Hubungan Silaturahmi yang Erat Terpelihara Sampai Sekarang
IMNEWS.ID – HAJAD ”Wilujengan Bubur Menang” yang diinisiasi warga Pakasa Cabang (Kabupaten) Ponorogo (Jatim) dan digelar rutin tiap tanggal 21 Desember seperti yang berlangsung Selasa malam (iMNews.id, 22/12), telah mengingatkan dan memberi pesan tentang banyak hal kepada generasi peradaban masa kini, bahkan di masa mendatang. Setidaknya, ada teladan kebersamaan antara pamong wilayah (Bupati Ponorogo) dengan masyarakatnya, yang memiliki kesadaran penuh untuk mengajak publik secara luas mewujudkan sikap hormat pada leluhur seperti yang disebut dalam adagium Jawa ”Mikul dhuwur, mendhem jero”.
Keteladanan itu sudah mulai diwujudkan warga Pakasa Cabang Ponorogo dan para pemong wilayahnya seperti dicontohkan melalui event ”Wilujengan Bubur Menang” tersebut. Dan melalui event itu pula, disampaikan pesan keteladanan tentang bagaimana warga peradaban di Kabupaten Ponorogo menempatkan rasa hormat kepada simbol-simbol kebesaran tokoh leluhur Kyai Mohammad Khasan Besari dan lingkungan warga pesantren Gebang Tinatar Tegalsari (Jetis), yang telah menjadikannya sebagai masyarakat berbudaya (Jawa), tetapi sekaligus memiliki sikap spiritual religi yang tinggi.
Pesan keteladanan ”Mikul dhuwur, mendhem jero” yang direpresentasikan warga Pakasa dan Bupati Ponorogo H Giri Sancoko SE MM, bahkan sudah diperlihatkan saat mendukung pelaksanaan ”Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa” yang digelar Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Mataram Surakarta di lingkungan Keraton Surakarta, belum lama ini (iMNews.id, 1/12). Di situ, Bupati Giri Sancoko SE MM menyambut baik dan menyatakan dukungannya melalui kedatangan 20-an unit reog dengan para seniman dan pamongnya, untuk menyukseskan ”Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa”.
Bentuk pesan keteladanan lain yang hendak disampaikan, adalah adanya kesadaran bersama tentang asal-usul peradaban masyarakatnya dan lahirnya kesadaran bersama tentang kekuatan potensi seni budaya masyarakatnya yang memiliki ikatan historial, kultural bahkan emosional dengan Keraton Mataram Surakarta. Seterusnya, lahirnya kesadaran bersama untuk menjaga, melestarikan dan memanfaatkan bersama-sama secara gotong-royong demi kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat Ponorogo khususnya, untuk keharuman nama bangsa dan NKRI.
Kesadaran seperti itu, sudah sewajarnya dimiliki masyarakat dan pamong wilayah Kabupaten Ponorogo yang sama-sama memberi makna dalam ikatan silaturahminya dengan Keraton Mataram Surakarta. Karena sudah banyak fakta membuktikan (Sejarah Kabupaten Ponorogo; Dr Purwadi/Lokantara Pusat), bahwa Kabupaten Ponorogo memiliki kesitimewaan hubungannya dengan Mataram, sejak masih berIbu Kota di Kartasura (1677-1745) sampai pindah Ibu Kota ke Surakarta Hadiningrat (1745-1945), bahkan berlanjut sampai di alam republik sekarang ini.
Seperti dilukiskan salam ritual ”Wilujengan Bubur Menang”, warga Pakasa Gebang Tinatar yang dipimpin KRRA MN Gendut Wreksodiningrat dan kalangan pamongnya hendak mengajak masyarakatnya dan publik secara luas untuk ”Mikul dhuwur, mendhem jero” terhadap jasa-jasa para leluhur pesantren Gerbang Tinatar (Desa) Tegalsari, Kecamatan Jetis dan para tokoh pemimpin Ponorogo saat itu. Karena, dengan dukungan dan kerjasama serta bergotong-royong membantu Sinuhun PB II, mampu merebut kembali Ibu Kota Kartasura dengan strategi perang meniru cara menyantap jenang atau bubur (panas) yang menghasilkan kemenangan, seperti yang diabadikan jadi nama Desa Menang di Kecamatann Jambon, Kabupaten Ponorogo dan ritual wilujengan itu.
”Bahkan, segenap elemen masyarakat Ponorogo banyak yang turut serta dalam kirab boyong-kedhaton saat pindahan dari Ibu Kota lama (Kartasura) ke Surakarta pada 17 Sura 1745 (M). Tetapi, itu peristiwa kira-kira 3 tahun setelah ‘menang’ karena bisa merebut kembali Kartasura masih di tahun 1742 (M). Jadi, selama 3 tahun Sinuhun PB II berinteraksi (mengatur strategi) dengan masyarakat Ponorogo. Membangun pemerintahan di situ. Dan baru 17 Sura 1745 (M), Sinuhun PB II mendeklarasikan ‘nagari’ Mataram Surakarta, yang didahului dengan arak-arakan boyong kedhaton. Karena, Keraton Kartasura sudah rusak. Banyak yang terbakar,” jelas Dr Purwadi selaku Ketua Lokantara (Lembaga Olah Kajian Nusantara), menjawab pertanyaan iMNews.id, dalam sebuah diskusi belum lama ini.
Peran dan jasa-jasa masyarakat Ponorogo yang luar biasa seperti itu, dalam catatan KPH Edy Wirabhumi selaku Pangarsa Punjer (Ketua Pusat) Pakasa sama pentingnya dengan peran dan jasa-jasa masyarakat Kebumen (Jateng). Itulah yang menjadi salah satu alasan, LDA yang dipimpin Gusti Moeng selaku penyelenggara dan Pakasa Punjer selaku pelaksana event ”Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa”, sengaja mempertemukan Bupati Ponorogo dan Bupati Kebumen di panggung pembukaan event, selain dukungan Bupati Klaten dan Wakil Wali Kota Surakarta yang tampil di panggung yang sama, waktu berbeda.
Pesan keteladanan bentuk lain lagi dari yang diperlihatkan warga Pakasa dan Bupati Ponorogo, adalah ajakan terhadap masyarakat dan para pamongnya di wilayah terdekat Ponorogo lainnya yang memiliki latar belakang kesejarahan yang sama yang dikenal dengan wilayah ”Mataraman”. Fakta ciri-ciri kultur yang sama dengan sumber peradaban di Mataram Kartasura yang eksis selama 200 tahun (1745-1945) di Surakarta Hadiningrat yang dimiliki dua wilayah berbeda provinsi itu, harus terus dijaga kelestarian dan kelangsungannya sebagai cara ”Mikul dhuwur, mendhem jero” terhadap karya-karya dan jasa-jasa para leluhur yang sudah ada jauh sebelum NKRI lahir.
”Wilujengan Bubur Menang” dan ”Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa” seakan gayung-bersambut, yang masing-masing bisa saling memaknai dan menunjukkan begitu jelasnya untaian benang merah seperti yang diakui Bupati Ponorogo Giri Sancoko, baik saat memberi pidato sambutan di pembukaan Hari Jadi Pakasa, maupun saat memberi sambutan di hadapan sekitar 400 warga Pakasa dan pamong wilayah Ponorogo yang menghadiri ”Wilujengan Bubur Menang”. Semangat ”Mikul dhuwur, mendhem jero” sudah jelas tampak dari guyub-rukun warga Pakasa dan para pamong wilayahnya, seperti diperlihatkan dengan ”pengerahan” Paguyuban Reog Pakasa dan 20 unit dhadhak merak yang dibawa.
Bahkan, seandainya situasi pandemi sudah benar-benar sirna atau dalam keadaan normal seperti sebelum ada pandemi, Bupati Ponorogo ingin agar Pakasa Gebang Tinatar mengirim 90 unit dhadhak merak yang lengkap dengan seniman pendukungnya seperti kethek ogleng, jaranan, bujang-ganong dan para gemblak yang cantik-cantik. Keinginan untuk ”Mikul dhuwur, mendhem jero” sambil membantu pemerintah membangkitkan dan memulihkan kembali kondisi perekonomian di Tanah Air melalui industri wisata, diharapkan KPH Edy Wirabhumi bisa terwujud dalam peringatan Hari Jadi Pakasa tahun 2022, ketika pandemi Corona sudah benar-benar sirna.
”Saya melihat, ada banyak yang bisa dicapai ketika pemerintah (Pemkot dan Kemenpar Ekraf) mendukung aktivitas Pakasa itu. Kehidupan seni budaya dan kebhinekaan terjaga. Ketahanan budaya bangsa terjaga. Potensi daya dukung utuk keutuhan NKRI bisa digali dan dibangkitkan lagi. Kondisi perekonomian yang terpuruk akibat pandemi, juga bisa dipulihkan dari lapisan yang paling bawah dan sangat mendasar sekali. Betul kata KPH Wira (Edy Wirabhumi-Red). Kalau semua keraton di Nusantara bisa meniru cara ini, NKRI akan pulih dan bangkit menjadi kuat kembali,” tunjuk KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito menjawab pertanyaan iMNews.id di tempat terpisah, kemarin. (Won Poerwono-bersambung)