Semua Perwakilan Penyaji Akan Mendapatkan Penghargaan dari Kraton dan Kemenbud
SURAKARTA, iMNews.id – Rabu Pon (3/9) malam ini, event pergelaran “Sekaten Art Festival” di Pendapa Sitinggil Lor memasuki malam penyajian terakhir dari agenda pementasan seni tari selama enam hari sejak Jumat (29/8). Para penyaji atau perwakilan peserta diharapkan semua bisa hadir, karena penyelenggara mengagendakan penyerahan penghargaan dari Kemenbud di akhir acara.
Pengumuman yang sempat disinggung oleh petugas pemandu acara (MC) itu, Selasa (2/9) malam, menyebutkan beberapa hal di atas. Selain itu, Bebadan Kabinet 2004 juga akan menyerahkan sertifikat penghargaan kepada para peserta. Bahkan disebutkan, bersamaan acara di akhir pertunjukan itu, akan diundi hadiah hadir kepada semua yang menyaksikan, baik peserta maupun para “sutresna budaya” yang hadir.

Pada malam terakhir, Rabu (3/9) malam ini, masih ada agenda pementasan sekitar 10 repertoar atau judul tari dari sanggar, sekolah dan Sanggar Pawiyatan Beksa Kraton Mataram Surakarta selaku peserta penyaji. Selain pengumuman sajian terakhir, juga diumumkan jalannya upacara adat Sekaten Garebeg Mulud 2025 yang akan diakhiri dengan puncak acara prosesi hajad-dalem Gunungan Garebeg Mulud, Jumat (5/9).
Semalam atau malam kelima, disajikan sekitar 10 repertoar tari yang disuguhkan dari beberapa sanggar, lembaga sekolah dan dari sanggar pawiyatan di kraton. Sejumlah sajian itu sangat bervariasi, baik yang klasik konvensional aset kraton, maupun klasik yang digarap dengan kreativitas dan adaptasi serta benar-benar tari kreasi baru di luar gerakan baku di kraton, tetapi banyak meramu unsur-unsur dari luar.

Selain sajian pentas tari yang terus mengalir bergantian antar penyaji maupun antar sanggar/sekolah penyaji, pada event “Sekaten Art Festival” tahun 2025 ada sedikit pembaharuan di sela-sela sajiannya. Yaitu sesi foto untuk penyaji yang melibatkan anak-anak usia balita atau remaja, juga sesi tanya-jawab spontan. Wawancara spontan yang dilakukan MC dengan para penonton, terjadi di sela-sela sajian.
Karena setiap pergantian penyaji harus disiapkan perangkat lunak rekaman iringan musik atau gamelannya, maka peran operator sound system menjadi penting. Tetapi, karena ada beberapa kendala dalam pemilihan judul iringan di rekaman “soft-were”nya, belum menemukan “flashdisk” dari tempat penyimpanan atau karena ada permintaan khusus untuk bertukar urutan, menjadi tugas MC untuk mengisi waktu kosong itu.

Dari wawancara dengan para penonton atau supporter pengantar penyaji yang dilakukan MC secara spontan, justru menjadi sisipan yang menarik selain menutup kekosongan yang bisa membuat penonton jemu menunggu. Dari wawancara itu banyak terungkap mengenai sikap dan wawasan para penonton, apakah kedatangannya di pentas itu ada alasannya?, dan banyak informasi yang bisa menggambarkan profil penonton.
Misalnya yang diungkapkan Riyan, lulusan jurusan tari ISI Surakarta yang malam itu datang bersama rombongan dari Jepang. Selain warga Jepang yang berwisata ke Surakarta, ada mahasiswa jurusan tari asal Jepang bernama Satsuki. Mahasiswa ini mendapat kesempatan tampil menyajikan tari “Pamungkas” yang memperlihatkan karakter “alusan” (tari halus), yang bisa melahirkan kesan “punya kepedulian”.

Dari sekitar 10 judul tari, karya-karya tari yang berkarakter “alusan” dan berbasis klasik konvensional lebih mendominasi dibanding jumlah sajian tari kontemporer atau kreasi batu. Malam kelima, semalam, menjadi berbeda dibanding 4 malam sebelumnya yang lebih didominasi sajian tari kreasi baru khususnya dari penyaji usia anak-anak dan balita dari berbagai sanggar yang menjadi pesertanya.
Semalam, tari “Topeng Kelana” (Sanggar Pawiyatan Beksa), tari “Bedhaya” (Sanggar Gendewa Pinentang), tari “Gambyong Pareanom” PKJT (Sanggar Maestro Budaya), tari “Endah”, Tari “Jiwa Jawa”, tari “Angguk Angglang” lebih mendominasi kesan klasiknya. Sementara tari “Remo Golek”, tari “Kiprah Ratu Sewu”, tari “Topeng Edan” dan tari “Merak Ngigel” dalah karya kreasi yang membuat suasana segar meriah. (won-i1)