“Gelar-Sesebutan” Berubah Ketika Lembaga (Pemerintahan) Normatif Menjadi Lembaga Budaya (seri 4 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:January 26, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing “Gelar-Sesebutan” Berubah Ketika Lembaga (Pemerintahan) Normatif Menjadi Lembaga Budaya (seri 4 – bersambung)
TAAT DAN PATUH : Rombongan warga Pakasa Cabang Kudus yang dipimpin langsung ketuanya, KRRA Panembahan Didik Gilingwesi, di dalam berbagai kesempatan seperti ritual tingalan jumenengan seperti yang digelar, Sabtu (25/1), selalu memperlihatkan sikap abdi-dalem yang taaat dan patuh aturan adat, terutama dalam berbusana. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Untuk Kebutuhan Mendasar dan Mendesak, Pakasa Cabang Kudus Sudah Bisa Menjadi Contoh Ideal

IMNEWS.ID – SEPULANG dari mengikuti “pisowanan” upacara adat tingalan jumenengan yang digelar di Pendapa Sasana Sewaka, Sabtu (25/1), KRRA Panembahan Didik Alap-alap Gilingwesi Singonagoro mendapat laporan dari istrinya. Karena, sang istri dijadikan contoh dalam berbusana adat Jawa secara baik dan tepat, di hadapan sejumlah abdi-dalem yang sedang “sowan”.

Peristiwanya, terjadi saat petugas mengarahkan tempat duduk para abdi-dalem putri di sekitar Pendapa Sasana Sewaka, sebagai tempat pisowanan. Kepada sang istri, petugas itu menyebut bahwa bahan busana dan potongannya sudah tepat dan baik, motif batik jarik juga tepat, “gelungan” atau sanggulnya sudah sesuai dengan yang wajib dikenakan abdi-dalem.

“Katanya, petugas itu menunjuk beberapa abdi-dalem lain yang kebetulan mengenakan beberapa bagian busana adatnya, tidak sesuai dengan aturan baku bagi abdi-dalem saat pisowanan di kraton. Karena, ada yang mengenakan bahan ‘bludru’, kuthu-baru, kemudian sanggulnya ada yang tidak sesuai dan mengenakan aksesori,” tiru KRRA Panembahan Didik kepada iMNews.id.

MOTIF CEPLOK : Kain atau “jarik” batik motif “ceplok”, dulu sering dikenakan Sinuhun PB XII, tetapi kini “dilonggarkan” Gusti Moeng untuk dimuliakan dan diabadikan warga Pakasa, seperti yang dikenakan rombongan Pakasa Cabang Pati dan Kudus di kraton, Sabtu (25/1) lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam percakapan dengan iMNews.id pagi tadi, Ketua Pakasa Cabang Kudus itu menyebut busana adat Jawa rombongannya dalam mengikuti pisowanan tingalan jumenengan di Kraton Mataram Surakarta, Sabtu (25/1), ada tiga macam. Yaitu, lelaki yang berbusana adat Jawa, berbusana “Kanca Kaji” dan wanita berbusana adat Jawa, yang semuanya sesuai kedudukan abdi-dalem.

Keluarga besar Pakasa Cabang Kudus, disebutkan KRRA Panembahan Didik selalu dibimbing untuk taat dan patuh aturan adat yang berlaku, karena di lingkungan tempat tinggalnya di Kudus, pasti dilihat masyarakat luas. Dirinya sadar, warga Pakasa Cabang Kudus pasti akan diperhatikan masyarakat, terutama karena cara-caranya berbusana adat dengan tepat dan benar.

Karena alasan bersifat edukatif itulah, KRRA Panembahan Didik berkomitmen untuk menjadi abdi-dalem yang memahami benar segala aturan adat, serta mewujudkannya dalam kehidupan sehar-hari di lingkungannya dengan taat dan patuh. Abdi-dalem berkepribadian Jawa tulen, yang menguasai pengetahuan berbusana adat, karena Pakasa menjadi agen pelestari Budaya Jawa.

HANYA CINDHE : Stagen batik motif “Cindhe”, dalam aturan adat baku saat mengikuti pisowanan di kraton, yang boleh mengenakan hanyalah Raja dan pangeran putra. Tetapi, karena motif itu diproduksi massal dan paling disukai pembeli, warga Pakasa hanya bisa mendapatkan motif “Cindhe” ketika ke gerai atau Pasar Klewer. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ilustrasi di atas, semakin meyakinkan bahwa sosok KRRA Panembahan Didik Alap-alap Gilingwesi Singonagoro tepat menjadi Ketua Pakasa Cabang Kudus. Apalagi, dirinya punya kapasitasnya sebagai “Kyai”, karena punya tiga Majlis Taklim yang santrinya ratusan orang. Pengetahuan “pasuwitan” yang dimilikinya, pantas ditulaskan seorang “guru” seperti dirinya.

Dia sama-sekali belum pernah menjadi bagian Sanggar Pasinaon Pambiwara di kraton, tetapi bekal tentang pengetahuan “pasuwitan”, dan berbagai hal yang berkaitan dengan profil abdi-dalem yang juga “wong Jawa”, sudah tidak perlu diragukan. Dia paham tentang gelar-kepangkatan, busana adat dan aturan peruntukannya, sampai jenis songsongnya yang sesuai.

“Sejak kecil, saya sudah dibekali eyang kakung, sampai hal yang kecil-kecil. Catatan pelajaran di sekolah waktu SD, saya simpan. Ditambah cerita dari eyang saya. Semua yang menyangkut keperluan ‘pasuwitan’ itu saya catat. Tetapi, mungkin ada yang berbeda karena zamannya, mudah-mudahan ada yang merevisi dan melengkapi. Karena, hal-hal ini penting bagi Pakasa”.

PARANG ATAU LERENG : Kain atau “jarik” motif “parang” atau “lereng” seperti yang dikenakan putra mahkota KGPH Hangabehi, dalam tata nilai paugeran adat memang kasta adat pangeran putra atau Raja yang punya hak mengenakan. Terlebih, dalam suasana upacara adat di dalam Kraton Mataram Surakarta seperti Sabtu (25/1) lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Tetapi, rasanya kurang tepat kalau saya menganjurkan pihak lain di luar warga saya. Tetapi saya sadar, dipercaya memimpin Pakasa cabang, berarti harus membimbing anggota memahami dan menjalankan pasuwitan di kraton dengan benar dan tepat. Harus bertanggungjawab menjadi pelestari Budaya Jawa yang bersumber dari kraton, dan bisa jadi contoh yang lain”.

“Untuk itu, saya harus menjadi contoh yang baik bagi keluarga dan warga Pakasa. Saya masih perlu belajar memahami betul pengetahuan soal pasuwitan dan segala persyaratan adatnya. Termasuk dalam berbusana adat. Dimulai dari diri sendiri, keluarga, warga Pakasa cabang, masyarakat luas dan yang mungkin juga termasuk warga Pakasa lain,” ujar KRRA Panembahan.

Sampai di sini, sepertinya semakin jelas gambaran Pakasa yang sudah bertransformasi menjadi “reborn” atau “New Pakasa”, karena sudah ada yang bisa dijadikan contoh. Terlebih, juga memberi gambaran bagaimana cara memahami, menguasai pengetahuan dan mewujudkannya, kepada siapa atau lingkungan mana ditularkan, juga pada posisi kebetulan dimilikinya.

TAK DIRAGUKAN : Soal busana adat sesuai kasta adat dan kepangkatannya, memang sudah tak perlu diragukan lagi kalau yang memakai KPP Haryo Sinawung Waluyo Putro. Walaupun, “jarik” motif “ceplok” yang dikenakan mirip dengan seragam para abdi-dalem Pakasa, sebagai seragam masyarakat adat setelah “disederhanakan”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Melihat sepak-terjang, kemampuan dan kapasitasnya, KRRA Panembahan Didik Singonagoro mungkin satu-satunya Ketua Pakasa cabang ideal dan sesuai kebutuhan masa kini, terutama sebagai tokoh teladan penggerak pelestari Budaya Jawa dan tokoh “problem solver”. Untuk kebutuhan mendasar dan mendesak, Pakasa Cabang Kudus sudah bisa mengatasi secara swadaya.

Kebutuhan mendasar dan mendesak Pakasa masa kini, adalah pemahaman terhadap jatidirinya, pemahaman terhadap pengetahuan alat pendukungnya, fungsi dan tugasnya, yang rata-rata masih menjadi persoalan serius cabang-cabang Pakasa lain. Tetapi melihat realitas di lapangan, rupanya perlu bimbingan langsung atau tidak langsung Sanggar Pasinaon Pambiwara.

Di tempat terpisah, KP Budayaningrat selaku “dwija” Sanggar Pasinaon Pambiwara bisa memahami kondisi riil perkembangan situasi tentang keberadaan kalangan abdidalem khususnya Pakasa, memang rata-rata jauh dari kebutuhan ideal. Tetapi, kraton mengalami kendala serius untuk mengoperasionalkan fungsi edukasi sanggar, untuk membantu menyiapkan Pakasa. (Won Poerwono – bersambung/i1)