Rindu Bersilaturahmi Menyambut ”Adeging Nagari Mataram”
IMNEWS.ID – MASIH dalam suasana pandemi Corona tahun kedua sejak 2020, upacara adat wilujengan nagari pengetan adeging ”nagari” Mataram Surakarta yang ke-285 tahun (kalender Jawa), Rabu sore (25/8) diperingati Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Mataram Surakarta dengan segenap elemennya. Peringatan yang berlangsung dalam protokol kesehatan ketat di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, diikuti sekitar 200 orang dari berbagai elemen dan dipimpin langsung oleh Ketua LDA GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng.
Rangkaian upacara adat di bulan Sura, bagi ”nagari” Mataram Surakarta merupakan rangkaian kegiatan yang paling bermakna bagi lembaga masyarakat adat tersebut. Ada beberapa kegiatan yang diperingati dalam bulan ”prihatin” bagi warga peradaban Jawa itu, yaitu dimulai dari menyambut datangnya Tahun Baru Jawa pada tanggal 1 Sura, Tahun Alip 1955, yang sudah berlangsung sekadar wilujengan dan wungon di ndalem Kayonan yang jatuh tanggal 9 Agustus lalu, menjelang datangnya tanggal 1 Hijriyah.
Dalam suasana pandemi Corona, berbagai kegiatan yang biasanya cukup padat dilakukan berbagai elemen LDA di bulan Sura, terpaksa ditiadakan untuk mematuhi aturan pemerintah dalam penanganan Covid 19. Kegiatan yang paling terdampak oleh suasana pandemi di tahun kedua setelah 2020, adalah ditiadakannya kirab pusaka yang biasanya melibatkan para pendukung prosesi secara massal, yang bisa mencapai ribuan orang.
Yang Wajib Bisa Diganti
Untuk kali kedua Senin malam 9 Agustus menjelang datangnya tanggal 1 Sura Tahun Baru Jawa, Alip 1955, LDA Mataram Surakarta kembali tidak menggelar upacara adat tersebut. Selain potensi kerumunan massa yang harus dihindari sesuai aturan protokol kesehatan Satgas Covid 19, bersamaan pula dengan suasana friksi internal di Keraton Mataram Surakarta yang masih mengalami ”kebuntuan” dan stagnasi.
Meski begitu, datangnya Tahun Baru Jawa 1 Sura bagi LDA bukan berarti hanya kirab pusaka keliling jalan lingkar luar Baluwarti sejauh 7 KM itu saja maknanya. Karena, selain masih ada beberapa upacara adat yang bisa dilakukan untuk memaknainya, kirab pusaka yang sebenarnya termasuk ”wajib” itu, bisa ditiadakan dan diganti dengan ekspresi lain yang bersifat akomodatif terhadap suasananya yang sedang dilanda pandemi tahun kedua.
Dan, ekspresi menyambut datangnya 1 Sura Tahun Baru Jawa Alip 1955 Windu Sancaya itu, bisa berupa doa wilujengan yang disertai tahlil dan dzikir di ndalem Kayonan, Baluwarti, 9 September malam itu. Kegiatan ini seperti yang selalu terjadi di bangsal Prabasuyasa kompleks Pendapa Sasana Sewaka, ketika prosesi kirab pusaka diberangkatkan pada suasana normal sebelum 2017, rutin setiap tahun.
Doa dan Wungon untuk 1 Sura
Doa wilujengan, tahlil dan dzikir yang mengisi wungon tirakatan Senin malam (9/8) itu, bersamaan dengan khol atau haul peringatan wafatnya Sinuhun Sultan Agung Prabu Hanyakarakusuma. Setiap menjelang datangnya 1 Sura, selalu bersamaan dengan acara spiritual religi peringatan wafatnya raja Mataram Islam pertama yang telah berjasa menyatukan antara kalender Hijriyah (1 Muharam) dengan kalender Saka (1 Sura) yang sudah berjalan 1955 tahun sekarang ini dengan nama kalender Jawa.
”Ini tahun kedua selama pandemi. Karena kita harus mendukung penanganan pandemi Corona ini agar segera hilang, ya harus mengikuti segala aturannya. Sebenarnya, kirab pusaka itu wajib. Tapi karena ada banyak persoalan, apalagi pandemi, ya bisa dilakukan dengan cara lain. Berdoa, tahlil dan dzikir untuk mengisi wungon, tirakatan. Waktu itu, yang hadir hanya sekitar 50-an orang. Kebetulan, bersamaan dengan khol eyang Sultan Agung. Karena wafatnya menjelang 1 Sura,” papar Gusti Moeng menjawab pertanyaan iMNews.id, belum lama ini.
Setelah menyambut tanggal 1 Sura, sebenarnya banyak permintaan dari berbagai daerah yang menggelar upacara adat di bulan Sura. Tetapi, karena masih dalam suasana pandemi, ada daerah yang bisa menjalankan upacara adat ”larap selambu” atau ganti selambu, tetapi ada daerah yang masih dalam zona oranye sehingga belum diizinkan ada acara yang bisa mengundang kerumanan massal, yang dikhawatirkan menjadi klaster baru penyebaran virus Corona.
Trenggalek Masih Menahan Rindu
Namun, seiring waktu yang berjalan, suasana pandemi menjadi semakin longgar dan pemerintah mengizinkan penyelenggaraan kegiatan upacara adat yang menjadi agenda Keraton Mataram Surakarta. Misalnya ritual wilujengan nagari menyambut ”adeging nagari Mataram Surakarta” yang rutin diperingati setiap 17 Sura, dan kemarin jatuh pada hari Rabu (25/8). Ritual itu dimulai pukul 15.00 WIB lewat sedikit, agar hari sudah berganti dari tanggal 16 menjadi 17 Sura dalam hitungan kalender Jawa Tahun Alip 1955 windu Sancaya ini.
Kegiatan upacara adat menyambut berdirinya ”negara” Mataram Surakarta itu, menjadi urutan paling penting dalam agenda LDA Keraton Mataram Surakarta selama memasuki bulan Sura atau Muharam. Oleh sebab itu, meski dalam suasana menjalankan protokol kesehatan Covid 19 secara ketat, upacara digelar di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa yang dihadiri berbagai elemen LDA, bahkan warga Pakasa beberapa cabang seperti Kabupaten Ponorogo (Jatim) dan cabang Banjarnegara.
Menurut KRT Hastha Surantara Mangun Doyodipuro selaku Ketua Pakasa Cabang Trenggalek yang dihubungi iMNews.id kemarin, cabangnya terpaksa masih menahan rindu, karena tidak mengirim utusan untuk hadir di ritual itu, karena masih ada pembatasan jumlah. Tetapi, menurut KRAT Eko Budianto Tirtonagoro selaku Ketua Pakasa Cabang Banjarnegara, cabangnya berusaha untuk tetap ”sowan” di Keraton Mataram Surakarta mengikuti peringatan berdirinya ”nagari” Mataram Surakarta itu, karena sudah lama tidak sowan.
Pasti Ratusan Orang
”Kebetulan, cabang kami sudah beberapa kali punya acara dan terhalang pandemi Corona. Sehingga, Gusti Moeng selaku Ketua LDA maupun KPH Edy Wirabhumi selaku Pangarsa Punjer Pakasa tidak bisa hadir. Sekarang ada kesempatan baik untuk ‘sowan’ dan bersilaturahmi dengan warga kerabat, kami sempatkan untuk berangkat. Hanya lima orang saja sebagai perwakilan”.
”Senang sekali kami bisa sowan. Yang jelas, kami ingin bergabung untuk berdoa, tahlil, dzikir dan nyenyuwun agar pandemi Corona ini segera berlalu. Kita bisa bersilaturahmi lagi,’ jelas KRAT Eko yang menceritakan melakukan sendiri ”larap selambu” Makam Wali Sunan Geseng di Desa Tirto, Kecamatan Grabag, Magelang, sebelum mengikuti ritual peringatan ”adeging nagari Mataram Surakarta” ke 285 tahun (kalender Jawa), Rabu (25/8).
Ungkapan syukur dan bangga juga diungkapkan KRAT MN Gendut Wreksodiningrat selaku Ketua Pakasa Cabang Gebang Tinatar, Kabupten Ponorogo (Jatim). Dia memimpin sekitar 30 anggotanya datang ”sowan” ke Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa dengan 6 mobil pribadi, untuk menjadi saksi dan memaknai tanggal sangat penting bagi warga peadaban Mataram Mataram, khususnya Surakarta itu.
”Karena, Ponorogo adalah tempat persiapan Sinuhun PB II untuk membangun ‘nagari’ baru, yaitu Mataram Surakarta. Juga tempat persiapan untuk pindahan, boyong kedaton. Maka, Ponorogo punya arti sangat penting bagi Mataram Surakarta. Demikian pula, 17 Sura, punya makna sangat penting bagi warga Mataram Surakarta, bahkan lebih luas lagi. Makanya, kalau tidak ada pandemi, kami pasti datang ratusan orang, termasuk sedikitnya 10 unit reog dan seni Kethek Ogleng,” sebut KRAT MN Gendut sumringah sambil menunjukkan ”jenang Suran” yang khas peringatan 17 Sura itu. (Won Poerwono-bersambung)