Hampir Semua Pejabat dari Tingkat Bupati dan Kepala Dinas ke Atas “tak Paham” Berbahasa Jawa
IMNEWS.ID – PADA seri sebelumnya (iMNews.id, 23/10) diungkap bahwa di kalangan masyarakat Jawa di semua tingkatan, lapisan dan jabatan, pada saat-saat tertentu ingin menunjukkan bahwa dirinya sudah menjadi pelestari Budaya Jawa. Salah satunya dengan mendapatkan pangkat dan gelar kekerabatan dari kraton, yang sebenarnya hanya untuk “menutupi sesuatu”.
“Sesuatu” yang berusaha ditutupi itu rasa malu atau gengsi disebut bukan “wong” Jawa, malu disebut rakyat jelata yang tidak “nJawa”, malu disebut “wong” Jawa yang tidak peduli Budaya Jawa. Bisa juga malu kalau sudah menjadi sukses (secara ekonomi) tetapi merasa tidak dihormati, atau malu karena dianggap tidak berbudaya atau bukan masyarakat adat.
Dari jenis-jenis kekhawatiran di atas yang berusaha mencari topeng atau tempat kamuflase, di antaranya mencari kesempatan mendapatkan pangkat dan gelar kekerabatan. Ada yang menjadi anggota ormas di bidang seni budaya, ormas bermodal papan nama sejenis Pakasa, tetapi ada juga yang belajar pada Sanggar Pasinaon Pambiwara dan Pakasa cabang.
Tetapi mereka jelas bukan para pejabat Kepala Dinas secara struktural atau setingkat Bupati/Wali Kota ke atas sampai di tingkat provinsi. Walaupun di Jateng sudah ada ketentuan khusus, dan Pemkot Surakarta salah satu yang sudah menjalankan. Tetapi ada kebijakan berupa slogan, yaitu “Utamakan Bahasa Indonesia, lestarikan Bahasa Jawa dan kuasai bahasa asing”.
“Maka, seperti Pemkot Surakarta misalnya, ada ketentuan tiap Kamis para ASN harus mengenakan busana adat Jawa dan harus menggunakan Bahasa Jawa kalau ada forum-forum rapat. Tetapi itu hanya jadi hiasan formalitas saja. Karena rapatnya diganti tidak hari Kamis. Kalau terpaksa Kamis, Bahasa Jawa hanya digunakan untuk pembuka dan penutup saja”.
“Mengenai para siswa yang belajar di sanggar, banyak yang datang dari kalangan masyarakat biasa tetapi di kampung menjabat sebagai Ketua RT, RW, Sekdes, ketua Pokdarwis dan pimpinan organisasi dan pamong setingkat desa/kelurahan. Mereka ingin bisa berbahasa Jawa, karena warganya masih banyak kalangan generasi tua,” ujar KP Budayaningrat.
Banyak informasi yang melukiskan kondisi riil di lapisan masyarakat paling bawah, menengah dan atas yang sempat dicermati KP Budayaningrat, salah seorang “dwija” Sanggar Pasinaon Pambiwara. Bahkan, KPH Raditya Lintang Sasangka selaku Pangarsa sanggar pambiwara juga punya catatan tersendiri hasil pencermatan selama belasan tahun memimpin sanggar.
Saat dimintai konfirmasi kemarin disebutkan, bahwa dari kalangan masyarakat Jawa yang sedang atau pensiun dari jabatan setingkat Bupati/Wali Kota dan Kepala Dinas secara struktural sampai tingkat provinsi, apalagi tingkat nasional, rata-rata tidak mau belajar berbahasa Jawa dan Budaya Jawa di sanggar karena merasa sudah bisa, walau sebenarnya tak paham.
“Jadi, kalangan pejabat atau bekas pejabat setingkat itu, bukan malu alasan tidak mau belajar ke sanggar. Tetapi sudah merasa bisa dan merasa Bahasa Jawanya sudah benar. Ini yang repot dan bisa menyesatkan. Karena bukan tidak mungkin, yang diucapkannya salah, tetapi diyakini benar dan orang lain diharapkan mengikuti,” tunjuk KPH Raditya Lintang Sasangka.
Menurut sentana-dalem yang bernama kecil BRM Bambang Irawan itu, tak hanya kategori masyarakat Jawa dari kalangan pejabat dan pensiunan pejabat setingkat itu yang tidak mau belajar ke sanggar karena alasan sudah bisa. Tetapi, dari kalangan itu banyak yang merasa “alergi” dengan kraton, punya sikap tersembunyi “alergi” Budaya Jawa bahkan tak peduli.
Ketika dianalisis lebih lanjut ciri-ciri karakter dan sikap orang-orang dari kalangan itu, memang sudah jelas bahwa mereka itu adalah bagian dari golongan “republikan”. Mereka terpengaruh faham bahwa dirinya “republik tulen”, warisan (langsung atau tidak) dari generasi yang merasa ikut berjuang melahirkan NKRI dan menghendaki orang lain mengikutinya.
Kalangan pejabat dan pensiunan pejabat yang masuk golongean “republikan” itu, bahkan ditambah lingkungan dan dari luar lingkungannya, sudah tidak peduli dengan Budaya Jawa dan adanya kraton. Juga tidak peduli upaya-upaya pelestarian dan menjaga kelangsungan kraton, karena mereka bagian golongan yang memang menghendaki agar Budaya Jawa dan kraton lenyap dari muka bumi.
Dengan menganalisis realitas masyarakat Jawa sekarang ini, sudah jelas gambaran petanya di mana golongan yang anti dan tidak peduli pada Budaya Jawa dan kraton, di mana letak golongan yang masih peduli walaupun hanya formalitas dan normatif atau sekadar pura-pura, di mana letak golongan yang mencari topeng kamuflase dan sebagainya.
Bahkan, masih bisa dikategorikan lagi di mana letak golongan masyarakat Jawa yang ingin kelihatan melestarikan Budaya Jawa dan kraton tetapi punya misi memanfaatkannya untuk kepentingan politik pribadi/golongan. Tetapi jelas pula letak golongan yang rela berkorban dan berjuang dengan tulus-ikhlas dan benar-benar belajar memahami untuk tujuan ideal.
Mereka yang menjadi golongan pelestari Budaya Jawa dan penjaga kelangsungan kraton dengan ciri-ciri di atas, kini masih ada di jajaran “Bebadan Kabinet 2004”, di antaranya figur Gusti Moeng sendiri. Tetapi juga banyak didapati di Sanggar Pasinaon Pambiwara dan Pasipamartanya, demikian pula di sejumlah Pakasa cabang walau banyak catatan soal kualitasnya. (Won Poerwono – bersambung/i1)