iMNews.id – BENTENG pertahanan terakhir ketika dikaitkan dengan pertanyaan untuk ”membentengi siapa” dan ”apa”?, tentu tidak ada kata lain selain menunjuk pada pribadi GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDAT), sekaligus sebagai Pengageng Sasana Wilapa.
Posisi dan kedudukan anak ke-25 dari 35 putra/putri Sinuhun PB XII yang akrab disapa Gusti Moeng itu, tentu saja menunjuk pada tugas dan tanggungjawabnya untuk membentengi eksistensi peradaban Jawa sekaligus Dinasti Mataram, yang berarti membentengi Keraton Mataram Surakarta beserta serluruh elemen pendukung yang melegitimasinya.
Sedangkan membentengi dari apa dan siapa?, jelas menunjuk pada apa saja, siapa saja dan kapan saja yang bisa mengancam semua yang dijaga dengan benteng pertahanan terakhir yang ada di pundak Gusti Moeng itu. Apa dan siapa, bisa sangat luas maknanya, bisa perorangan atau kelompok di dalam lembaga penguasa maupun di luar itu, bahkan dari mancanegara.
Ancaman terhadap keutuhan dan eksitensi peradaban, budaya dan lembaga yang selama ini merawat dan melestarikan peradaban dan budaya yaitu Keraton Mataram Surakarta, yang selama ini telah terjadi sangatlah beragam asal-usulnya. Tanpa ada sosok figur seperti Gusti Moeng dan para pengikutnya yang setia untuk menegakkan adat, melestarikan budaya dan menjaga peradaban, Keraton Mataram Surakarta pasti akan berakhir atau selesai sampai di sini.
Kalau keraton yang menjadi sumber dan pusat pelestarian budaya sudah berakhir atau selesai, budaya Jawa lama-lama tentu juga akan berakhir atau selesai. Begitu pula peradaban yang sedang berjalan sekarang yang masih diwarnai budaya Jawa, tanpa dijaga dengan benteng pertahanan seperti yang diinisiasi diperjuangkan Gusti Moeng, lama-lama tentu akan berakhir atau selesai pula.
”Oleh sebab itu, saya sekarang hanya menjalankan apa yang sudah saya mulai (deklarasi mengambilalih segala urusan) beberapa waktu lalu (iMNews.id, 13/2). Momentum itu harus dilanjutkan dengan tindakan nyata, yaitu berbenah-benah, resik-resik dan menata ulang keraton dan lingkungannya agar kembali menjadi tapak peradaban yang sesuai dengan marwahnya,” jelas Gusti Moeng menjawab pertanyaan iMNews.id, mengulang yang disampaikan saat peresmian Sekretariat Relawan #Lestarikan Keraton di topengan Kori Kamandungan, beberapa waktu lalu (iMNews.id, 22/3).
Merawat Simbol Kebhinekaan
Apa yang disebut Gusti Moeng dengan mengembalikan keraton sebagai tapak peradaban Mataram, sangat jelas sekali terkoneksi dengan peran, tugas dan kewajibannya sebagai benteng pertahanan terakhir tersebut di atas. Karena, dialah yang memang memiliki kapasitas dan otoritas untuk kerja besar itu, memimpin semua elemen yang bernaung di bawah LDA yang juga merupakan representasi perwakilan trah darahdalem keturunan Sinuhun Amangkurat Agung hingga Sinuhun Paku Buwono (PB) XIII sekarang ini.
Kalau ditempatkan sebagai sebuah tema, gerakan kerjabhakti bersih-bersih lingkungan keraton yang sedang berjalan sejak Senin (22/3) dan akan berakhir hingga September nanti, tepat sekali kalau menjadi bagian dari ”benteng terakhir pertahanan” Keraton Mataram Surakarta. Oleh sebab itu, ungkapan vokalis Rian D’Masiv selaku Ketua Relawan #Lestarikan Keraton, ketika berpidato dalam peresmian kantor sekretariat relawan itu (iMNews.id, 23/2), sangatlah tepat.
”Dengan kerjabhakti bersih-bersih keraton, berarti kita peduli terhadap kelestariannya. Dengan gerakan peduli keraton di Solo, kita berharap bisa memancarkan energi positif, sehingga bisa ditiru masyarakat di wilayah lain untuk tergerak melestarikan keraton di dekatnya”.
”Gerakan melestarikan keraton, adalah gerakan merawat kebhinekaan. Mudah-mudahan gerakan ini bisa menjadi gerakan nasional, karena merwat kerato kebhinekaan, berarti juga merawat Nusantara yang tentu juga merawat keutuhan NKRI,” ujar vokalis grup band D’Masiv yang dikenal lewat lagunya ”Jangan Menyerah” itu.
Apa yang diharapkan Rian Ekki Pradipta (34) itu, tentu sangat strategis dan idealistik. Terlebih, mengingat Gusti Moeng adalah Sekretaris Jenderal (Sekjen) Fotum Komunikasi Informasi Keraton se-Nusantara (FKIKN), yang anggotanya adalah kerajaan/keraton-keraton yang masih utuh dan eksis di Nusantara, yang dulu ikut mendirikan NKRI.
Hadir Sesuai Marwahnya
Posisi Gusti Moeng bersama LDA dan sejumlah elemen pendukungnya dalam melakukan gerakan langkah penyelamatan keraton yang tepat, akan dijadikan contoh dan model bagi keraton dan masyarakat adatnya di tempat lain. Seperti ditegaskan Rian D’Masiv itu, merwat keraton berarti merawat kebhinekaan, yang berarti pula menjaga keutuhan NKRI.
Benteng pertahanan terakhir dalam menegakkan paugeran adat yang berlaku di internal masyarakat adat, bila dipaparkan tentu berisi apa yang sudah dilakukan Gusti Moeng dan gagasan pemikiran Rian D’Masiv yang melandasi kesediaannya menjadi Ketua Relawan #Lestarikan Keraton.
Dalam kerangka seperti itulah, pemerhati budaya Jawa dan Keraton Mataram Surakarta di bidang spiritual, KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito (62) mendasari keinginannya agar pemerintah cepat merespon dengan langkah-langkah yang tepat dan solutif, sesuai marwahnya menjadi representasi kehadiran negara. Karena, Keraton Mataram Surakarta adalah komponen simbol kebhinekaan yang melegitimasi NKRI, bahkan menjadi ”miniatur NKRI”.
”Perannya sudah sangat lengkap saat mendirikan NKRI. Banyak sekali simbol-simbol negara ini, yang diambil dari Keraton Mataram Surakarta. Modal secara pisik dan sangat beragam untuk berdirinya NKRI, ternyata juga banyak yang dari Keraton Surakarta. Maka, Keraton Surakarta itu miniatur dan embrionya NKRI. Maka, sebaiknya diberikan apa yang menjadi hak-haknya,” ujar KRT Hendri, salah seorang keturunan abdidalem pengurus Masjid Kepatihan di masa Sinuhun PB X (1893-1939) itu.
Dalam kerangka langkah penyelamatan yang diambil Gusti Moeng selaku Ketua LDA, juga dinilai tepat oleh KRT Hendri, bahkan dirinya mendukung sepenuhnya. Menurutnya, langkah-langkah yang diambil Ketua LDA itu, adalah sudah sewajarnya dilakukan karena Keraton Mataram Surakarta berada di ambang kehancuran sekarang ini. (Won Poerwono-bersambung)