Sekar Wijayakusuma Simbol “Kehidupan”, Jadi Tradisi Para Raja Memetiknya
IMNEWS.ID – DALAM “Babad Ila-ila” yang ditulis kurang-lebih bersamaan dengan penjelasan kisah Ki Ageng Tarub “mantu”, pada saat dia masih hidup atau setelahnya antara abad 14-15 M, juga menyebut kisah-kisah dan piwulang luhur lain untuk para pemimpin. Termasuk syarat memetik kembang atau “sekar” Wijayakusuma ke bumi Nusa-Kambana (Pulau Nusakambangan), sebagai simbol “kehidupan” bagi seorang Raja.
“Jadi, sekar Wijayasakusuma itu simbol kehidupan bagi tokoh Kresna. Padahal, Prabu Kresna adalah simbol Bathara Wisnu seperti yang selalu dimiliki raja-raja Kraton Majapahit. Sedangkan Bathara Wisnu adalah simbol kawicaksanaan. Jadi, bagi raja-raja di tanah Jawa, memetik sekar Wijayakusuma agar memiliki semangat kehidupan (memberi hidup) sekaligus memiliki kawicaksanan,” ujar KP Budayaningrat.

Dwija Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta itu, bertutur banyak mengenai berbagai hal yang menjadi “lampah-lampah” dan syarat seseorang tokoh menjadi Sinuhun Paku Buwana (PB). Termasuk penilaian/pandangannya pada “dua calon” Sinuhun PB XIV, baik yang sudah “melampiaskan ambisinya” deklarasi di depan peti jenazah “ayahnya”, maupun yang penuh etika dan kesabaran menjalani “lakunya”.
Kini, tinggal KGPH Hangabehi yang sudah menjalani wilujengan sebagai “Sang Adipati Anom”. Untuk menuju “tahtanya” sebagai Sinuhun PB XIV, harus menjalani “lampah-lampah” dan berbagai persyaratan adat yang harus dilakukan. Termasuk shalat Jumat 7 kali seperti yang disebut “Maha Menteri” KGPH Tedjowulan, dan menurut KP Budayaningrat para raja dahulu justru sampai 40 kali Jumatan di Masjid Agung.

Menurut pemerhati budaya tokoh “Lembaga Kapujanggan” di Kraton Mataram Surakarta ini, masih banyak yang harus dijalani proses menuju tahta sebagai Sinuhun Paku Buwana selain shalat 7 Jumat. Yaitu shalat khajad di Masjid Pudyasana yang dipandu para ulama dari Masjid Kadilangu, Demak. Juga sumpah di atas “Sela Tridenta” (Bangsal Pangrawit) seperti Hayam Wuruk dan seperti Surya Wasesa Pamenang Kediri.
Sumpah terakhir di “Pancaniti”, setelah semua persyaratan dijalani secara urut, termasuk “khataman Alqur’an” dan meditasi di Bandengan (Pemandengan). Wejangan para pinisisepuh dan paranparanata harus diterima Sang Adipati Anom, di hadapan semua abdi-dalem ulama. “Ditambah semua saran KGPH Tedjowulan yang mengaku dirinya tidak ‘wahyu Ratu’, tetapi memiliki ‘ilmu Ratu’. Saya catat semua itu,” katanya.

Selain itu, para raja Mataram terdahulu juga punya tradisi yang disyaratkan untuk memetik kembang Wijayakusuma ke Pulau Nusakambangan. Bunga yang sangat langka keberadaannya itu, sebagai simbol “kekuasaan” bagi seorang raja. Tetapi juga harus punya sifat “kawicaksanan”, seperti tokoh panutan yang diteladani, Prabu Kresna dan Bathara Wisnu. Tanaman bunga itu, sudah ada di Astana Pajimatan Tegalarum.
Seperti diketahui, saat KGPH Hangabehi memimpin rombongan dari kraton melakukan ritual “nyadran” di bulan Ruwah Tahun Je 1958 (2025), sempat diminta menanam bibit pohon bunga Wijayakusuma. Ada upacara kecil penyerahan bibit tanaman dari tokoh Pakasa setempat kepada KGPH Hangabehi, yang kemudian bersama-sama menanam pohon itu di samping “cungkup” makam Sinuhun Amangkurat Agung, Astana Tegalarum.

Belum ada informasi dari pengurus makam Sinuhun Amangkurat Agung di Desa Paseban, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Slawi/Tegal mengenai kondisi tanaman Wijayakusuma itu. Apakah terawat dengan baik dan sudah bisa berbunga, atau belum? Bila bisa berbunga, apa paugeran adat bisa membenarkan sekar Wijayakusuma itu cukup diambil dari Tegalarum? Sehingga tidak jauh-jauh ke Nusakambangan yang belum tentu ada.
“Sejauh yang saya ketahui dan saya kaji, sekar Wijayakusuma itu sudah menjadi pusaka turun-tumurun bagi Mataram. Karena, saya punya catatan tentang penobatan Sinuhun PB II sebagai Raja tahun 1726, ketika Ibu Kota Mataram Islam masih di Kartasura. Jadi, untuk segala kebaikan kraton mengutus abdi-dalem ke Nusakambangan dan singgah di Kadipaten Donan (kini Cilacap-Red)”, ujar Ki Dr Purwadi.

Peneliti sejarah yang juga Ketua Lokantara Pusat di Jogja itu menyebut, utusan memetik sekar Wijayakusuma ke Pulau Nusakambangan sebagai syarat putra mahkota Sinuhun Amangkurat IV (Jawi) jumeneng nata sebagai Sinuhun PB II, diiring sejumlah pejabat Bupati Bang Kilen (wilayah barat). Dalam dimensi lain dan kosmologi Jawa, syarat ini juga berkait dengan urusan politik makhluk halus yang harus dihadapi.
“Kalau diibaratkan sebuah negara, Nusakambangan itu adalah Ibu Kota bangsa makhul halus. Kawasan ini memiliki kewibawaan tinggi. Dalam seni pakeliran wayang purwa sering disebut pertapan (kraton) Dhandhang Mangore, yang berkuasa di situ Bathari Premoni atau Bathari Durga. Sinuhun PB II belajar dari situ, dan menemukan hutan Krendhawahana mirip Nusakambangan. Upacara Sesaji Mahesa Lawung diadakan di situ”.

“Oleh Kraton Mataram Surakarta (Sinuhun PB II), Bathari Durga disebut juga Kala Yuwati, sebagai penguasa di batas spiritual utara wilayah Mataram Surakarta. Mulai Sinuhun PB II itulah, diadakan upacara adat wilujengan nagari Sesaji Mahesa lawung dengan wujud penguburan kepala kerbau. Jadi, sejak Sinuhun PB II, memetik sekar Wijayakusuma menjadi tradisi yang harus dilakukan,” ujar Ki Dr Purwadi.
Karena menjadi tradisi dan syarat yang wajib dipenuhi bagi Raja baru yang jumenengan di Kraton Mataram Islam sejak di Ibu Kota Kartasura, maka ada baiknya tradisi itu dilakukan kembali. Tentu perlu dilacak kembali lokasi goa yang kemudian diberi nama “Malikhul Khusna” (nama kecil Sinuhun PB X) itu. Data itu juga dikuatkan dengan pengakuan pimpinan Pakasa Cabang Banjarnegara, yang menjadi tempat singgah.

“Saya mendapat penjelasan dari para sesepuh seusia kakek saya, Banjarnegara tepatnya di pesanggrahan dan makam Ki Ageng Giring, selalu menjadi tempat singgah utusan dari kraton. Setelah memetika sekar Wijayakusuma dari Nusakambangan, lalu ke pesanggrahan untuk menyanggarkan bunga semalam. Saat memetik ada upacara dan saat menyanggarkan juga ada upacaranya,” ujar KRAT Eko Budi Tirtonagoro.
Namun, Ketua Pakasa Cabang Banjarnegara itu tidak mendapat riwayat secara lengkap sejak kapan tradisi memetik sekar Wijayakusuma itu dilakukan. Tetapi, setiap akan ada jumenengan nata di Mataram, selalu ada utusan untuk memetik bunga itu dan singgah di pesanggrahan dan makam Ki Ageng Giring di Desa Gimelem, Kecamatan Susukan. Kalau tradisi itu dijalankan lagi, Pakasa Banjarnegara siap mendukung.

Sementara itu, KRAT Heriyanto Wiranagara selaku pengurus lama Pakasa Cabang Tegal-Slawi yang mendatangai kompleks Astana Pajimatan Tegalarum, Senin (1/12) siang tadi menyatakan, tanaman Wijayakusuma masih ada. Tanaman bunga di samping “cungkup” makam Sinuhun Amangkurat Agung itu masih hidup dan tumbuh subur. Namun dia belum melihat tanaman itu berbunga sejak ditanam KGPH Hangabehi, awal 2025.
“Ini kelihatannya bisa tumbuh dan subur. Tetapi kami belum pernah melihat keluar bunganya. Mungkin memang belum waktunya berbunga. Karena kami sangat awam pada jenis tanaman bunga Wijayakusuma ini. Kami akan ajak pengurus makam dan warga Pakasa untuk merawat tanaman ini. Ternyata maknanya sangat penting bagi kraton. Ini menjadi tugas kami semua untuk merawatnya,” ujar KRAT Heriyanto Wiranagara. (Won Poerwono – bersambung/i1)
