Sajian Lakon Ramayana Rasa Wayang Madya dan “Orasi Tiga Profesor”, Sarana Edukasi Publik (seri 1 -bersambung)

  • Post author:
  • Post published:August 17, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Sajian Lakon Ramayana Rasa Wayang Madya dan “Orasi Tiga Profesor”, Sarana Edukasi Publik (seri 1 -bersambung)
RADEN ANOMAN : Prof Dr Soeripto (86) Guru Besar FK UGM, menyerahkan tokoh Raden Anoman kepada Ki Dr Purwadi. Pentas wayang kulit lakon Ramayana, diinisiasi "tiga profesor" bersama warga RW 25 Plemburan, Kelurahan Kentungan, Kota Jogja (DIY) untuk merayakan HUT ke-80 RI, Minggu (16/8). (foto : iMNews.id/Dok)

Pergelaran Wayang Kulit Ki Dr Purwadi di Malam Peringatan Menjelang 80 Tahun RI

IMNEWS.ID – “Saya Puas”, begitu ucap singkat Prof Dr Soeripto (86), Guru Besar Fakultas Kedokteran (FK) UGM di sela-sela ungkapan apresiasi dan terimakasihnya kepada Ki Dr Purwadi, Minggu (17/8) pagi tadi. Dia adalah senior dari “tiga serangkai” profesor UGM, yang mendukung pentas wayang kulit menyambut 17-an di Balai RW 25 Plemburan, Kelurahan Kentungan, Kota Jogja (DIY), Minggu (16/8), semalam.

Ungkapan senior yang pernah menjadi “guru” dua anggota “tiga serangkai profesor” (Prof Dr Soeripto, Prof Dr Panut Mulyono dan Prof Dr Hardiyanto) itu, disampaikan lewat telepon kepada dalang “semipro” Ki Dr Purwadi, Minggu (17/8) pagi tadi. Dan Ki Dr Purwadi menyatakan bangga dan senang bisa menyajikan pentas wayang kulit lakon “Ramayana” untuk menyambut HUR ke-80 RI, di tengah warga Kota Jogja (DIY).

“Saya juga puas, bangga dan senang bisa mengedukasi dan sedikit memberi hiburan warga bangsa dari tengah Kota Jogja. Walau lokasi pentas di tengah kampung dan sekelas RW, tetapi misi edukasi ini untuk khalayak luas. Karena, disiarkan melalui live streaming channel warga setempat. Terlebih, ada tiga profesor yang tampil sebagai narasumber memberi orasi kebangsaan berkait momentum menyambut HUT RI ke-80”.

“Saya bisa membawa seniman pendukung penuh. Padahal, biasanya hanya bisa mengajak seorang pesinden. Yang penting bukan gebyar uba-rampe pentas, yang biasanya menjebak dan membuat silau banyak pihak. Tetapi, melalui pentas itu saya bisa menyajikan struktur sajian urut dan utuh. Walaupun, panitia mematuhi batasi akhir pentas pukul 01.00 WIB, yang kini menjadi aturan baku,” ujar Ki Dr Purwadi.

TOKOH SENTRAL : Raden Anoman yang “disanggit” menjadi “pamomong” para “Ratu Tanah Jawa”, dalam lakon Ramayana yang disajikan dalang Ki Dr Purwadi, yang digelar bersama tiga profesor” dan warga RW 25 Plemburan, Kelurahan Kentungan, Kota Jogja (DIY), untuk merayakan HUT ke-80 RI, Minggu (16/8), semalam. (foto : iMNews.id/Dok)

Ki Dr Purwadi yang juga intelektual kampus sebuah universitas di Jogja, banyak bertutur kepada iMNews.id dalam dialog soal pementasan itu sejak beberapa hari menjelang hingga selepas pentas, Minggu (17/8) tadi pagi. Dari membahas kualitas praktik seni pedalangan yang sedang berlaku saat ini, proses “perusakan” konsep seni pedalangan “gagrag” Surakarta dari sumbernya, maupun undangan penampilannya.

Undangan penampilannya dari “Tiga Serangkai Profesor” itu, disebutnya merupakan sebuah kehormatan dan kepercayaan luar biasa kepadanya. Tetapi, disebutkan ada semacam kesepahaman dan kesepakatan bersama untuk memberi edukasi positif dan ideal terhadap warga bangsa ini. Baik nilai-nilai budaya dan kebangsaan dari tiga profesor, maupun nilai-nilai seni pedalangan dan nilai-nilai sejarah peradaban.

Pentas pakeliran “gagrag” Surakarta yang disajikan Ki Dr Purwadi di tengah “jagad” seni pedalangan “gagrag Jogja” itu, hanya berdurasi 4 jam sejak dimulai pukul 20.00 WIB, semalam. Karena, ada pesan penting yang disampaikan tiga profesor melalui orasi budaya dan kebangsaannya. Pentas harus berakhir pukul 01.00 WIB, karena dianggap sudah menjadi konvensi publik mengenai “sajian hiburan”.

Setelah orasi kebudayaan dan kebangsaan disampaikan “tiga serangkai profesor”, berturut-turut diserahkan tiga tokoh wayang kepada dalang Ki Dr Purwadi. Raden Anoman yang menjadi tokoh sentral lakon Ramayana “sanggit” Ki Dr Purwadi, diserahkan Prof Dr Soeripto (86). Sedangkan Prof Dr Hardiyanto menyerahkan tokoh Prabu Rama dan Prof Dr Panut Mulyono (mantan rektor) menyerahkan tokoh Raden Lesmana.

MEMBERI ORASI : Prof Dr Hardiyanto (mantan Dekan FK UGM), saat memberi orasi kebudayaan dan kebangsaan sebelum lakon Ramayana yang disajikan Ki Dr Purwadi. Pentas wayang kulit yang digelar “tiga profesor” dan warga RW 25 Plemburan, Kentungan, Kota Jogja (DIY), untuk merayakan HUT ke-80 RI, Minggu (16/8).(foto : iMNews.id/Dok)

“Selain untuk para pecinta seni wayang kulit dan masyarakat luas, pentas seperti itu juga menjadi kesempatan saya mengedukasi para seniman karawitan yang mendukung pementasan saya. Agar ‘yaga’ (pengrawit), kembali mengenal dan hafal gending-gending baku sesuai struktur utuh pedalangan dari Pathet Nem, Sanga sampai Manyura. Para pesinden juga biar belajar gendhing-gendhing sindenan baku”.

“Soal durasi pentas wayang menjadi pendek, kalau saya amati, keinginan itu banyak yang datang dari kalangan internal seniman karawitan pengiring sendiri lo. Mereka sudah terjangkiti penyakit ingin cepat selesai bekerja, agar cepat mendapat bayaran dan cepat pulang dan menangani urusan lain. Saya termasuk yang kurang setuju sikap seperti itu. Ini yang menjadi potensi desakralisasi,” ujarnya.

Dalam lakon Ramayana berdurasi 4 jam itu, Ki Dr Purwadi tetap mengikuti kaidah seni pedalangan klasik konvensional dimulai dengan “jejer” Kraton Alangkadiraja. Di “pasewakan” itu, Raja Prabu Dasamuka mengundang Patih Prahastha, Kumbakarna (kakak), Sarpa Kenaka, Gunawan Wibisono (adik), Raden Indrajit (anak), Kala Marica dan parekan “emban”. Gending yang disajikan urut, Ayak, Kabor dan Gleyong.

Tentu saja, semua dimulai dari urutan sesuai kaidah dari gendhing “Talu”, “jejer sepisan” (Kraton Alengka) yang diinteroduksi dan pemanasan dengan “suluk” dan “janturan” untuk membangun suasana, memasuki inti cerita (lakon). “Jejeran” ini didahului “parekan” Limbuk-Cangik yang diiringi gendhing Ladrang Nusantara (sisipan), dari gendhing baku pengantar keluarnya sepasang “emban” ini.

KAIDAH PEDALANGAN : Ki Dr Purwadi selalu konsisten menyajikan seni pedalangan sesuai kaidahnya, dalam struktur utuh klasik dan konvensional sebagai edukasi. Lakon Ramayana itu digelar “tiga profesor” dan warga RW 25 Plemburan, Kentungan, Kota Jogja (DIY), untuk merayakan HUT ke-80 RI, Minggu (16/8). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Adegan di luar “pasewakan”, melukiskan suasana para prajurit “Sabrangan” dari Kraton Alengka. Yang tampil berdiskusi meneruskan dan membahas “sabda” (perintah) Prabu Dasamuka, adalah Sarpa Kenakan, Raden Gohmuka, Gurmuka, Durmuka, Buta Terong, Buta Galiyuk dan sebagainya. Pertemuan untuk berbagi tugas di luar Paseban ini, diiringi gendhing Srepeg Nem (6) dan Tropong Bang hingga “budhalan”.  

“Budhalan” atau pemberangkatan para prajurit dan semua “manggala” (kamandan) yang bertugas, diiringi gendhing Srepeg sebagai iringan baku klasik konvensional. Mereka yang tampil “kiprah” untuk berangkat menjalankan tugas adalah Raden Indrajit, “Rampogan” dan segala jenis hewan buas yang menjadi “pasukan” sekaligus “tunggangan” para prajurit selain kuda. “Budhalan” lewat, bergantilah “jejer” kedua.

“Jejer kedua” adalah Kraton Lokapala yang menjadi tempat asal-usul Prabu Dasamuka bersaudara. Pada adegan itu, Prabu Danapati selaku Raja Lokapala sedang menerima kedatangan Patih Wisnungkara, Gunawan Wibisana dan Raden Anoman. Sebagai pengantar memasuki suasana Kraton Lokapala, diiringi gendhing Srepeg Nem. Suluk, janturan dan “posapan” tentu menjadi interoduksi yang juga klasik konvensional.

Singkat “jejeran” Kraton Lokapala, segera bersambung “jejeran” ketiga yaitu adegan di Taman Argasoka. Di situ, Raden Anoman sudah menghadap Dewi Sinta yang didampingi Trijatha, setelah mendapat “pesan” Prabu Danapati. Gendhing Subakastawa menjadi iringan baku sekaligus menandai tahapan struktur sajian pentas wayang memasuki Pathet Sanga (9). Dari Taman Soka, berlanjut ke medan perang “Brubuh Ngalengka”.

“LUMAYAN MEWAH” : Balai RW 25 Plemburan, Kentungan, Kota Jogja (DIY) menjadi gedung yang lumayan mewah bagi Ki Dr Purwadi, ketika “ditanggap” tiga profesor dan warga RW setempat untuk menggelar lakon Ramayana pada pentas wayang kulit merayakan HUT ke-80 RI, Minggu (16/8), semalam. (foto : iMNews.id/Dok)

Adegan perang segera dihadirkan Ki Dr Purwadi, antara Raden Kumbakarna melawan Sugriwa, Anila dan Anggada. Sedangkan Prabu dasamuka melawan raden Anoman yang diiringi gendhing Srepeg Sanga. Adegan berganti pada “jejer keempat” di Kraton Singgelapura yang dihiasi tokoh Raden Gunawan Wibisana (Prabu Bisawarna), Prabu Rama, Lesmana, Sinta, Anoman, Bathara Guru, Narada dan Bathara Wisnu.

“Setelah itu, jejer Kraton Yawastina. Tokohnya Parikesit, Narada dan Anoman. Iringan gendhingnya urut dan baku. Begitu pula pada jejeran berikutnya, Kraton Kahuripan. Tokohnya Prabu Matswapati (Prabu Yudayana), Anoman dan Narada. Berlanjut ke Kraton Jenggala. Tokohnya diwakili Prabu Baladewa (Prabu Jayapurusa), Anoman, Narada, Seta, Wratsangka dan Raden Utara sebagai “pemeran” saja,” tunjuknya. (Won Poerwono – bersambung/i1)