Regenerasi Harus Berjalan, Walau Zaman tak Bikin Nyaman (3-habis)

  • Post author:
  • Post published:April 8, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read

Suka atau Tidak, Siap atau Tidak, Gusti Timoer Harus Tampil

iMNews-id – SEBUTAN ”Benteng Pertahanan Terakhir” yang diberikan kepada Gusti Moeng dengan segala kapasitasnya dan prestasi di bidang apa saja yang telah, tentu sangat luas maknanya. Termasuk, kesadaran memikirkan masa depan eksistensi Keraton Mataram Surakarta, sejarah peradaban dan masyarakat adat yang akan melegitimasi keraton serta merawat peradaban untuk masa depan.

Dalam kerangka jaminan futuristik itu pula, Gusti Moeng memikirkan pula siapa figur yang tepat untuk meneruskan membawa tongkat estafet perjuangan, kepeloporan dan kepemimpinan. Ibarat dalam tokoh pewayangan, dia pantas disebut seperti dalam lakon ”Srikandi Senapati”, meski mendapat julukan dari sang ayah (Sinuhun PB XII) sebagai ”Putri Mbalela”.

Namun, karena kesadaran terhadap nasib masa depan Keraton Mataram Surakarta, juga masyarakat adat yang melegitimasi dan peradaban yang harus dirawat, maka Pengageng Sasana Wilapa itu punya keyakinan penuh, bahwa KGPH Mangkubumi sudah saatnya didorong untuk mempersiapkan diri menjadi calon pengganti ayahandanya atau calon ”Sinuhun PB XIV”.

Karena sejumlah alasan dan konsekuensi logis itu pula, Gusti Moeng mulai mendorong kakak lain ibu dari KGPH Mangkubumi (36) yang bernama GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani (48), agar mempersiapkan diri menjadi calon pengganti dirinya. Dorongan yang diberikan LDA pimpinan Gusti Moeng ini, sekilas merupakan bagian dari distribusi peran atau mengurangi kesan ”one man show”, tetapi kesiapan tokoh-tokoh muda calon penerima tongkat estafet, merupakan tuntutan kebutuhan mendesak yang harus segera dipenuhi.

Harus Mau dan Harus Siap

Oleh sebab itu, dua tokoh muda pasangan kakak-adik yang merupakan generasi ketiga Sinuhun PB XII itu, sepertinya tidak salah jika sejak beberapa waktu lalu mulai diperkenalkan di ruang publik secara luas dan internal masyarakat adat, sebagai sosok-sosok penerus di bidang masing-masing. Keduanya harus cepat bersiap, suka atau tidak, mau atau tidak, siap atau tidak harus menerima tongkat estafet itu.

Dua keponakan yang lahir dari dua istri berbeda sang kakak (Sinuhun PB XIII) itu, sejak ”ontran-ontran suksesi 2004” lalu sudah mendapat perhatian Gusti Moeng. Keduanya selalu dalam pengawasannya agar dekat dan selalu dalam bimbingannya. Karena disadari, sejarah pelanggaran paugeran adat saat datang proses suksesi, akan selalu mengancam kapanpun, seakan tak peduli alam dan zamannya sudah jauh berbeda dan berubah modern.

”Karena itu, saya siap. Meskipun jalan yang saya lalui tidak bisa persis seperti yang dilalui Gusti Moeng. Saya paham, prosesnya memang beda, karena zamannya Gusti Moeng dengan zaman saat saya dipersiapkan ini jelas jauh berbeda. Saya kira, sama-sama berat proses yang kami lalui. Tetapi faktor yang menjadikan berat satu sama lain berbeda. Tetapi insya Allah saya siap menerima tongkat estafet itu,” jawab tegas Gusti Timoer ketika siang tadi ditanya iMNews.id, tentang kesiapannya menerima tugas meneruskan tongkat estafet Gusti Moeng, kelak.

PERAN PUBLIC FIGURE : Sebagai public figure, calon putra mahkota KGPH Mangkubumi, sudah sejak lama diperkenalkan ke ruang publik secara luas, yaitu ketika memerankan tokoh Jaka Tingkir, dalam event Labuhan Kupat Sewu yang diadakan TSTJ Solo, beberapa waktu lalu.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ini berarti, jalan lurus di hadapan kedua tokoh muda itu sudah terbuka. GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani yang akrab disapa Gusti Timoer, juga sudah mulai banyak mengenyam pengalaman untuk menggenapi kapasitasnya. Mulai dari jabatan Wakil Pengageng Keputren, Pengageng, Ketua Pengelola Kawasan Alkid, Ketua Paguyuban Wayahdalem ”Sawo Kecik” sampai berbicara di ruang publik (public speaker) peran sebagai penari beksan sakral Bedaya Ketawang dikuasai.

Dalam kerangka mempersiapkan calon penerima tongkat estafet itu pula, Gusti Timoer mulai banyak diperkenalkan sebagai pembicara dalam seminar busana pengantin gaya (Keraton) Surakarta serta forum-forum resmi lainnya di luar keraton. Begitu pula, bagi calon putra mahkota, KGPH Mangkubumi juga mulai diperkenalkan untuk memimpin utusandalem pada upacara-upacara adat seperti Garebeg Mulud, sebelum insiden 2017.

Butuh Percepatan Persiapan

Menjadi calon putra mahkota yang dipersiapkan menjadi Sinuhun Paku Buwono XIV, memang tidak semudah proses pengkaderan dalam sebuah organisasi kemasyarakatan, lembaga kepemudaan maupun partai. Di lingkungan lembaga masyarakat adat di Keraton Mataram Surakarta, seorang calon pemimpin atau imam dalam sebuah keluarga besar, harus pula berpengalaman lengkap, paham paugeran adat serta patuh terhadap konstitusi dinasti itu.

Sebab itu pula, Gusti Moeng mulai sering menampilkan di acara penyerahan kekancingan paringdalem gelar sesebutan, sekalipun baru ditugasi mengalungkan samir bagi para penerimanya. Tugas menyampaikan dhawuh ujub dalam ritual, juga sudah sering diberikan kepada KGPH Mangkubumi, termasuk bagaimana keduanya memperkuat barisan Gerakan Penyelamatan Keraton Surakarta yang dipimpin Gusti Moeng, melalui kelompok relawan #Lestarikan Keraton yang diketuai artis Rian D’Masiv.

MEMIMPIN UTUSANDALEM : KGPH Mangkubumi, jauh sebelum menghadapi insiden 2017, sudah disiapkan untuk kebutuhan yang sekarang sudah mendesak. Dia ditugasi memimpin utusandalem yang akan memasuki kagungandalem Masjid Agung pada puncak ritual Garebeg Mulud. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Mencermati perkembangan terakhir proses perjalanan ke arah penyelesaian konflik di Keraton Mataram Surakarta, pengamat budaya Jawa dan keraton dari sisi spiritual, KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito punya sikap pesimistis persoalan konflik itu bisa berakhir baik-baik dalam waktu dekat. Artinya, segala yang sudah disiapkan Gusti Moeng itu bisa dilakukan percepatannya sesegera mungkin dalam kerangka ”Gerakan Penyelamatan Keraton” yang sudah dimulai (iMNews.id/13/2).

”Kalau menunggu pergantian sampai saat Sinuhun (PB XIII-Red) wafat seperti yang terjadi pada proses suksesi kepemimpinan di masa-masa lalu, keraton keburu hancur dan bisa habis-habisan isinya. Yang rugi bukan hanya masyarakat adat, tetapi warga peradaban secara luas. Dari kacamata pandang saya, ketika Keraton Surakarta goyah atau bahkan hancur, pengaruhnya bisa dirasakan secara nasional”.

”Masalahnya, kita tidak tahu bagaimana mekanisme prosedurnya secara adat, apabila ada pergantian sebelum yang jumeneng ‘seda’ (wafat). Padahal, Sinuhun (PB XIII-Red) sudah sakit dan tidak bisa apa-apa. Malah membuka peluang (Sinuhun) dimanfaatkan oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, kalau kondisi seperti sekarang dibiarkan saja,” jelas KRT Hendri Rosyad menjawab pertanyaan iMNews.id di tempat terpisah, tadi siang. (Won Poerwono-habis)