Sangat Merugikan Bagi Peneliti Sejarah dan Sejarawan
SOLO, iMNews.id – Peristiwa hancurnya kompleks perkantoran patihdalem Sinuhun Paku Buwono (PB) XII pada tahun 1949 atau 4 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, hingga kini masih menyimpan misteri. Karena tidak pernah ada niat bersama untuk membuka kasus itu seterang-terangnya, peristiwa yang menghancurkan bagian penting eksistensi Keraton Mataram Surakarta Hadiningrat yang kini menjadi nama kampung Kepatihan di kecamatan Jebres itu, banyak memunculkan spekulasi yang berkait alasan dan sebab-sebabnya.
Penulis ketika masih aktif di harian Suara Merdeka. pernah mendapat penjelasan dari panitia peringatan ”Pertempuran 4 Hari di Solo” yang menggelar konferensi pers di tahun 1990-an. Di antara para nara sumber yang berlatarbelakang veteran tentara perintis kemerdekaan itu berucap, bahwa kompleks kantor Kepatihan ikut menjadi sasaran tentara Belanda yang mendapat perlawanan para pejuang di Solo pada peristiwa Agresi Belanda ke II tahun 1949 itu.
Tetapi, sejarawan dari Lembaga Olah Kajian Nusantara (Lokantara) di Jogja, Dr Purwadi yang dihubungi iMNews.id kemarin, menyatakan bahwa hancurnya kompleks perkantoran yang menyimpan banyak data sejarah dan pemerintahan Keraton Mataram Surakarta sejak Sinuhun PB II hingga PB XII itu, berbau unsur kudeta. Penjelasan peneliti sejarah dan penyusun ratusan judul buku sekitar sejarah dan budaya Jawa itu, seakan membenarkan pernyataan sejumlah sumber di internal kerabat Keraton Mataram Surakarta, salah satunya KPH Broto Adiningrat semasa masih hidup dalam suatu wawancara dengan penulis.
Menurut salah seorang cucu Sinuhun PB X yang meninggal akhir 2020 lalu, proses suksesi tampilnya Sinuhun PB XII di bulan Juni 1945 itu, sempat diwarnai persaingan ketat dengan kerabat dari keturunan Sinuhun PB XI lainnya. Spekulasi yang muncul, akibat kecewa tidak bisa tampil, melahirkan tindakan balas dendam dan menghancurkan kompleks pusat administrasi pemerintahan di Kepatihan, meski meminjam tangan orang lain.
”Spekulasi yang muncul, antara lain seperti itu. Bagi orang-orang seperti kami (peneliti/sejarawan), rugi sekali dengan hancurnya Kepatihan. Karena, pusat adiministrasi pemerintahan Keraton Surakarta Hadiningrat itu menyimpan data-data informasi peradaban masa lalu, yang sangat berguna untuk peradaban masa kini dan mendatang. Setidaknya, sangat berguna untuk keperluan edukasi bangsa ini,” tandas Dr Purwadi.
Menurutnya, menjadi sasaran dendam akibat persaingan politik suksesi di keraton saat itu, adalah salah satu spekulasi yang pernah lama muncul. Tetapi, ada pula spekulasi lain yaitu akibat ”amuk massa” laskar perlawanan rakyat yang dipimpin Suradi Bledheg, salah seorang pentolan kelompok ”Merapi-Merbabu Complex” (MMC).
Disebutkan, laskar perlawanan rakyat yang dipimpin Suradi Bledheg itu adalah para mantan pejuang di luar struktur tentara resmi yang jumlahnya mencapai 26 ribu orang yang tersebar terutatama di Jawa Tengah. Oleh Bung Hatta (Wapres RI), semula dijanjikan akan akomodasi sebagai anggota TRI (kini TNI-Red), tetapi karena kuotanya sudah cukup lalu laskar sejumlah itu tidak jadi dijadikan personel tentara resmi NKRI.
”Hasil penelitian saya menyebutkan, Suradi Bledheg dan laskarnya kecewa, lalu dilampiaskan dengan mengamuk. Istilah waktu itu untuk menyebut tindakannya adalah ‘ngasag’. Semua bangunan milik orang kaya yang pro-NKRI dirusak, dijarah dan dihancurkan. Sejumlah bangunan bersejarah di Kabupaten Boyolali, banyak yang hancur. Kompleks Kepatihan, juga dijadikan sasaran. Karena dianggap menyimpan harta dan punya kekuasaan,” sebut abdidalem anggota Pakasa Cabang Jogja itu.
Dengan melihat indikator-indikator itu, lanjut Dr Purwadi, spekulasi akibat amuk massa Suradi Bledheg itu yang paling mendekati kebenaran sebagai alasan penyebab hancurnya kompleks Kepatihan. Apalagi, Suradi Bledheg adalah satu di antara kader militan binaan Tan Malaka, yang mulai menyebarkan pengaruh komunis sejak Jogja dipilih Presiden Soekarno menjadi Ibu Kota kedua setelah Jakarta.
Dari hasil penelitiannya, Dr Purwadi tidak menyebutkan adanya spekulasi tentang akibat serangan Belanda pada peristiwa Agresi II tahun 1949 di Solo yang dikenal dengan ”Serangan 4 Hari di Solo” itu. Sementara, Widodo Aribowo seorang kandidat doktor yang sedang menyusun disertasi tentang ”Kajian Budaya” di UNS, saat dihubungi secara terpisah tadi siang tidak bersedia menyebutkan beberapa spekulasi yang muncul dari misteri hancurnya kompleks Kepatihan Keraton Mataram Surakarta.
”Tetapi, saya adalah salah satu yang dirugikan akibat hancurnya Kepatihan. Saya sangat penasaran, pengin tahu, sebenarnya apa yang terjadi dengan hancurnya kompleks Kepatihan itu?. Saya ingin sekali meneliti. Katanya sudah ada buku yang membahas soal Kepatihan. Itu yang ingin saya jadikan pijakan untuk meneliti lebih jauh,” ujar dosen pengajar di Akademi Seni Mangkunegaran (Asga) itu. (won)