Mungkinkah Akibat Spekulasi Menggunakan Nama Dinasti Paku Buwana?
IMNEWS.ID – BEBERAPA waktu setelah Sinuhun Paku Buwana (PB) XIII diantar jumeneng nata sebagai pengganti/penerus Sinuhun PB XII di tahun 2004, ada diskusi kecil yang beberapa kali muncul di kalangan “rayi-dalem”. Di antara beberapa kali diskusi itu, sempat membahas pertanyaan (harian) Suara Merdeka (kini iMNews.id-Red) tentang penggunaan urutan dinasti ke-13 dalam gelar lengkap SISKS PB XIII.
Pertanyaan ringan itu bisa masuk ke ranah bercanda, karena di tengah pergaulan masyarakat luas sering terdengar ungkapan bernada “guyon” yang berbunyi “celaka tiga belas”. Bahkan “angka 13” sudah dipahami publik secara luas di berbagai wilayah lintas bangsa, sebagai angka sial dan keramat. Tetapi pertanyaan yang kemudian muncul, apakah benar dalam terminologi Budaya Jawa mengenal makna itu?

Dua tokoh yang ikut terlibat dalam diskusi kecil itu, sempat tersenyum geli setelah memperhatikan ungkapan “celaka 13” dan makna sial dan keramat di balik “angka 13”. Yang jelas, dengan agak berat hati dua tokoh hebat (GKR Galuh Kencana dan GKR Retno Dumilah) yang sudah mendahului wafat itu terkesan harus menerima dengan ikhlas apa yang sudah seharusnya terjadi sebagai sebuah keniscayaan.
Kepada kedua kakak kandung GKR Wandansari Koes Moertiyah (Gusti Moeng) itu, Suara Merdeka (iMNews.id) melanjutkan dengan pertanyaan yang maknanya dalam terminologi Jawa berbunyi “Luput saka kekudangan, mrucut saka gendhongan”. Sambil menatap ke arah lain bernada kesal, Gusti Galuh (GKR Galuh Kencana), menjawab lirih “Yaahhh ….. seperti itulah. Mungkin Allah (SWT-Red) sudah mentakdirkan begitu”.

Apa yang diungkapkan Pengageng Keputren (GKR Galuh Kencana) dalam gaya mengeluh karena terkesan ada yang “membuat segalanya terpaksa” (keniscayaan) waktu itu, lalu dilanjutkan dengan pernyataan penjelasannya. Dengan singkat diungkapkan, sebenarnya ada beberapa pertimbangan di masa berkabung 40 dan 100 hari menjelang penobatan di tahun 2004 itu. Yaitu pertimbangan tidak menggunakan gelar dinasti.
Usulan untuk tidak menggunakan nama dan gelar Dinasti Mataram Surakarta Paku Buwana saat itu, untuk menghindari pemakaian angka urutan dinasti “13”. Dan usulan nama dan gelar pengganti, akan meneruskan nama dinasti Amangkurat yang sudah sampai urutan “V”. Karena, nama dan dinasti yang terakhir digunakan saat Kraton Mataram Islam masih berIbu Kota di Kartasura, adalah Sinuhun Amangkurat IV (Jawi).

Beberapa pertimbangan karena ada usulan pemakaian nama yang sama-sama pernah digunakan di dalam keluarga besar Dinasti Mataram itu, tentu masing-masing ada konsekuensinya. Walau alasan tidak digunakannya usulan ganti nama dan gelar itu tidak diungkapkan Gusti Galuh, tetapi sangat mungkin kemudian disadari konsekuensi masing-masing yang timbul kemudian, bisa berefek secara adat kurang baik/negatif.
Begitu pula ketika kemudian tetap bertahan menggunakan nama dan gelar dinasti, yaitu Paku Buwana “ingkang kaping” (ke) “13”. Gusti galuh dan juga Gusti Retno Dumilah, termasuk yang kurang bahkan tidak yakin bahwa dalam Budaya Jawa mengenal angka sial atau keramat “13”. Di sisi lain, ada fakta yang bisa dimaknai, penerus dinasti yang bergelar PB XIII, terkesan benar-benar cocok dengan pemeo di atas.

Pemeo Jawa yang berkonotasi negatif “Luput saka kekudangan, mrucut saka gendhongan”, sangat lekat dengan perjalanan Sinuhun PB XIII selama mendapat tugas dan amanah sebagai pemimpin adat dan Dinasti Mataram di Kraton mataram Surakarta. Karena sepanjang memimpin nyaris tidak menampakkan tanggung-jawab dan kewajibannya sebagai pemimpin, pengayom dan teladan bagi keluarga, kerabat dan masyarakat adat.
Riwayat perjalanan hidup selama memimpin (2004-2025), bahkan sejak masa muda sebagai putra tertua, apa yang dilakukan nyaris benar-benar “Luput saka kekudangan” atau meleset (jauh) dari semua doa harapan, dambaan dan ekspektasi ideal. Pada giliran berikut, semua kepercayaan dan amanah yang diberikan kepadanya juga nyaris tak ada yang berbuah baik atau positif serta ideal, tetapi sebaliknya.

Nyaris tak berbuah positif dan ideal, bahkan tak menghasilkan apa-apa alias “kosong-mlompong”, begitu kira-kira makna pemeo “Mrucut saka gendhongan”. Ibarat seorang bayi (balita) yang diasuh orangtuanya, agar aman dan terhindar dari berbagai potensi ancaman, digendong ibunya dengan selendang agar selalu dalam dekapan (perlindungan). Tetapi, entah siapa “setannya yang lewat”, bisa “mbrojol”.
Dalam pemeo positif dan ideal yang berbunyi “mbrojol ing akerep”, itu melukiskan kemampuan seseorang lolos dari berbagai potensi ancaman dan bisa lepas dari segala keterbatasannya lalu mendapatkan sesuatu yang ideal dan berarti. Tetapi, “mbrojol” atau “mrucut saka gendhongan” itu tentu karena ulah dan “polah” liar yang didasari ambisi, datang dari niat sendiri atau karena salah “pergaulannya”.

Akibat keniscayaan yang justru menghasilkan kerusakan, kekacauan dan ketimpangan di kalangan masyarakat adat Kraton Mataram Islam Surakarta itu, maka sejarah akan mencatat eksistensi tokoh SISKS Paku Buwana XIII ini benar-benar menjadi “pengecualian” di antara sederet tokoh pemimpin Dinasti Mataram. Walau jajaran Bebadan Kabinet 2004 ikhlas menerima, tetapi nalar sehat sulit memberi pembenaran.
Akal sehat publik secara luas, bahkan kalangan berbagai elemen masyarakat adat sendiri, sulit untuk membenarkan dan menerima bahwa semua yang pernah dilakukannya diklaim sebagai karya seseorang pemimpin yang “Luput saka kekudangan, mrucut saka gendhongan”. Tatacara penulisan sejarah yang berlaku memang bisa membenarkan, semua karya pada 2004-2025 bisa disebut karya zaman Sinuhun PB XIII jumeneng nata.

Tetapi publik secara luas dan di kalangan masyarakat adat sendiri yang menyaksikan tentu akan berkata lain. Karena, semua karya yang lahir pada periode 2004-2025 saat Sinuhun PB XIII, justru murni karya-karya jajaran Bebadan Kabinet 2004 yang dipimpin Gusti Moeng, selaku Pengageng Sasana Wilapa, Pangarsa LDA dan berbagai lembaga yang dipimpin. Sementara, nyaris tak ada karya langsung Sinuhun PB XIII.
Disetujui atau tidak, sejarah telah menorehkan bahwa eksistensi para pemimpin di masa lalu terutama dalam garis Dinasti Mataram, banyak diukur dan ditakar dari karya-karyanya sebagai ciri khas peradaban. Maka, ketika kebiasaan menakar atau mengukur menjadi acuan ketokohan pemimpin di Mataram Surakarta, tentu menjadi pengecualian untuk Sinuhun PB XIII, karena nyaris sama sekali “tak berkarya”.

Dengan fakta-fakta itu, kalau seorang tokoh dari “Lembaga Kapujanggan” bernama KPH Raditya Lintang Sasangka menyebut jangan sampai ada “Nata tanpa labuh karya”. itu tepat sekali untuk menyebut zaman kepemimpinan Sinuhun PB XIII yang “Luput saka kekudangan, mrucut saka gendhongan” itu. Dia menjadi satu-satunya “raja” di Mataram Surakarta yang “tanpa labuh karya” atau sama sekali tanpa karya nyata.
Dan kalau ditakar dengan ukuran-ukuran lain, semakin jelas reputasi tokoh yang selama ini hanya dijadikan tameng atau klaim kelompok yang selalu memanfaatkan “dhawuh Sinuhun”. Dan itulah yang menambah “buta” sang tokoh, karena memang hanya “Ratu tanpa laku” dan “Narendra tanpa werus kawula”. Selama dipercaya menjadi pemimpin, hanya bergaul dan dimanfaatkan kelompoknya yang rata-rata “destroyer”. (Won Poerwono – bersambung/i1)
