Kamis Besok Giliran “Dibedah” di Ajang Ultah ke-94 Putri Narpa Wandawa
SURAKARTA, iMNews.id – Peneliti sejarah Dr Purwadi menggelar kegiatan “bedah buku” Kerajaan Mataram di sela-sela kelas praktik belajar-mengajar siswa Sanggar Paes & Tata-Busana Penganten Jawa “gagrag” Surakarta, Selasa sore (3/6). Sarasehan “bedah buku” yang berlangsung sekitar 30 menit itu diikuti 17 siswa yang menggunakan “ruang belajar” Bangsal Marcukunda.
Kelas praktik belajar-mengajar pengetahuan rias (paes) dan tata busana pengantin gaya Surakarta itu, Selasa kemarin dimulai pukul 16.00 WIB. Begitu dibuka GKR Ayu Koes Indriyah atau Gusti Ayu sambil memperkenalkan Dr Purwadi akan mengisi “bedah buku”, kelas langsung dimulai dengan presentasi singkat mengenai isi buku “Kerajaan Mataram” yang disusun Dr Purwadi.
Peneliti sejarah yang juga Ketua Lokantara Pusat di Jogja itu, membuka pembicaraan mengenai karyanya berjudul “Kerajaan Mataram” dengan ajakan untuk membuka diri terhadap kepedulian dan kesadaran tentang historis. Karena, menjadi siswa sanggar paes di Kraton Mataram Surakarta, berarti harus berusaha memahami tentang sejarah kraton dan eksistensi sanggar.
Keberadaan lembaga sanggar paes dan beberapa sanggar pawiyatan atau pasinaon milik kraton yang ada sekarang ini, adalah teladan Kraton Mataram Surakarta dalam hal pendidikan, upaya mencerdaskan bangsa, memajukan peradaban dan meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui pengetahuan. Beberapa hal ini, sudah dilakukan Kraton Mataram sejak ratusan tahun lalu.

“Mungkin saja, sebelum era Sinuhun PB X belum ada lembaga pendidikan sekolah seperti sanggar-sanggar dan sekolah resmi seperti sekarang. Tetapi, sejak lama Mataram Surakarta sudah peduli soal itu. Kraton memiliki sejumlah tokoh wanita yang pantas menjadi pelopor dan idola di berbagai bidang. Hampir semua permaisuri raja Mataram, adalah tokoh penting dna kuat”.
“Anda semua menjadi siswa di sanggar ini, mudah-mudahan bisa ikut mendapat kharomah para tokoh perempuan Mataram. Selain belajar pengetahuan paes dan tata busana, mudah-mudahan juga bisa menguasai pengetahuan penting lainnya dari kraton. Siapa tahu, tugas belajar anda semua selama 6 bulan ini, jadi syarat penerimaan pegawai negeri sipil,” harap Dr Purwadi.
Harapan bernuansa doa dari pembicara tunggal yaitu tokoh penulis buku “Kerajaan Mataram” tersebut, langsung disambut “Amiiin…” secara aklamasi oleh 17 siswa yang hadir. Termasuk pula Gusti Ayu selaku “Pangarsa” atau Ketua Sanggar Paes & Tata-Busana Penganten Jawa gagrag Surakarta, para dwija (guru) dan para staf di antaranya BRAj Arum Kusumo Pradapa.
Sarasehan “bedah buku” yang singkat atau hanya 30 menit itu, nyaris tak ada diskusi dua arah karena tak ada yang mencoba bertanya. Selain “materinya” soal karya penulisan sejarah yang mungkin masih asing bagi kalangan siswa, dalam proses belajar-mengajar di kelas sanggar seperti ini soal diskusi atau tanya-jawab sangat mungkin belum menjadi kebiasaan.

“Ya, memang perjuangan saya itu termasuk berat. Karena hanya saya lakukan sendiri dan saya berasal dari luar struktur kelembagaan di kraton. Tetapi, tidak apa-apa. Saya tetap semangat untuk menjalaninya. Karena, ini mungkin cara terbaik yang bisa saya lakukan untuk Kraton Mataram Surakarta. Yang penting, saya harus berbuat sesuatu (yang baik) bagi kraton”.
“Kalau hanya soal ‘beadh buku’, di kesempatan apa saja bisa saya lakukan. Forum sarasehan seperti itu, tidak harus digelar di ruang hotel atau gedung mewah yang mahal, dengan suguhan menu makanan yang lengkap. Tetapi, menumpang di sela-sela proses belajar-mengajar siswa sanggar seperti ini juga bisa. Kamis besok (5/6), di ultah Putri Narpa, ujar Dr Purwadi.
Menjawab pertanyaan iMNews.id, dia menuturkan garis besar isi buku “Kerajaan Mataram” yang habis dibagikan secara terbatas kepada para siswa sanggar, Selasa (3/6) kemarin. Yaitu mengenai perjalanan sejarah Mataram sebagai penerus Kraton Medang (Kamulan) abad 6, Kraton Kahuripan, Daha, Jenggala, Kediri, Singasari, Majapahit , Demak dan Kraton Pajang (abad 16).
Buku itu juga berisi ajakan menggugah kesadaran literasi yang menunjukkan bahwa Mataram mewariskan tulisan sebagai sarana dokumentasi dan ublikasi orang Jawa. Warisan para Pujangga Jawa yang dimiliki Kraton Mataram terutama Surakarta (1745-1945), telah menjadikan Surakarta sebagai Kota Literasi terlengkap se Asia Tenggara dan pantas disebut “Kota Pujangga”.

Dr Purwadi juga menunjukkan kesadaran estetis melalui buku yang disusun itu. Karena di dalamnya, ditunjukkan bahwa Mataram menjadi pelopor kemegahan dan keagungan dengan berbagai produk seni-budayanya yang “adiluhung”. Buku itu juga menunjukkan kesadaran genetis, karena selama 5 abad sejak tahun 1575 (Demak) bisa memimpin budaya, berperadaban tertinggi hingga kini.
Yang terakhir, melalui buku itu Dr Purwadi ingin menunjukkan bahwa “Kerajaan Mataram” adalah pelopor kesadaran etis, karena era kerajaan itu meninggalkan “sastra piwulang” yang sekarang menjadi sarana pembinaan kepribadian bangsa. Butir-butir nilai-nilai kearifan yang pernah diproduksi Kerajaan Mataram, menjadi modal pembinaan ketahanan budaya bangsa.

Kamis (5/6) besok, Bebadan Kabinet 2004 akan menggelar ultah ke-94 organisasi Putri Narpa Wandawa di Pendapa Sasana Mulya. Kegiatan resepsi ultah yang diteruskan dengan peragaan ketrampilan “Ngadi Sarira” dan “Ngadi Busana” itu, diikuti kalangan wanita dari berbagai elemen sebagai pesertanya. Di antaranya dari warga Pakasa cabang di berbagai daerah, misalnya Kudus.
Dalam kesempatan itu, Dr Purwadi akan hadir kembali dalam sarasehan “bedah buku” Kerajaan Mataram. Perayaan ultah yang diharapkan dihadiri lebih banyak peserta dari berbagai elemen Lembaga Dewan Adat (LDA) Kraton Mataram Surakarta menjadi sasaran edukasi yang tepat, ideal dan strategis. Untuk menjadi peserta, dipungut biaya pendaftaran Rp 125 ribu/orang.

Perihal lembaga Sanggar Pawiyatan Paes & Tata-Busana Penganten Jawa gagrag Surakarta Kraton Mataram Surakarta, mulai “babaran” ke-4 tahun 2025 ini kegiatan kelasnya juga menempati Bangsal Marcukunda. Sebelumnya berada di Bale Agung di sisi utara Alun-alun Lor, dan sempat vakum beberapa saat ketika ada pergantian posisi “pangarsa” yang kini dijabat Gusti Ayu.
Kegiatan belajar-mengajar yang hanya dua kali dalam seminggu, bisa dilakukan bergantian antara dua sanggar di bawah Yayasan Sanggar Pawiyatan Kabudayan Kraton Mataram Surakarta yang dipimpin Gusti Moeng itu. Karena “kepemimpinan” sanggar paes dan organisasi Putri Narpa Wandawa”, keduanya dipercatakan kepada Gusti Ayu untuk menggantikan memimpin/mengelola. (won/i1)