Suasana Sosial-Politik “Menjenuhkan”, Rakyat Butuh “Terobosan” Seni yang Menghibur
IMNEWS.ID – TAHUN 2025 yang disebut kalangan pengamat dan ahli ekonomi sebagai puncak terburuk kondisi ekonomi nasional dan global akibat pandemi Corona sejak 2020, memang sesuai yang diprediksi. Di satu sisi pasar beberapa komoditas lesu, jumlah pengangguran tinggi, daya beli rakyat lemah dan sebagainya, tetapi di sisi lain malah muncul realitas yang fenomenal.
Surakarta atau setidaknya Jawa Tengah, menjadi indikator penting yang memunculkan salah satu realitas fenomenal itu. Maraknya kegiatan hiburan beberapa jenis kesenian seperti pertunjukan wayang kulit, klenengan campursari dan pertunjukan musik dangdut “jadul”, menjadi fenomena menarik karena “melawan arus”, di saat situasi dan kondisi ekonomi global sedang lesu.
Tiga jenis kesenian rakyat yang belakangan menjadi bentuk baru kesenian berbasis Budaya Jawa, di masa ekonomi sulit ini justru marak muncul di berbagai daerah. Profesi komedian atau pelawak berbasis Budaya Jawa yang sebelumnya menjadi “bintang tamu”, juga ikut laku keras khususnya di ajang resepsi pengantin dan hajadan tradisi lain di masyarakat.

Satu-satunya kesenian rakyat berbasis non-Jawa atau campuran berbagai unsur yang sudah diadaptasi masyarakat lokal dengan nama orkes melayu atau dangdut, kini juga sama maraknya dengan tiga jenis kesenian rakyat di atas. Ini jelas menjadi fenomena sangat menarik di Tanah Air, di saat kondisi ekonomi secara umum sedang lesu dan APBN dipangkas lebih 50 persen.
Sebagai ilustrasi, ada analisis terhadap perkembangan perekonomian Indonesia dalam dua dekade terakhir yang selalu diberi label penggelontoran dana APBN sebagai penggeraknya. Aktivitas di sektor-sektor riil seperti UKM atau yang bisa menyerap aktivitas massal atau padat karya, selalu diidentikkan sebagai bukti adanya gerakan ekonomi karena digelontor dana APBN.
Gerak aktivitas ekonomi nasional seperti itu, pasti menjadi catatan penting para eokonom dan para peneliti ekonomi. Tetapi, aktivitas kebangkitan seni pertunjukan yang terjadi dalam beberapa bulan sejak awal 2025, bisa menjadi bukti adanya anomali dari “teori gelontoran APBN” di atas. Karena, gerak aktivitasnya tak semata-mata karena faktor ekonomi.

Munculnya YouTube dan berbagai platform medsos lain berisi rekaman pentas wayang kulit, klenengan campursari dan panggung dangdut grup orkes melayau (OM) Lorenza (Sukoharjo), memperlihatkan adanya ekspresi lain di balik kemeriahan pentasnya. Desa-desa di wilayah Surakarta, bergantian “dijelajahi” OM Lorenza, agak beda wilayah yang “dijelajahi” tiga kesenian lain.
Hampir tiap hari, di platform medsos pribadi penggemar berat grup dangdut klasik “jaman dulu” (jadul), selalu menampilkan foto-foto show, persiapan pentas dan jadwal show grup dangdut yang musisinya berusia di atas 40-50 tahun itu. Begitu pula, fans berat seni wayang kulit dan pesinden Niken Salindri hampir tiap hari menampilkan video dan foto show di tiap “tarub”.
Ketika dicermati lebih lanjut, ternyata dari jadwal pentas yang frekuensinya rapat nyaris tiap hari dalam beberapa bulan terakhir, banyak terjadi di desa-desa di sekitar Kota Surakarta untuk grup OM Lorenza. Dan, panggung megah De Tjolomadoe juga baru saja mencoba menampilkannya bersama bintang tamu artis dangdut senior, Ikke Nurjanah, penontonnya meluber.

Sedangkan pentas wayang kulit, klenengan campursari dan kesenian rakyat Tayub, juga lebih banyak terjadi di desa-desa di luar Kota Surakarta. Khusus wayang kulit, singgah di dalam Kota Surakarta tak tentu jadwalnya, jika Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta atau TBS “punya kesepakatan” menampilkannya. Selain itu, nyaris tak ada yang tampil di dalam kota.
Pertunjukan kesenian yang nyaris ada di tiap desa itu, dalam pengamatan iMNews.id didominasi keluarga atau warga desa yang sedang menggelar resepsi hajad pernikahan atau “tarub mantu”. Sangat sedikit yang menggelar hajad resepsi mengundang beberapa kesenian di atas untuk hajadan “non-mantu” seperti peresmian, khitanan, tasyakuran kecuali “bersih desa/rasulan”.
Namun dari jadwal pentas wayang yang muncul di platform medsos pribadi “seorang penggemar berat”, tiga kali berturut-turut dalam sepekan terakhir hingga Minggu malam (25/5/2025), bisa memperjelas beda peta sebaran pentas. Karena, pentas wayang kulit, klenengan campursari dan tayub bersama bintang tamu beberapa tokoh komedian setempat, rata-rata di luar Surakarta.

Tetapi, daya jelajah OM Lorenza juga semakin luas, yaitu sampai di Jogja, Semarang, Magelang dan Jepara. Grup dangdut yang satu ini, ditambah 2-3 nama grup lagi yang punya “style” berbeda, juga masih terdengar beredar, walau frekuensi pentasnya masih jauh dari OM Lorenza. Maka, grup ini sebanding kekuatan dan frekuensi edarnya dengan jenis-jenis kesenian di atas.
Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan mengapa di saat ekonomi sulit justru ada usaha jasa pertunjukan seni malah marak di lingkungan kelas menengah ke bawah?, tentu perlu ada analisis situasi global dan nasional. Situasi dan kondisi keduanya sangat berpengaruh di tingkat regional dan lokal yang menjadi basis gerak dan edar beberapa jenis kesenian di atas.
Dua variabel yang sangat menonjol menjadi jawaban dan alasan atas pertanyaan itu, adalah situasi geososial-politik dan situasi kondisi ekonomi, baik berdiri sendiri atau saling berkait mempengaruhi. Kejenuhan warga kelas menengah ke bawah terhadap realitas sosial-politik yang tak membuat nyaman dalam 5 tahun terakhir, sangat butuh “terobosan” yang menghibur. (Won Poerwono – bersambung/i1)