Selama 200 Tahun Surakarta Menjadi Ibu Kota “Negara” Mataram (5-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:June 16, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read

Memiliki Kebesaran dan Potensi Lebih Istimewa dari yang Sudah Ada

IMNEWS.ID – PENGALAMAN dan dedikasi Surakarta menjadi Ibu Kota ”negara” Mataram Surakarta sampai selama 200 tahun (1745-1945), pasti bukan pengalaman kosong dan dedikasi yang ”kaleng-kaleng”. Kebesaran Surakarta sebagai kiblatnya ”bangsa” Jawa, telah ditunjukkan dengan berbagai bukti yang ”tangable” (berujud benda) maupun yang ”intangable” ( tak berujud benda), yang semuanya monumental, bernilai estetika tinggi, etika tinggi, inspiratif dan futuristik serta banyak lagi nilai positif yang lain.

Satu hal yang sudah terbangun nyaris sempurna selama 200 tahun itu, adalah budaya dan peradaban Jawa, yang begitu lengkap unsur-unsurnya mulai dari bahasa, aksara, kalender penanggalan termasuk pawukon, adat-istiadat, ilmu pengetahuan dan ”ngelmu” dan sebagainya yang diperlukan untuk eksistensi dan perjalanan sebuah peradaban. Bila dilihat proses penciptaan, akulturasi sampai pengkristalannya, bahkan memakan waktu yang sangat panjang.

Jadi, peradaban yang sudah dimatangkan selama 200 tahun oleh ”bangsa” Jawa yang berada di ”negara” Mataram yang beribukota di Surakarta itu, didahului dengan proses penciptaan/pembentukan hingga pengkristalan yang sangat panjang melalui sejumlah peradaban sebelumnya. Karena, ”negara” Mataram Surakarta, meneruskan Keraton Mataram Kartasura (1703-1745), Mataram Plered (1613-1703), Mataram Kutha Gede (1588-1613), Pajang (1550-1588), Demak (1478-1550), Majapahit (abad 14), Kediri (abad 12) dan beberapa pendahulunya, hingga kalender/tahun Jawa kini sudah berumur 1954.

Dan karena harus berakhir ketika Sinuhun PB XII bersepakat dengan bangsa di Nusantara ini untuk mendirikan NKRI pada 17 Agustus 1945, maka dengan ”suka-rela” Sinuhun PB XX beserta ”bangsa” Jawa yang menghuni wilayah kedaulatannya di 2/3 pulau Jawa itu, menggabungkan diri ke dalam sebuah bangsa yang bernama bagsa Indonesia. Dan dalam berbagai kesempatan perundingan/perjanjian, termasuk di Konferensi Meja Bundar (KMB) Sinuhun PB XII yang mengikuti Wapres RI Bung Hatta (Ketua Delegasi NKRI), menegaskan dengan kata bersayap ”berdiri di belakang NKRI”.

Melihat proses terbentuknya ”bangsa” Jawa yang menghuni wilayah ”negara” Mataram dengan Ibu Kota” di Surakarta Hadiningrat itu, menjadi tampak meyakinkan bahwa Surakarta benar-benar sudah matang sebagai Ibu Kota dan representasi sebuah bangsa. Maka, sangatlah pantas dan wajar apabila eks Ibu Kota ”negara” yang kemudian disebut sebagai ”Kota Bengawan” dan ”Kota Budaya” itu, memiliki segala kelengkapan layaknya sebagai sebuah ibu kota negara seperti yang ada di belahan dunia manapun, untuk ukuran waktu itu (1745-1945).

BISA DIMANFAATKAN : Rangkaian rel kereta api (KA) yang terhubung dari Stasiun KA Purwosari itu, semakin ke arah barat tampak putus sebelum simpang tiga Kerten. Dulu, rel itu terhubung ke gudang tembakau di Gembongan (kini kecamatan Kartasura, Sukoharjo-Red), jaraknya hanya 2 KM di selatan Bandara Adi Soemarmo. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Departemen ”Bondo Loemakso”

Selama 200 tahun itu, selain mematangkan warga peradaban atau bangsanya, negara Mataram juga melengkapi Ibu Kota ini dengan berbagai fasilitas yang dibutuhkan oleh kehidupan sebuah bangsa, negara dan warga Ibu Kota. Karena itu, di dalam Ibu Kota negara, selain kawasan keraton dan kedhaton sebagai pusat pemerintahan secara tata-nilai adat (paugeran) yang dipimpin langsung Sinuhun PB II-XII, membagi kekuasaannya secara terpisah dengan pusat pemerintahan secara administratif yang dipimpin seorang Perdana Menteri atau Pepatihdalem (Dr Purwadi/Lokantara Jogja) di kompleks Kepatihan.

Dr Purwadi mencatat, selama 200 tahun sejak 1745 (PB II) hingga 1945 (PB XII) jumlahnya ada 17 Perdana Menteri/patih yang dijabat KRA Pringgalaya (1742-1755) sebagai patih pertama hingga patih terakhir dijabat KRMT Wuryaningrat (1946-1947), karena proses transisi masih berlangsung setelah 1945. Selain kelembagaan yang punya otoritas di bidang (serupa) kementerian dalam negeri (Kemendagri), di ”Ibu Kota” Surakarta pernah punya kelengkapan lembaga keuangan mirip bank yang disebut ”Banda Lumaksa” atau ”Bondo Loemakso” yang bekas kantornya kini ada di belakang Mapolsek Pasarkliwon, ujung selatan Alun-alun Lor.

Selain lembaga keuangan yang mengurus keuangan dan aset-aset ”negara” Mataram, Ibu Kota juga punya kelengkapan lembaga legislatif atau Dewan Keraton yang berkantor di kompleks kawasan keraton. Lembaga yang diinisiasi putera tertua Sinuhun PB X ketika masih bernama KGPH Hangabehi itu, berdiri di tahun 1906 di masa jumenengnya sang ayah yaitu Sinuhun PB X, tetapi organ kepanjangan tangan lembaga yudikatif yang berupa lembaga peradilan, berada di dalam kompleks kawasan kedhaton dan bernama Panti Pidana.

Kota Surakarta alias Solo atau Sala setelah 1945 atau bahkan kini, seolah-olah sama dengan kota/kabupaten pada umumnya yang tersebar di 34 provinsi, yaitu memiliki kelengkapan organ pemerintahan demokratis di tingkat daerah kota seperti Wali Kota beserta jajaran pemerintahannya, lembaga peradilan (PN), kejaksaan (Kejari), kepolisian (Polres), militer (Kodim) dan kelengkapan lain sebagai miniatur pemerintah di tingkat pusat. Tetapi, Surakarta sudah jauh lebih dulu memiliki benih dan tonggak fasilitas sebuah Ibu Kota negara yang lengkap, lebih lengkap dan fundamental dibanding kota/kabupaten lain dan lebih istimewa dibanding daerah istimewa yang sudah ada.

DEPARTEMEN KEUANGAN : Meski hanya mengurusi lalu-lintas keuangan berskala kecil dan aset-aset ”negara” Mataram, tetapi keberadaan ”Bondo Loemakso” di Ibu Kota Surakarta, menjadi ciri kelengkapan organ pusat pemerintahan di Ibu Kota negara. Bangunan itu kini masih berdiri kokoh di belakang Mapolsek Pasarkliwon.  (foto :iMNews.id/Won Poerwono)

Sepur ”Ibu Kota”

Layaknya Jakarta lama yang kemudian menjadi Ibu Kota NKRI, ”Ibu Kota” Surakarta juga dilengkapi sarana transportasi modern untuk ukuran tahun 1900-an yang berupa ”tram” atau sepur dalam kota. Kini, relnya masih tampak kuat memanjang di sepanjang Jalan Slamet Riyadi, dan dalam dekade terakhir dimanfaatkan menjadi sarana transportasi wisata yang mengoperasikan KA Jaladara dan KA ”Bathara Kresna” (inspiratif dan futuristik-Red).

Sarana transportasi di tengah kota yang di Indonesia hanya ada dua setelah Jakarta itu, nyaris dibongkar atau ditiadakan oleh Wali Kota Hartomo yang menjabat pada tahun 1985-1995. Namun sayang, rel yang menguhubungkan Stasiun KA Purwosari menuju gudang tembakau di Gembongan (kini Kecamatan Kartasura, Sukoharjo-Red) sepanjang kurang lebih 5 KM, sudah terlanjur dikubur di zaman rezim Orde Baru. Padahal di era Presiden Jokowi ternyata butuh transpor KA yang menghubungkan stasiun Balapan dengan Bandara Adi Soemarmo, dan rel yang berakhir di gudang tembakau itu posisinya sekitar 2 KM di selatan bandara.

Selama 75 tahun keberadaan NKRI, memang banyak melengkapi kekurangan yang ada bagi daerah Kota Surakarta yang berada di dalam wadah Provinsi Jateng, kepanjangan tangan pemerintah NKRI itu, termasuk ketika beradaptasi dengan era digital di zaman milenial. Tetapi, banyak juga aset dan bagian penting dari kebesaran sebuah bekas ”Ibu Kota” yang bernilai heritage tinggi yang sudah dibangun selama 200 tahun itu, dipenggal begitu saja, dirusak begitu saja dan dihilangkan begitu saja, entah atas nama anti swapraja?, anti ”sumbu pendek”?, atau atas nama apa lagi? Tidak Jelas!.

Surakarta sebagai ”Ibu Kota” negara Mataram selama 200 tahun, memang tidak mandiri atau berdiri sendiri. Surakarta lahir dari sebuah desa berawa-rawa yang bernama Sala, yang dibeli Sinuhun PB II (sekitar 300 ribu Gulden) dari penguasa desa bernama Ki Gede Sala. Lalu, selama 200 tahun itu Surakarta ditempa, dibangun dan ditata oleh kalangan cerdik-pandai yang banyak punya ”ilmu” dan ”ngelmu”, hingga Surakarta sudah dikenal sebagai kota perguruan/pendidikan (Mamba’ul Ulum), kota pujangga, kota pesohor dan sebagainya. (Won Poerwono-bersambung)