Ada Potensi yang “Disia-siakan”, Ada Potensi yang Menyia-nyiakan Kesempatan
IMNEWS.ID – KALAU kepedulian Hamid Al Ichsan dan 50-an temannya relawan dari kecamatan Wedi dan wilayah lain di Kabupaten Klaten terkesan “disia-siakan” karena tidak “terakomodasi”, itu memang preseden buruk yang tidak seharusnya terjadi. Karena, Pakasa cabang dan Kraton Mataram Surakarta sangat membutuhkan elemen generasi muda.
Pakasa Cabang Kabupaten Klaten memang punya potensi kekuatan abdi-dalem yang menjadi warga anggotanya, tetapi faktanya terpecah-belah menjadi beberapa kelompok. Dan mungkin hanya kelompok yang saat kirab 1 Sura didaftar sebanyak 200 orang itu saja, yang mungkin bisa diklaim “top leadernya” sebagai warga Pakasa Cabang Klaten.
Ada ribuan abdi-dalem warga Kabupaten Klaten, yang faktanya memiliki “top leader” sendiri-sendiri. Mereka merasa tidak cocok dengan gaya kepemimpinan “top leader” Pakasa yang sarat kepentingan dan lebih mengakomodasi generasi tua. Praktis, kalangan generasi muda seperti Hamid Ichsan dan kelompoknya tidak mendapat tempat di Klaten.
Pakasa cabang yang “menyia-nyiakan” potensi generasi muda sebagai calon pengganti dan penerus pelestarian Budaya Jawa, tidak hanya Pakasa Klaten. Pakasa Cabang Boyolali malah mengabaikan segala usia, karena yang diperhatikan warga di wilayahnya sendiri, karena para figur pengurusnya sibuk pencitraan dirinya sendiri.

Mementum pergantian Tahun Baru Jawa Dal 1959/Islam 1447 Hijriyah pada peristiwa tak hanya menjadi masa transisi dalam soal dari periode “jahiliyah” ke periode jalan yang “nggenah”. Tetapi, juga menjadi saat yang baik untuk mencermati kekurangan terabaikan dan kelebihan yang dicapai, agar segera ada tindakan solutif nyata.
Yang jelas, melalui momentum pergantian Tahun Baru Jawa ini, tampak sekali ada kelemahan di sektor pemanfaatan potensi gegerasi muda. Di satu sisi, ada sejumlah figur tokoh generasi muda wayah-dalem yang “menyianyiakan kesempatan” untuk mendapatkan kapasitas dan bekal pengalaman di masa mudanya, sehingga sudah mulai tampak “gagap”.
Sejumlah banyak figur wayah-dalem Sinuhun PB XII, memang lebih dari cukup dari sisi jumlah bila untuk mengampu sejumlah tugas adat di dalam Kraton Mataram Surakarta. Tetapi, faktanya tidak bisa demikian karena berbagai alasan. Hanya beberapa gelintir yang masih bisa diandalkan untuk kerja adat, dan sudah sering terlihat aksinya.
Karena dari kalangan putra-putri-dalem Sinuhun PB XII yang berjumlah 35 orang itu, sedikitnya ada 30 wayah-dalem yang terlahir. Tetapi faktanya, yang pernah muncul ke permukaan adalah putra-putri dari kalangan pejabat Bebadan Kabinet 2004 saja, itupun sudah banyak yang menghilang dan tinggal sekitar 5 tokoh yang eksis.

Dua putri Gusti Moeng yaitu BRA Lung Ayu dan BRA Sedah Mirah, banyak fokus di bidang kegiatan tari. Karena untuk berbagai posisi penting di Bebadan, memang lebih tepat porsinya diberikan kepada kalangan wayang-dalem lelaki. Misalnya seperti KGPH Hangabehi, KPH Bimo Djoyo Adilogo, KRMH Suryo Manikmoyo dan KRMH Suryo Kusumo Wibowo.
Berikut juga KRMH Cici Suryo Triyono dan BRA Arum Kusumapradopo, selain beberapa nama yang masih sering kelihatan seperti KRMH Herjuno (putra GKR Retno Dumilah) dan KRMH Ginda Ferahtriawan (putra GKR Galuh Kencana). Mereka sangat jarang muncul, dan itu lebih baik dari pada muncul tetapi “tidak berbuat apa-apa”.
Memang ada beberapa wayang-dalem yang pernah muncul bahkan mengeluarkan “klaim” sebagai pemilik “era” Sinuhun yang sedang bertahta. Tetapi, kemunculan mereka bertiga itu tidak memberi nilai positif bagi bidang-bidang tugas kerja adat yang “disupervisi”, bahkan tidak mendapat apa-apa selama sibuk, karena tidak belajar apa-apa.
Oleh sebab itu, masih beruntung sejumlah generasi muda wayah-dalem tidak muncul di sela-sela kesibukan kerja adat di kraton dalam tiap kesehariannya. Dari pada selalu ada tetapi penampilannya sangat jauh dari kesan “ramah adat” dan selama ini tidak “mendapat apa-apa”, karena memang “tidak berusaha belajar memahami apa-apa”.

Generasi muda yang berada di ring satu atau “kasta adat terdalam” di Kraton Mataram Surakarta dalam kesimpulan sementara, bisa disebut banyak yang “menyiakan-nyiakan kesempatan”. Sebab, ketika mereka berada di lingkungan para orang-tua mereka memimpin sejumlah jajaran Bebadan Kabinet sejak 2004, sangat terbuka kesempatan “belajar”.
Belajar dan berusaha memahami segala hal yang berkait dengan keberadaan kraton secara fisik dan nonfisik, juga seni budaya Jawa yang lahir dan berpusat dari lembaga kraton, jelas sangat baku dan mutlak perlu. Memang sejak 2004 kraton diguncang “ontran-ontran” dan suasananya tidak pernah “tenteram”, tetapi masih adan peluang belajar.
Ketika dianalisis lebih jauh, karena faktanya ada figur-figur yang disebut “Trio Wek-wek” putus di tengah jalan selama “proses pembelajarannya” dan justru bermanuver ke “seberang”, itu bisa ada dua kemungkinan. Pertama karena bosan yang berkait dengan finansial, yang kedua karena mereka memang “ahli di bidang lain”.
Urusan generasi muda sebagai potensi objek regenerasi daya dukung legitimatif kraton dan Budaya Jawa, seharusnya lebih mudah dilakukan di kalangan warga Pakasa dan beberapa elemen lain. Karena, ada beberapa Pakasa cabang yang sudah bisa membuktikan pelibatan kalangan generasi, seperti yang sering terlihat di kraton.

Pakasa Cabang Jepara, Pakasa Kudus, Trenggalek, Magelang, Ngawi, Pacitan dan Pakasa Cabang Ponorogo, adalah contoh nyata beberapa cabang yang sadar “punya keterbatasan usia”. Sedangkan jangkauan kelangsungan kraton, Budaya Jawa dan eksistensi Pakasa harus dipersiapkan baik-baik, agar semuanya bisa berjalan jauh ke depan.
Mungkin hanya Pakasa cabang yang bangga ketika menjadi “pimpinan” adalah segala-galanya seperti Pakasa Cabang Pati, Sidoarjo, Klaten dan beberapa di wilayah Surakarta serta lainnya, jadi tak “peduli” dengan keterbatasan itu. Mereka mengira, dirinya “pantas” menjadi pengurus selamanya dan merasa tidak perlu menyiapkan generasi mudanya. (Won Poerwono – Habis/i1)