Alkid Jadi Alternatif Kehidupan Malam, Objek Wisata Potensial
IMNEWS.ID – KANJENG Raden Tumenggung (KRT) Hendri Rosyad Wrekso Puspito (62), adalah salah seorang penikmat kehidupan malam di Kota Solo sejak di masa mudanya, terutama waktu berkuliah di Fakultas Hukum UNS sejak kampus pusatnya ”meminjam” Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, tahun 1980. Namun berangsur-angsur, kehidupan malam yang dulunya hanya berupa tempat ”nongkrong” di angkring-angkring wedangan yang jumlahnya ratusan, bahkan ribuan dan tersebar di setiap sudut kampung kota itu, berangsur-angsur berubah.
Kehidupan malam yang banyak didominasi di luar ruang atau pinggir-pinggir jalan, sudut-sudut perempatan dan ”emper-emper” (teras) bangunan (pertokoan) di pinggir jalan itu, sedikit demi sedikit tersingkir oleh perubahan zaman. Perubahan itu banyak macam-ragam yang mewarnainya, antara lain berkembangnya bisnis jasa hiburan kafe-kafe, karaoke dan tempat hiburan di dalam ruang yang menjamur mulau tahun 1990-an hingga memasuki dekade kedua tahun 2000-an.
Perubahan format kehidupan malam yang sebelumnya lebih ke arah memaknai ”Kota Bengawan yang Tak Pernah Tidur” atau ”The Never Sleep City” itu, pada perjalanan kemudian setelah melewat tahun 1980-an, sudah sulit dikatakan atau bisa mempresentasikan suasana seperti itu. Karena pada prinsipnya, disebut Kota yang Tak Pernah Tidur” karena dalam suasana malam, selepas waktu Imsak, di berbagai sudut Kota Solo tetap saja ramai aktivitas orang yang ”nongkrong” santai.
Suasana melepas lelah, nglaras sambil ngobrol dengan anggota kelompok yang sedang nongkrong, tidak terbatas pada malam liburan seperti malam Minggu. Dan yang datang berkumpul, bercengkerama sambil jagongan dan menikmati menu angkringan seperi wedang jahe dan jadah goreng, karena kebanyakan yang datang untuk nongkrong adalah kelompok yang berteman yang jumlahnya bisa lebih dari empat, meskipun ada juga yang hanya berdua.
Namun, ikon The Never Sleep City itu kini sudah berubah formatnya, meski tanda-tanda kehidupan malam itu tetap ada. Keramaian orang berkelompok tetap ada, tetapi jumlahnya sudah sangat jauh berkurang. Karena, kalangan yang berduit, lebih suka menikmati suasana malam dalam tempat hiburan dalam ruang tertutup atau indoor, semacam diskotek, karaoke dan bar.
”Dulu saya dan teman-teman juga senang nongkrong di angkring wedangan. Pokoknya, setelah sholat Imsak, agendanya ngobrol dengan teman-teman di wedangan. Di sana, hampir tidak ada batas kelas sosial. Semua bisa duduk lesehan, bahkan sambil klekaran di atas tikar yang disediakan si penjual wedangan. Tapi sekarang, saya sudah punya anak-cucu. Kalau mau nglaras sambil ngobrol di wedangan, sudah sulit mendapatkan tempat yang nyaman,” papar pemerhati budaya Jawa dan Keraton Mataram Surakarta dari sisi spiritual kebatinan itu, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.
Faktor Pendukung Tidak Ada
Perubahan perilaku warga kota dan publik secara luas serta format kehidupan malam, juga disebabkan oleh faktor merebaknya restoran dan hotel-hotel yang menyediakan fasilitas bar, karaoke dan diskotek. Sedang simbol-simbol kehidupan malam yang dulunya bersinergi dan saling mengartikulasi aktivitas riil kehidupan malam itu, ternyata juga berubah petanya.
Meski jenis usaha jasa angkring wedangan sudah berubah menjadi gerobak dorong dan menyebar luas jauh ke pelosok desa di luar Kota Solo, tetapi seiring perubahan jenis hiburan yang rata-rata menjadi format in door, telah menjadi faktor tersendiri bagi perubahan format kehidupan malam. Warga yang berkelompok nongkrong sambil ngobrol dan menyantap menu angkring wedangan hingga larut malam, sudah semakin jarang dijumpai.
Selain itu, jenis-jenis hiburan malam yang bisa bersinergi dengan angkring-angkring wedangan menjadi daya tarik sendiri, meskipun simbol-simbol kehidupan malam itu berpindah ke ruang-ruang in door yang tertutup seperti kafe dan karaoke yang menyediakan musik live dan menu wedangan. Mereka itu adalah warung soto, gudeg, kare, bakso, susu segar, timlo, bakmi, pecel dan sejenisnya yang dulu bisa bersinergi dalam format kehidupan malam ”tempo dulu”, masih banyak diumpai sampai larut malam dan berkibar sendiri di Kota Solo.
Kini, kehidupan malam di Kota Solo memang sudah benar-benar berubah, nyaris seragam dengan yang ada di kota-kota lain, nyaris tanpa spesifikasi seperti yang dimaksud dalam ikon ”Kota yang tak Pernah Tidur”. Ada banyak faktor perubahan, selain format kehidupan malam yang berubah secara mendasar, juga karena hilangnya tempat-tempat terbuka yang biasanya untuk nglaras sambil menikmati hiburan, seperti Taman Hiburan Remaja (THR) Sriwedari, misalnya.
Panggung hiburan THR Sriwedari yang hilang dari eks Kebon Raja atau Taman Sriwedari sejak 2018 dan hingga kini mangkrak ketika hendak berubah makna dan peruntukannya, yang kemudian dipersepsikan ”bisa diganti” Taman Bale Kambang. Taman bekas panggung Srimulat dan Ketoprak Cokrojiyo itu dimaksudkan hendak digunakan untuk panggung hiburan live.
Kemudian view depan Stadion Sriwedari, dimaksudkan untuk pengganti kebutuhan tempat santai sambil nongkrong wedangan. Namun pada perjalanannya kemudian, dua tempat itu bukan berkembang menjadi seperti THR dan suasana kehidupan malam ”tempo dulu”, karena diperlukan banyak faktor pendukungnya yang ternyata sudah tidak ada.
Jadi Modal Pariwisata
Salah satu faktor pendukung yang sudah tidak ada adalah bebas atau gratis dari sewa tempat berjualan, karena pedagang angkringan biasanya sudah dibebani iuran kebersihan dan pungutan retribusi dari Dipenda Pemkot. Dan karena berbagai tempat sudah berubah fungsi, di antaranya termasuk beban komersialisasi tempat jualan, kalangan bakul angkring wedangan ini terpaksa mencari alternatif lain yang solutif untuk bertahan hidup.
Salah satu alternatif itu, adalah pindah ke Alun-alun Kidul yang dikenal dengan Alkid di bagian selatan kawasan Keraton Mataram Surakarta. Tempat itu mulai ramai sebagai pusat hiburan malam itu baru, dari hari ke hari dalam satu dekade terakhir menjadi solusi warga kota bahkan dari luar kota terdekat. Tempat di alam terbuka yang bisa digunakan untuk santai sambil ngobrol dan menikmati menu apa saja yang sangat variatif termasuk wedangan.
Menurut KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, tempat itu seakan menjadi pengganti ruang kehidupan malam yang telah lama hilang dari Kota Solo, meskipun baru sebagian kecil. Tetapi, menu yang bisa dinikmati sangat bervariasi, tidak hanya menu angkring wedangan yang biasanya menyediakan aneka jenis minuman tradisional, nasi bandeng/oseng-oseng dan aneka makanan ringan seperti jadah bakar.
”Saya mulai bisa menikmati kehidupan malam di Alkid dalam 5 tahun terakhir ini. Meskipun, harus terhenti hampir selama 2 tahun sejak pandemi berlangsung. Di situ, sepertinya para pedagang kecil bisa mencari nafkah dengan nyaman, karena disediakan tempat dan dilindungi pihak keraton. Ini bisa menjadi pengganti kehidupan malam tempo dulu. Meskipun tidak sampai larut malam,” jelas KRT Hendri Wrekso Puspito, praktisi pengobatan metode holistik yang pernah lama buka praktik di Bali itu.
Meski harus ikut merubah perilaku ketika ”ngiras” sambil ngongkrong di angkring wedangan di kawasan Alkid, tetapi dari satu sisi diakui bahwa keraton sudah memberikan solusi bagi masyarakat kecil untuk mencari nafkah. Di sisi lain, banyak pihak termasuk pemerintah harus segera memikirkan langkah-langkah yang tepat, untuk memulihkan ekonomi kota, termasuk kondisi ekonomi warganya khusus menengah ke bawah, serta kaitannya dengan persiapan menata kembali potensi pariwisata. Karena bagaimanapun, kehidupan malam di Alkid dan keraton secara keseluruhan, bisa jadi modal luar biasa sektor pariwisata. (Won Poerwono-bersambung)