Berbenah-benah untuk Menyambut Format Baru Pasar Pariwisata (5-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:August 11, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read

Destinasi Wisata Kota Solo Ibarat ”Disarankan Bunuh Diri”

IMNEWS.ID – MELIHAT riwayat perjalanan sejarah Keraton Mataram Surakarta yang sejak 17 Agustus 1945 hanya memiliki kedaulatan di bidang seni budaya serta situs-situs tapak sejarahnya (iMNews.id, 8/8), ketika rezim pemerintahan yang berganti-ganti tiap 5 tahun itu memiliki program kerja di bidang kepariwisataan, semula terkesan bertolak-belakang. Pada perjalanan berikutnya, produk-produk kebijakan di sektor kepariwisataan dengan objek sejarah sebagai main product Kota Solo, terkesan dilakukan ala kadarnya kalau tidak boleh disebut ”asal berkreativitas”.

Mengapa bisa dikatakan demikian? Jawabannya, secara faktual sudah menunjukkan, bahwa objek sejarah yang dijadikan main product itu senyatanya sudah tidak utuh, karena dahulu kala sudah ”dihancurkan” secara sengaja atau tidak. Karena bagaimanapun, hingga kini masih ada nama kampung Kepatihan yag dulunya adalah kompleks pusat pemerintahan Keraton Mataram Surakarta secara administratif, yang diduga dihancurkan oleh pihak-pihak yang ”tidak suka” pada eksistensi Keraton Mataram Surakarta pada tahun 1949 atau 4 tahun setelah Indonesia Merdeka.

Masih banyak lagi upaya-upaya penghancuran situs-situs peninggalan sejarah yang berkait dengan eksistensi Keraton Mataram Surakarta, yang prosesnya sedikit demi sedikit dalam waktu yang panjang hingga rezim pemerintahan berganti 7 kali dalam rentang waktu 76 tahun ini. Setelah kompleks Kepatihan, Kebon Raja mulai tidak difungsikan di tahun 1980-an karena seisinya dipindah ke Taman Jurug.

Berpindahnya aneka satwa ke Taman Jurug, nama Kebon Raja berangsur-angsur mulai hilang dari memori kolektif publik secara luas. Bersamaan dengan itu, Taman Ranggawarsita yang mengabadikan nama Pujangga Jawa (Surakarta) di kawasan yang dijadikan Taman Jurug dan Makam Pahlawan, juga digusur, yang kemudian secara beruntun diikuti dengan penggusuran Kupel Limasan di Segaran Kebon Raja atau Taman Sriwedari.

Dengan hilangnya Kupel Segaran dan alih fungsi menjadi restoran, satu-kesatuan keberadaan Segaran dan kupel bersama puncak ritual Malem Selikuran juga tergusur dan mulai hilang dari memori publik. Taman Sriwedari sebagai nama lain yang kemudian lebih dikenal setelah Kebon Raja, pelan-pelan juga tergusur dari memori publik karena ritual Malem Selikuran secara total ditarik kembali ke kawasan keraton dan Kebon Raja yang sudah menjadi ikon kota karena ada gedung WO Sriwedari dan THR Sriwedari itu, ”dikorbankan” sebagai ”janji politik” dari Pilkada 2015-2020.

SUDAH LUSUH : Wajah bangunan Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa yang berada di ujung depan kawasan destinasi wisata sejarah Keraton Mataram Surakarta, sudah tampak kusam. Sehari-hari, halaman di depannya juga sibuk untuk kegiatan parkir untuk keperluan dagang Pasar Klewer. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pemimpin Yang Paham Pasti Kecewa

Melihat wajah kompleks Taman Sriwedari, Masjid Kepatihan dan beberapa tempat di kawasan keraton sekarang ini yang dulunya merupakan satu-kesatuan kawasan ”Ibu Kota” eks nagari Mataram Surakarta, di satu sisi sungguh memilukan. Di sisi lain, pasti akan membuat kecewa siapa saja yang memimpin Kota Surakarta khususnya, yang berangan-angan menjadikan Kota Budaya dan Kota Pujangga ini sebagai objek wisata unggulan, tersohor, apalagi ingin mendatangkan pendapatan asli daerah dari sektor pariwisata.

Kehancuran main product potensi wisata Kota Surakarta yang disebut-sebut sebagai kota heritage dunia ini, tentu sulit membuat bangga siapapun yang menjadi Wali Kota Surakarta atau siapapun yang paham dan sadar betapa pentingnya makna situs peninggalan sejarah Mataram Surakarta sebagai modal utama industri pariwisata. Terlebih, Kota Bengawan ini ternyata telah melahirkan sejumlah tokoh berskala nasional yang salah satunya Presiden RI ke-tujuh, Joko Widodo, sekarang ini.

Tak hanya pemandangan Taman Sriwedari yang selama 2 tahun ini lebih tampak seperti tewmpat tak terurus dan tak bermakna meski lokasinya di jantung kota, ketika melihat suasana di kawasan Alun-alun Lor yang bersinggungan dengan Masjid Agung sampai halaman kompleks Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, suasana yang terasa sudah nyaris kehilangan kesan sebagai objek wisata sejarah yang punya nilai nilai kultural heritage dan legacy tinggi. Kesan yang lebih terasa hanyalah kawasan yang berisi bangunan kuno, kurang terurus dan semrawut karena aktivitas parkir segala jenis kendaraan untuk keperluan dagang Pasar Klewer.

Apalagi ketika melihat wajah pintu masuk kawasan keraton di perempatan Gladag, publik warga kota yang sudah mengenal keratonpun pasti bingung mengapa ada patung yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan eksistensi Keraton Mataram Surakarta. Ketika melihat jalan-jalan protokol di dalam kotapun, nyaris tidak ada yang menjadi ciri keberadaan keraton atau nama besar eks Ibu Kota ”negara” Mataram Surakarta.

Padahal, ada nama besar Sinuhun Paku Buwono (PB) X dan Sinuhun PB VI yang sudah ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional, juga PB XII yang ikut bersepakat dan ”menyeponsori” dalam mendirikan NKRI. Karya-karya ketiga raja ini, sungguh luar biasa sebagai pemimpin ”nagari” Mataram yang sejak awal merintis lahirnya sebuah negara (NKRI), merintis kemerdekaan, membangun berbagai fasilitas publik dan menyiapkan benih-benih kehidupan berdemokrasi bagi bangsa dan negara hingga mewujudkan lahirnya NKRI.

DUA PEMERHATI : Budayawan Guruh Soekarnoputro dan KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito adalah dua pemerhati yang masih peduli dengan nasib dan kondisi Keraton Mataram Surakarta. Terlebih mengenai nasib situs peninggalan sejarah yang menjadi main product andalan industri pariwisata di Kota Surakarta ini.  (foto : iMNews.id/dok)

Merevitalisasi dan Mengkoneksikan

”Kalau Kota Surakarta memang dibanggakan menjadi kota pariwisata, ya harus dipenuhi segala unsur kelengkapannya. Nama-nama kampung lama perlu dipertahankan. Kalau ada yang hampir hilang, yang diungkap kembali. Nama-nama jalan (protokol), seharusnya mencerminkan latarbelakang sejarah yang mendasarinya secara dominan. Ini sekadar saran saja. Mudah-mudahan bisa menjadi bahan kajian pihak-pihak yang berwenang dan berkompeten”.

”Tapi saya sedih setiap melihat halaman Pendapa Pagelaran. Suasananya hiruk-pikuk oleh kegiatan parkir berbagai jenis kendaraan. Mosok, bangunan bersejarah malah jadi tempat parkir Pasar Klewer? Apa tidak salah? Kalau keraton diandalkan sebagai objek wisata, apa kegiatan ini (kegiatan parkir) tepat? Apakah ini bukan malah bunuh diri?” keluh KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, seorang pemerhati budaya Jawa dan keraton dari sisi spiritual kebatinan, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.

Pertanyaan KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito itu secara langsung maupun tidak sudah terjawab oleh realitas dalam proses yang panjang sejak 1945, atau riilnya sejak 1949, hingga berlanjut pada setiap rezim pemerintahan hingga kini. Dan dari keseluruhan realitas kemudian dilengkap dengan produk-produk kebijakan yang sama sekali tidak pro-pemberdayaan potensi objek wisatanya, seakan-akan menunjukkan keinginan atau bisa diibaratkan sektor kepariwisataan di Kota Surakarta ”disarankan bunuh diri”.

”Disarankan” atau ”dipaksa” bunuh diri, memang sekadar bahasa bersayap yang konotasinya sangat luas, tetapi antara keduanya hanya beda tipis maknanya, tergantung dari sudut mana melihatnya. Yang jelas, hasil akhir yang berupa realitasnya adalah sama, yaitu bahwa potensi objek wisata sejarah yang merupakan main product di Kota Surakarta, kini mengalami kebuntuan, serba salah dan pada ujungnya akan terkesan sia-sia jika ada alokasi pembiayaan melalui APBD hingga APBN.

Akan sangat jauh berbeda ketika semua pihak memahami esensi objek wisata sejarah ini, kemudian dibuat road map untuk merevitalisasi design kawasannya secara lengkap, terintegrasi dan terkoneksi satu sama lain. Misalnya, bagaimana memetakan kembali dan merevitalisasi kompleks Kepatihan, sehingga memiliki makna secara utuh dan menjadi satu-kesatuan dengan eksistensi Keraton Mataram Surakarta, begitu pula eksistensi dan fungsi Kebon Raja dengan segala aktivitas ritualnya, yang kemudian justru bisa dikoneksikan dengan Museum Radya Pustaka dan sebagainya. (Won Poerwono)