Tidak Akan Ada Lagi, Walau Hanya Lewat Lagu Dangdut
iMNews.id – MELIHAT trend perkembangan peradaban Jawa secara khusus dan peradaban dunia secara umum dan global, sepertinya sangat kecil kemungkinannya akan melahirkan lagi sosok Pujangga Jawa, walau sebatas hanya dilihat dari karya musik atau nyanyian lagu-lagu dangdut yang dibawakannya.
Ketika Pujangga Ranggawarsita (I, II, dst), Pujangga Yasadipura (I, II, dst) atau Pujangga Padmasusatra dan beberapa tokoh lain yang muncul kemudian eksis dengan segenap kapasitas kemampuannya, suasana peradaban memang benar-benar sangat mendukung.
Kalaulah mereka bisa disebut seorang Brahmana, Wiku, Resi atau sebutan yang pantas lainnya seperti yang ada di dunia seni pakeliran/pedalangan, suasana kehidupan peradaban pada masanya memang benar-benar menjadi habitatnya dalam waktu yang panjang.
Begitu pula ketika ”pujangga-pujangga” yang lahir pada masa sesudahnya, yang bisa dikatagorikan sebagai empu karena bidangnya tak hanya menyangkut masalah kesusasteraan atau justru di luar masalah itu. Karena, peradaban/budaya Jawa memiliki cakupan sangat luas, hampir semua sendi kehidupan manusia yang tergolongkan dalam ”jagad gede” dan ”jagat cilik”, bahkan mencakup ilmu pengetahuan dan teknologi.
Artinya, berkembangnya ilmu pengetahuan (science-knowledge) dan teknologi (technology), juga membantu pengembangan bagian-bagian/cabang-cabang budaya, hingga mandiri sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Misalnya, ilmu pengetahuan tentang kesusasteraan Jawa itu, bisa berkembang atau bersenyawa dengan ilmu pengetahuan tentang musik.
Yang pada gilirannya kemudian, kesusasteraan berkembang melalui seni pedalangan/pakeliran, karawitan, geguritan atau olah vokal sindenan sampai lahirnya seni musik/bernyanyi lagu-lagu yang berlirik bahasa Jawa dan dengan rangkaian notasi bercirikhas Jawa.
Jembatan Penghubung Pujangga
Lahirnya tokoh dalang Ki Nyotocarita, Ki MNg Sutarno, Ki Nartosabdo, Ki Panut Darmoko yang kemudian disusul dua dalang besar generasi sesudahnya yaitu Ki Anom Suroto dan Ki Manteb Soedarsono, merupakan jembatan penghubung generasi Pujangga Jawa sesuai zamannya ke generasi zaman berikutnya seperti Manthous, Didi Kempot, Sony Joss, Cak Diqin dan yang lain.
Termasuk pula, tampilnya legenda keroncong/langgam Jawa Gesang Martoatmojo, Andjar Any, Waldjinah dan beberapa nama besar pesinden seperti Nyi Condrolukito, Nyi Ng Mardusari, Nyi Tuginem, Nyi Sutantinah, Nyi Supadmi dan Nyi Anik Sunyahni, juga bisa disebut sebagai jembatan penghubung sampai lahirnya penyanyi campursari terkenal yang muncul di era 2000-an.
Semua nama besar yang pernah muncul dalam bingkai budaya Jawa dengan label ”Pujangga Jawa” ataupun ”Pujangga Dangdut Jawa” itu, lahir dan dibesarkan pada masanya. Tak terkecuali ”Sang Raja Dangdut Jawa” Didi ”Kempot” Prasetyo.
Daya Dukung Mati
Suasana zaman/peradaban di masa-masa menjelang Didi Kempot meninggal, sepertinya sudah tidak memungkinkan lagi menjadi habitat yang baik bagi lahirnya tokoh ”Pujangga Dangdut Jawa”, terlebih yang punya kapasitas selengkap Didi Kempot.
Sebab, daya dukung sebuah habitat seperti panggung-panggung seni pertunjukan ketoprak, ludruk, wayang wong, wayang kulit, drama/teater yang banyak menggunakan cabang-cabang/bagian-bagian dari budaya Jawa, sudah langka bahkan mati. Aktivitas pertunjukan seni itu sudah terkubur oleh perubahan sosial, bersamaan dengan maraknya kepentingan politik (identitas), kekerasan atas nama agama dan kelompok, dan ancaman budaya dari luar yang begitu masif.
Maka, dengan tegas dua komposer musik pop Jawa sekaligus yaitu Andi Zate (49) dan Wawan Liswanto atau Mbolo MC (55), menyatakan kepada iMNews.Id bahwa tak akan mungkin ada Pujangga Dangdut Baru yang benar-benar bisa merepresentasikan wong Jawa dan budaya Jawa.
”Staso yang anak kandungnya almarhum (Didi Kempot), tak akan mungkin bisa. Juga Deny Caknan (Ngawi) yang kini muncul di berbagai media publik menyanyikan lagu-lagu Jawa, tak akan bisa menggantikan almarhum. Karena, suasana kehidupan yang mereka alami sudah jauh berbeda. Jauh dari suasana kehidupan budaya/peradaban Jawa,” tegas Andi Zate dan Mbolo MC di tempat terpisah, kemarin.
Komposer dan sahabat ngamen ”The Godfather of Broken Heart” sejak 1986 yang memilih profesi jadi MC itu, punya keyakinan atas pendapatnya. Karena, referensi almarhum tentang kesusasteraan Jawa dan bergaul di berbagai pertunjukan seni rakyat di lingkungan masyarakat etnik Jawa, telah membuatnya matang dalam menangkap realitas kehidupan dan mengekspresikan dalam lirik-lirik lagu yang ditulisnya, serta membawakannya dengan bernyanyi di atas panggung.
”Maka kalau ada pendatang baru apakah sebagai pencipta lagu (congdut/pop/dangdut) Jawa, atau sekaligus menyanyikannya, ya tentu mewakili suasana yang serba dangkal, keras dan ekstrem seperti sekarang ini. Walau hanya menyanyikan, tetapi tidak akan memberi nilai apa-apa, kecuali nilai ekonomi komersial,” tunjuk Mbolo MC maupun Andi Zate. (Won Poerwono-habis)