Malam Ini, Pergelaran Seni Malam Terakhir “Sekaten Art Festival 2025”

  • Post author:
  • Post published:September 3, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:4 mins read
You are currently viewing Malam Ini, Pergelaran Seni Malam Terakhir “Sekaten Art Festival 2025”
TERO "REMO GOLEK" : Tari "Remo Golek" yang disajikan sanggar dari Boyolali, menambah keragaman sajian seni "Sekaten Art Festival 2025". Gerakannya yang cepat, lincah, sigap dan tegas membuat kesan beda dan menarik bagi penonton pentas di Pendapa Sitinggil Lor itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Semua Perwakilan Penyaji Akan Mendapatkan Penghargaan dari Kraton dan Kemenbud

SURAKARTA, iMNews.id – Rabu Pon (3/9) malam ini, event pergelaran “Sekaten Art Festival” di Pendapa Sitinggil Lor memasuki malam penyajian terakhir dari agenda pementasan seni tari selama enam hari sejak Jumat (29/8). Para penyaji atau perwakilan peserta diharapkan semua bisa hadir, karena penyelenggara mengagendakan penyerahan penghargaan dari Kemenbud di akhir acara.

Pengumuman yang sempat disinggung oleh petugas pemandu acara (MC) itu, Selasa (2/9) malam, menyebutkan beberapa hal di atas. Selain itu, Bebadan Kabinet 2004 juga akan menyerahkan sertifikat penghargaan kepada para peserta. Bahkan disebutkan, bersamaan acara di akhir pertunjukan itu, akan diundi hadiah hadir kepada semua yang menyaksikan, baik peserta maupun para “sutresna budaya” yang hadir.

“TOPENG SEKARTAJI” : Tari “Topeng Sekartaji” sajian sebuah sanggar di Surakarta, menjadi salah satu jenis tari “alusan” yang bisa memenuhi unsur edukasi dari serangkaian sajian pentas “Sekaten Art Festival 2025”. Karena di situ, ada nilai-nilai “keluhuran” dan “kautaman” di ajarkan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pada malam terakhir, Rabu (3/9) malam ini, masih ada agenda pementasan sekitar 10 repertoar atau judul tari dari sanggar, sekolah dan Sanggar Pawiyatan Beksa Kraton Mataram Surakarta selaku peserta penyaji. Selain pengumuman sajian terakhir, juga diumumkan jalannya upacara adat Sekaten Garebeg Mulud 2025 yang akan diakhiri dengan puncak acara prosesi hajad-dalem Gunungan Garebeg Mulud, Jumat (5/9).

Semalam atau malam kelima, disajikan sekitar 10 repertoar tari yang disuguhkan dari beberapa sanggar, lembaga sekolah dan dari sanggar pawiyatan di kraton. Sejumlah sajian itu sangat bervariasi, baik yang klasik konvensional aset kraton, maupun klasik yang digarap dengan kreativitas dan adaptasi serta benar-benar tari kreasi baru di luar gerakan baku di kraton, tetapi banyak meramu unsur-unsur dari luar.

TARI “JIWA JAWA” : Sebuah tafsir yang bagus diberikan para penyaji tari “Jiwa Jawa” di malam keempat pentas “Sekaten Art Festival 2025”, Selasa (2/9). Karena dari penampilannya, ditunjukkan bagaimana kekayaan Budaya Jawa misalnya motif batik, yang menjadi bagian karakter cirikhas kehidupan “wong” Jawa.(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Selain sajian pentas tari yang terus mengalir bergantian antar penyaji maupun antar sanggar/sekolah penyaji, pada event “Sekaten Art Festival” tahun 2025 ada sedikit pembaharuan di sela-sela sajiannya. Yaitu sesi foto untuk penyaji yang melibatkan anak-anak usia balita atau remaja, juga sesi tanya-jawab spontan. Wawancara spontan yang dilakukan MC dengan para penonton, terjadi di sela-sela sajian.

Karena setiap pergantian penyaji harus disiapkan perangkat lunak rekaman iringan musik atau gamelannya, maka peran operator sound system menjadi penting. Tetapi, karena ada beberapa kendala dalam pemilihan judul iringan di rekaman “soft-were”nya, belum menemukan “flashdisk” dari tempat penyimpanan atau karena ada permintaan khusus untuk bertukar urutan, menjadi tugas MC untuk mengisi waktu kosong itu.

Tari “Angguk Angglang” : Sebuah sanggar dari Boyolali menyajikan tari “Angguk Angglang” di panggung “Sekaten Art Festival 2025” malam keempat, Selasa (2/9). Karya tari berkarakter dinamis dan ritmik mirip tarian rakyat aslinya itu, memberi kesan karena berkembangnya Budaya Jawa yang luas, ratusan tahun. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dari wawancara dengan para penonton atau supporter pengantar penyaji yang dilakukan MC secara spontan, justru menjadi sisipan yang menarik selain menutup kekosongan yang bisa membuat penonton jemu menunggu. Dari wawancara itu banyak terungkap mengenai sikap dan wawasan para penonton, apakah kedatangannya di pentas itu ada alasannya?, dan banyak informasi yang bisa menggambarkan profil penonton.

Misalnya yang diungkapkan Riyan, lulusan jurusan tari ISI Surakarta yang malam itu datang bersama rombongan dari Jepang. Selain warga Jepang yang berwisata ke Surakarta, ada mahasiswa jurusan tari asal Jepang bernama Satsuki. Mahasiswa ini mendapat kesempatan tampil menyajikan tari “Pamungkas” yang memperlihatkan karakter “alusan” (tari halus), yang bisa melahirkan kesan “punya kepedulian”.

BEKSAN “ENDAH” : Sebuah sanggar dari wilayah Karanganyar, menyajikan sebuah tari yang diberi nama “Beksan Endah”. Tarian mirip kisah “Panji” dari Kraton Kediri (abad 12) itu, menjadi sajian jenis “alusan” pada panggung “Sekaten Art Festival 2025” malam keempat, Selasa (2/9). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dari sekitar 10 judul tari, karya-karya tari yang berkarakter “alusan” dan berbasis klasik konvensional lebih mendominasi dibanding jumlah sajian tari kontemporer atau kreasi batu. Malam kelima, semalam, menjadi berbeda dibanding 4 malam sebelumnya yang lebih didominasi sajian tari kreasi baru khususnya dari penyaji usia anak-anak dan balita dari berbagai sanggar yang menjadi pesertanya.

Semalam, tari “Topeng Kelana” (Sanggar Pawiyatan Beksa), tari “Bedhaya” (Sanggar Gendewa Pinentang), tari “Gambyong Pareanom” PKJT (Sanggar Maestro Budaya), tari “Endah”, Tari “Jiwa Jawa”, tari “Angguk Angglang” lebih mendominasi kesan klasiknya. Sementara tari “Remo Golek”, tari “Kiprah Ratu Sewu”, tari “Topeng Edan” dan tari “Merak Ngigel” dalah karya kreasi yang membuat suasana segar meriah. (won-i1)