Suasana Damai di Era Sinuhun PB IV dan PB V, Iklim Paling Cocok untuk Berkarya
IMNEWS.ID – PADA masa Sinuhun PB III jumeneng nata (1749-1788) atau 39 tahun memimpin Kraton Mataram Surakarta, adalah masa yang panjang, hampir 4 dekade/dasawarsa. Waktu sepanjang itu seakan menjadi keberuntungan PB III untuk “berkarya”, meneruskan cita-cita para pendahulunya, membangun dan menuntaskan pembangunan semua infrastruktur Ibu Kota negara yang “lebih baik”.
Oleh sebab itu, pasokan modal dari berbagai sumber terutama dari sang nenek, Kanjeng Ratu Kentjana Kudus (putri Adipati Tirtakusuma Bupati Kudus) untuk mengisi berbagai pos anggaran di “APBN”, lebih terkonsentrasi untuk berbagai keperluan proyek . Itu menjadi rasional sekali, ketika Sinuhun PB III “hanya punya” dua bregada prajurit, karena suasananya sudah “damai”.
Ketika dianalisis lebih lanjut, sebenarnya saat tahta berganti kepada putranya yang jumeneng sebagai Sinuhun PB IV (1788-1820), menipisnya ketersediaan dana untuk berbagai pos di APBN belum pulih benar. Atau bisa juga diasumsikan ada kenaikan nilai berbagai barang dan jasa, jika tiap tahun, lima tahun atau dekade sudah ada perubahan harga/nilai barang/jasa sejak itu.
Tetapi karena di zaman Sinuhun PB IV “stabilitas keamanan nasional” sudah bisa trwujud dan dijamin, dalam arti “tidak ada perang” dan “tindak kriminalitas” minim atau masih bisa ditoleransi, maka pos-pos di APBN untuk “belanja alutsista” dan Hankam, bisa dikurangi. Pos-pos anggaran itu bisa dialihkan untuk “belanja” pengetahuan dan memproduksi karya simbol zaman.

“Sampai di zaman Sinuhun PB X (1893-1939), apalagi ketika masih zaman Sinuhun PB IV (1788-1820), kraton belum punya institusi kepolisian. Maka, yang menangani pelanggaran hukum ya di antara para prajurit yang ditugaskan itu. Misalnya, pelanggaran yang dilakukan Prajurit Singanagara, yang menyidik dan menghukum prajurit di Bangsal Martalulut,” ujar KP Budayaningrat.
Dari Serat Sri Radya Laksana yang dilihat KP Budayaningrat, ada sebuah bangunan di sisi kiri depan Pendapa Sitinggil Lor bernama Bangsal Martalulut. Bangunan itu menjadi tempat bertugas Prajurit yang masuk kategori Keparak Kiwa, untuk menyidik dan menghukum para pelanggar hukum dan tindak kejahatan apapun, karena kraton belum punya lembaga penegak hukum atau polisi.
Sebagai ilustrasi, di timur Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa atau depan Pendapa Sitinggil Lor sisi kanan, juga ada bangunan tempat tugas beberapa bregada prajurit kategori Keparak Tengen. Prajurit yang menampung usulan kenaikan pangkat dan yang akan menerima hadiah, tehubung ke bangunan lain di kanan-kiri Pendapa Pagelaran antara Bangsal Pacekotan atau Pacikeran.
“Apakah untuk yang menerima hadiah melalui Bangsal Pacekotan atau Pacikeran, saya belum menemukan naskahnya. Letak dua bangsal itu persisnya di sisi mana?, saya juga belum mendapatkan datanya. Tetapi, saat direnovasi tahun 1990-an, sudah ada data-datanya secara lengkap semua bangunan di kompleks Pendapa Pagelaran dan Sitinggil Lor,” ujar KRT Darpa Arwantodipuro.

Ilustrasi di atas melukiskan bahwa dalam keadaan damai dan tidak ada perang, jumlah prajurit masing-masing bregada dan jumlah golongan/bregadanya menjadi lebih sedikit atau dikurangi. Di antara yang ada, malah bisa difungsikan sebagai aparat penegak hukum untuk mengadili para pelanggar hukum atau para kriminal, di sisi lain kegiatan produksi karya-karya lebih menonjol.
Pada zaman Sinuhun PB IV (1788-1820) saat suasana damai dan “stabilitas nasional” terjaga, kraton hanya memiliki empat bregada/golongan prajurit, yaitu Bregada prajurit Talangpati, Prawiteng, Mijipinilih dan Prajurit Jayengastra. Karena, selama 32 tahun itu PB terkonsentrasi memproduksi berbagai karya fisik (masjid) dan nonfisik yaitu berbagai jenis karya seni.
Karya paling banyak dan menjadi ciri Mataram Surakarta dan simbol peradaban yang diproduksi Sinuhun PB IV selama 32 tahun itu, dilakukan bersama putra mahkota Pangeran Adipati Anom yang kemudian menjadi Sinuhun PB V. Mulai dari karya sastra “Serat Wulangreh”, “Kur’an Jawi”, karya tari (Srimpi Ludira Madu), keris, gamelan Kiai Guntur Sari, “canthik Rajamala” dan wayang.
Masjid yang dibangun Sinuhun PB IV di antaranya ada di Desa Jatisobo, Kecamatan Polokarto, Kabupaten Sukoharjo. Masjid yang berkonstruksi dengan struktur kubah sangat “nJawani” itu diberi nama Masjid Agung Jatisaba. Wayang kategori “gedhog” hasil karyanya adalah Kiai Jayeng Katong yang menuntaskan karya eyangnya, Sinuhun PB II waktu masih di Kraton Mataram Kartasura.

Sinuhun PB IV saat jumeneng nata memang sudah tidak “menangi” atau mendapat dukungan “kasih sayang” dari sang nenek, Kanjeng Ratu Kentjana Kudus yang mencurahkan segenap kasih-sayangnya mulai dari Sinuhun Amangkurat IV (suami), Sinuhun PB II) (anak) dan Sinuhun PB III (cucu). Tetapi, mendapat dukungan segalanya saat beristrikan dua putri Adipati Tjakra Adiningrat III.
Keluarga Adipati Tjakra Adiningrat III yang menjabat Bupati Pamekasan adalah pemilik/pengelola perusahaan tambang minyak bumi, pengelolaan pelabuhan dan beberapa industri lain, saat itu. Dr Purwadi mencatat, dengan kekayaan itulah menjadi sumber dukungan ekonomis bagi dua putrinya, RAy Handaya dan RAy Sakaptinah yang berturut-turut diambil istri Sinuhun PB IV.
Oleh sebab itu, ketika Sinuhun PB IV dan Pangeran Adipati Anom (calon PB V) berproduksi berbagai karya fisik dan nonfisik (seni) yang “tangible” dan “intangible”, jelas mendapat “dukungan penuh” keluarga dua permaisurinya kakak dan adik itu. RAy Handaya wafat saat putra mahkota (calon PB V) masih kecil, lalu adiknya, RAy Sakaptinah diperistri menjadi permaisuri.
Sinuhun PB IV yang sangat kaya berbagai karya yang diproduksi selama 32 tahun (1788-1820), bisa disebut menjadi “stampel” karya-karya putranya sejak menjadi putra mahkota bergelar Pangeran Adipati Anom. Seandainya bisa disebut karyanya, pasti karya semasa Sinuhun PB V (1820-1823) banyak juga selain Serat Tjenthini yang isinya berbagai macam yang luar biasa itu.

“Puluhan judul gendhing, termasuk gendhing-gendhing pengisi sajian Gamelan Sekaten di bangsal Pradangga Lor dan Kidul halaman Masjid Agung kalau ada Grebeg Mulud, itu semua karya Sinuhun PB V. Gendhing-gendhing pengisi Sekaten, bahkan dihasilkan saat masih menjadi Pangeran Adipati Anom. Saya punya catatannya,” ujar KPP Nanang Soesilo Sindoeseno Tjokronagoro secara terpisah.
KPP Nanang adalah sentana trah darah-dalem dari Sinuhun PB V dan X yang memiliki buku berjudul “Sinuhun Sugih” karya seorang anggota paguyuban trah. Buku itu juga menunjuk gendhing-gendhing seni Laras Madya atau Santiswaran, adalah karya PB V. Walau masa tahtanya singkat (3 tahun), tetapi karya-karyanya luar biasa, prajuritnya bisa ditingkatkan menjadi 13 bregada. (Won Poerwono-bersambung/i1)