Nilai “Perjuangan” dan Estetika Kraton Lebih Bermakna, dari pada Sisi “Konflik dan Intriknya”
IMNEWS.ID – Karena diciptakan sebagai prosesi ritual, maka upacara adat Sekaten Garebeg Mulud yang berlandaskan upacara keagaman (religi) dan terus-menerus diolah serta disempurnakan gagasan/pemikiran “kapujanggan”, menjadi begitu menonjol simbol-simbol estetika dan etikanya. Ada beberapa unsur karya seni/budaya “kapujanggan” yang menyatu di dalamnya, yaitu unsur kriya gamelan dan musik karawitan.
Beberapa unsur karya seni/budaya “kapujanggan” yang menyatu itu, menjadikan totalitas prosesi ritual Sekaten Garebeg Mulud tampak agung, anggun, megah, indah (berestetika) dan penuh tata nilai (beretika). Apalagi saat puncak hajad-dalem Gunungan Garebeg Mulud, semua yang “sowan” mengenakan busana kebesaran, karena cara peringatan kelahiran Maulud Nabi Muhammad SAW sesuai tatacara Kraton Mataram Surakarta.

Jadi agak berbeda dengan ritual “adang” di Tahun Dal dengan “dandang” pusaka Kiai Dhudha, Kiai Tambur, Nyai Rejeki dan Nyai Blawong, yang terkesan benar-benar diangkat suasana rakyat petani dari kehidupan keluarga Ki Ageng Tarub. Selain nilai-nilai kerakyatan, yang menjadi pembeda ritual “adang” adalah nilai-nilai kelumrahan/kewajaran sekaligus perjuangan hidup sebuah keluarga, yang simbolnya “isah-isah”.
Tetapi karena salah satu faktor pembeda itu hanya terjadi tiap 8 tahun (sewindu) sekali, maka upacara adat yang penuh edukasi tentang nilai-nilai “kesederhanaan hidup”, tak banyak diketahui publik secara lauas. Bahkan, di kalangan masyarakat adat sendiri tak banyak yang tahu, apalagi masyarakat adat elemen Pakasa “new reborn” dan beberapa elemen sanggar termasuk pambiwara dan “Pasipamarta”nya, pasti awam.

Unsur pembeda yang justru “sulit” diteladani publik secara luas nilai-nilainya, karena upacara adat “adang” di Tahun Dal dengan 4 “dandang” pusaka itu hanya dilakukan secara terbatas dan tertutup di dalam kraton. Faktor inilah semakin membatasi akses informasi bisa dinikmati publik secara luas, karena prosesi dari satu titik lokasi ke lokasi lain di waktu yang beda, tetapi semua terjadi di dalam kraton.
Mulai donga wilujengan “Dhukutan” untuk mengawali proses rangkaian tatacaranya, hingga wilujengan dan tahlil “miyosaken dandang”, jamasan, adang, “ngalab berkah” hingga jamasan lagi, semuanya berlangsung tertutup dan terbatas di dalam kraton. Mungkin hanya “pisowanan” saat “ngalab berkah” nasi hasil “mbethak” di Bangsal Parasedya, bisa dilihat wisatawan yang beruntung sedang berkunjung ke kraton.

Walau secara umum ritual “adang” sebenarnya lebih penting dan mudah dipahami publik sebagai edukasi tentang “kelumrahan” dan kesederhanaan hidup dibanding ritual Sekaten Garebeg Mulud, tetapi secara esensial edukasi yang bisa dipetik manfaatnya dari kedua jenis upacara adat itu sangat banyak. Edukasi tentang nilai-nilai simbolik, ikonik dan khas kraton ini, lebih penting dipahami dibanding sisi lain.
Bahkan seharusnya semua pihak yang masih menginginkan terjaganya ketahanan budaya nasional dari wilayah-wilayah yang menjadi sumber budaya seperti Kraton Mataram Surakarta ini, menjadi proaktif dan lebih peduli mengeksplorasi nilai-nilai simbolik, ikonik yang khas itu, dari pada hanya mengeksploitasi isu-isu konflik, intrik dan pengalaman perang di masa lalu. Karena, cara-cara itu tidak menguntungkan.

Cara-cara memperkenalkan masa lalu perjalanan nenek-moyang atau pra leluhur bangsa seperti yang terjadi di Jawa, tetapi dengan selalu mengeksploitasi sisi buruk dan kekurangannya, justru akan merugikan banyak pihak termasuk kita sendiri. Karena, bagaimanapun kita dan publik secara luas generasi kini dan mendatang, adalah bagian dari produk sebelumnya atau masa lalu secara langsung maupun tidak.
Mengeksploitasi sisi buruk dan kekurangan di masa lalu, sama halnya memercik air di dulang yang mungkin malah mengenai keluarga kita sendiri. Terlebih, memaknai dan mengiterpretasi masa lalu dengan cara-cara seperti itu, sungguh tidak “fair” dan malah menampakkan diri kita manusia yang kurang bermartabat. Sifat-sifat manusia yang punya nilai-nilai kearifan justru bisa tanggal kalau berlaku seperti itu.

Bila ritual “adang” di tahun Dal mengajarkan cara-cara manusia memuliakan nenek-moyang atau leluhurnya dengan piwulang luhur “Mikul dhuwur, mendhem jero”, di situlah wong Jawa dan bangsa di Nusantara telah ditunjukkan kewajibannya. “Mikul dhuwur, mendhem jero” adalah piwulang bagi semua anak-cucu dan keturunannya, wajib mengubur dalam segala kekurangan/keburukan orangtua, leluhur dan nenek moyangnya.
Sebaliknya, sebagai anak-cucu generasi keturunan yang bermartabat, harus selalu berusaha memperlihatkan dan mengedepankan kebaikan dan keteladan orangtua, para leluhur dan nenek-moyangnya. Dari “Babad Ila-ila” yang melukiskan ekspresi rasa berbhakti Ki Ageng Sela terhadap Ki Ageng Tarub menurut KP Budayangingrat disebutkan, Tuhan YME tidak akan menerima manusia sebelum “berbhakti” kepada leluhurnya. (Won Poerwono – habis/i1)