Bubur Menang” dan segala jenis ritual yang terbungkus dalam bentuk spiritual religi yang hingga kini dirawat masyarakat Ponorogo, mungkin bisa menjadi setitik sinar yang akan menuntun generasi bangsa ini untuk memahami siapa saja sebenarnya tokoh-tokoh atau pihak yang berjasa pada bangsa dan NKRI ini. Karena dari situ, ada pintu masuk untuk membuka cakrawala pandang warga peradaban agar tahu banyak tentang masa lalu Mataram, Surakarta dan NKRI.

Karena ketika menggali informasi lebih dalam dan lebih luas di balik Mataram, ada banyak potensi daerah/wilayah yang turut ”mengukir” Surakarta sebagai ”modal penting” NKRI.
Padahal, berbagai sumber yang berhasil mendokumentasi peristiwa Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag (Belanda) tanggal 26 Desember 72 tahun silam, termasuk hasil penelitian Lembaga Pusat Studi Daerah Istimewa (Pusadi) Jogja menunjukkan betapa penting dan fundamental posisi (”nagari” Mataram) Surakarta di mata negeri (NKRI) ini.

Bila mencermati itu, maka biarlah pertanyaan RM Koes Rahardjo di forum sarasehan tentang siapa jatidiri ”Pahlawan” Gajah Suranto, Mayor Kusmanto, Arifin dan sejumlah nama yang ”diabadikan” menjadi nama sejumlah jalan di Kota Solo berlalu tanpa jawab. Tetapi, pertanyaan tentang siapa sebenarnya jatidiri tokoh Honggowongso, sebaiknya ada yang bisa menjawab dan menjelaskan.

SALING MENGHARGAI : ”Mikul dhuwur, mendhem jero” adalah nilai-nilai dari peradaban Jawa yang bisa diwujudkan dalam sikap saling menghargai, seperti diperlihatkan antara Bupati Ponorogo Giri Sancoko dan Gusti Moeng selaku Ketua LDA, karena keduanya adalah representasi hubungan kekerabatan yang ikut melahirkan NKRI. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam catatan Dr Purwadi, tokoh Honggowongso adalah seorang abdidalem berpangkat Tumenggung,  yang terlahir dengan nama Joko Sangrib. Dia adalah anak Bupati Madiun (kini Jatim-Red) bernama Tumenggung Sosrowijoyo di zaman Sinuhun Amangkurat Agung atau Amangkurat Tegalarum (1645-1677), yang menikah dengan Rara Mangunsari, putri putri Demang Honggoyudo di Kuthowinangun.

Perjalanan hidup Joko Sangrib yang dikenal memiliki kecakapan di bidang konstruksi bangunan dan mulai banyak berjasa dalam pembangunan infrastruktur perkantoran di Kabupaten Panjer yang kemudian berubah nama menjadi Kabupaten Kebumen. Karena-jasa-jasanya, Joko Sangrib diberi gelar sesebutan Tumenggung (T) Honggowongso.

Tumenggung Honggowongso yang terus menunjukkan keteladanan dalam pengabdian serta dedikasi profesinya kepada ”negara dan bangsa”, mencapai puncak kekaryaannya ketika ditunjuk raja Mataram Kartasura Sinuhun Paku Buwono (PB) II untuk merancang bangunan (keraton) Ibu Kota ”nagari” Mataram Surakarta. Dan Tumenggung Honggowongso mulai merancang serta mendirikan konstruksi bangunan kawasan kedhaton dan segala infrastruktur Ibu Kota Surakarta secara lengkap, sejak Sinuhun PB II ”berkantor” di Ponorogo (1742-1745), akibat Ibu Kota Kartasura porak-poranda oleh pemberontakan Mas Garendi yang berkolaborasi dengan laskar China.

WILUJENGAN NAGARI : Wilujengan nagari Sesaji Mahesa Lawung di hutan Krendawahana (Karanganyar), adalah ritual 100 hari setelah struktur bangunan Ibu Kota ”nagari” Mataram Surakarta berhasil dikerjakan masyarakat Kebumen di bawah kepemimpinan Honggowongso dan dideklarasikan bersama masyarakat Ponorogo atas doa restu Kyai Moh Khasan Besari pada 17 Sura 1745 (M). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dr Purwadi bahkan menyebutkan, tak hanya Tumenggung Honggowongso yang secara teknis ahli dalam merancang konstruksi dan mendirikan bangunan infrastruktur dasar struktur kedhaton dan Ibu Kota ”nagari” Mataram Surakarta, tetapi juga membawa banyak warga Kabupaten Kebumen untuk membantu pekerjaan konstruksinya. Sinuhun PB II meninggal pada tahun 1749, dan Sinuhun PB II selaku penerusnya mengapresiasi jasa-jasa Tumenggung Honggowongso, dan mengangkatnya sebagai ”Menteri Luar Negeri” untuk kawasan ”Brang Kulon” atau wilayah barat.

”Sinuhun PB II dan III membina tokoh Kebumen sebagai ahli-ahli bangunan. ”Nagari” Mataram berdiri megah dan mewah hingga 1945, dan masih kokoh hingga sekarang. Tumenggung Honggowongso juga bekerjasama dengan Kyai Yasadipura dan Pangeran Wijil, dalam proses pemindahan Ibu Kota dari Kartasura ke Surakarta tahun 1745. Beliau juga sempat diangkat Sinuhun PB III sebagai Bupati Kebumen dengan gelar KRA Arungbinang di tahun 1749,” sebut Dr Purwadi.

Mencermati hasil penelitian Dr Purwadi itu, pantas saja Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Mataram Surakarta melalui Pangarsa Punjer (Ketua Pusat) Pakasa mempertemukan Bupati Ponorogo Giri Sancoko SE MM dengan Bupati Kebumen Arif Sugiyanto SH di event ”Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa” yang digelar di Pendapa Pagelaran Sasanasumewa, belum lama ini (iMNews.id, 1/12 dan 6/12). Dua pamong wilayah itu dihadirkan karena menjadi representasi masyarakat di wilayah masing-masing, yang punya riwayat membanggakan dalam hubungan kekerabatan dengan Keraton Mataram Surakarta dan jasa-jasanya di masa lampau.

GENERASI BERBHAKTI : Serangkaian kegiatan renovasi berbagai bangunan di Keraton Mataram Surakarta sebelum tahun 2017, adalah cermin sikap generasi yang berbhakti atau ”Mikul dhuwur, mendhem jero” terhadap jasa-jasa para leluhur, termasuk penghormatan kepada Tumenggung Honggowongso yang mendirikan kali pertama bangunan-bangunan itu.(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kini, dengan menyebut ”Bubur Menang”, itu berarti menyebut kata kunci untuk tahu banyak hal tentang riwayat masa lalu masyarakat Ponorogo dalam hubungan kekerabatan dengan Keraton Mataram Surakarta, bahkan ketika masih berupa ”nagari”. Dari situ, variabel ”Bubur Menang” bisa terkoneksi ke variabel reog Ponorogo, kethek-ogleng, jathilan dan kisah ‘Bumi Gebang Tinatar” dengan tokoh ulama besar Kyai Moh Khasan Besari.

Demikian pula ketika menyebut kata ”Honggowongso” di Kota Solo, tentu bukan sekadar nama jalan yang memanjang dari patung Bunderan, Tipes (Serengan) di selatan hingga pertigaan Srambatan, Madyataman (Banjarsari) di utara. Melainkan sosok nama tokoh luar biasa, yang jasa-jasanya mungkin jauh lebih berbobot dibanding nama-nama asing yang menjadi nama jalan di Kota Budaya ini, karena posisi ketokohan Honggowongso ada di kelas tokoh Sinuhun PB VI dan PB X dalam ukuran kepahlawanan nasional.

Oleh sebab itu, sudah sepantasnya masyarakat Kabupaten Kebumen, kini boleh berbangga dengan nama besar KRA Arungbinang alias Tumenggung Honggowongso, karena ketokohannya sebagai pelopor di bidang konstruksi bangunan infrastruktur pusat pemerintahan. Sekaligus sebagai tokoh aparatur pemerintahan yang sangat profesional dan ”dikagumi” Sinuhun PB II hingga Sinuhun PB III. Sekarang, apa kabar republik tercinta? Sudahkah paham, seharusnya di mana nama-nama tokoh besar itu diabadikan?. (Won Poerwono-habis)