“Untung Ada Pakasa”, Suasana Ritual Mendapat Dukungan Melimpah yang Menjaga Keagungannya
IMNEWS.ID – SEORANG pelawak Srimulat (alm) Aris Fredy alias Gepeng yang di tahun 1990-an memperkenalkan pemeo “Untung Ada Saya”, hingga kini masih banyak yang mengenal makna kalimat itu. Dan, istilah itu juga berlaku universal, termasuk bagi Kraton Mataram Surakarta yang menggelar upacara adat Labuhan di “segara kidul” pantai Parangkusuma, Bantul (DIY).
Pemeo itu bisa berubah makna konteksnya menjadi “Untung Ada Pakasa”, ketika berkait dengan ritual Labuhan yang digelar Bebadan Kabinet 2004, Minggu (6/10) kemarin. Bahkan juga berlaku sangat panjang tak terbatas waktunya, termasuk saat tatacara ritual dimulai dari dalam kraton, proses perjalanan diangkut menuju tempat wilujengan, sampai saat dilabuh.
Boleh disebut, pemeo itu berlaku sejak siang diadakan prosesi membawa peti stereoform berisi selambu atau langse makam Sinuhun Amangkurat Agung di Astana Pajimatan Kabupaten Tegal. Ada beberapa bagian langse yang dilepas dari cungkup makam di Desa Pasarean, Kecamatan Adiwerna yang dikumpulkan dari dua kali ritual jamasan makam, yaitu tahun 2023 dan 2024.
Karena jumlah langse yang dilepas dalam dua tahun ritual jamasan makam sudah berujud abu karena terlebih dulu dibakar, maka peti kemasannyapun hanya 4 buah yang tergolong ringan. Mulai dari tahap awal prosesi mengeluarkan peti berisi langse dari dalam kraton, tak hanya “Untung Ada Pakasa”, tetapi juga berlaku “Untung Ada Pasipamarta” dan sebagainya.
Namun, karena melihat jumlahnya yang signifikan, maka pemeo yang paling tepat dipakai adalah “Untung Ada Pakasa”. Mengingat jumlah warga Pakasa dari 14 cabang yang mengirim utusan sampai lebih 300 orang, sementara beberapa elemen lain misalnya Putri Narpa Wandawa, jajaran Bebadan kabinet 2004 maupun Pasipamarta, total hanya berjumlah 200-an orang.
Di satu sisi, memang seperti itulah adanya bahwa bersamaan dengan datangnya “musibah sosial adat” di bulan April 2017 itu, seakan menjadi saat “menghilangnya” sejumlah besar kekuatan SDM inti Kraton Mataram Surakarta. Prosesnya tentu secara berturut-turut dari 2017 hingga 2022, bahkan regenerasi seakan tidak terjadi sudah kelihatan sejak tahun 2004.
Sebagai tambahan ilustrasi, sebelum 2017 “abdi-dalem garap” atau pegawai kraton ada lebih dari 500 orang, termasuk yang bertugas di Kabupaten Imogiri dan sekitar 70 sentana dan sentana-dalem. Itupun sudah banyak berkurang terutama jumlah keluarga inti dan pengikutnya yaitu para sentana dan abdi-dalem, akibat peristiwa suksesi alih pimpinan tahun 2004.
Proses regenerasi yang nyaris tak bisa berjalan sejak 2004, ditambah suasana dalam tekanan selama lima tahun lebih sejak 2022, sungguh semakin mempersulit proses regenerasi, baik di kalangan keluarga inti (para wayah-dalem), sentana dan sentana garap serta di kalangan abdi-dalem garap yang bekerja di berbagai “departemen” jajaran “Bebadan Kabinet 2004”.
Oleh sebab itu, ketika ritual Labuhan digelar “Bebadan Kabinet 2004” untuk kali pertama atau perdana sejak peristiwa “insiden Gusti Moeng Kondur Ngedhaton” 17 Desember 2022 pada Minggu (6/10) tahun 2024 ini, keberadaan dan kehadiran Pakasa dari berbagai cabang seakan menjadi “dewa penyelamat”. Dan, pemeo “Untung Ada Pakasa” menjadi tepat sekali.
Dari catatan kantor Pengageng Sasana Wilapa, terdaftar ada 14 pengurus Pakasa cabang dari berbagai daerah di Jateng dan Jatim telah mengirim utusan yang bervariasi jumlahnya, hingga total mencapai lebih 300 orang. Itupun masih ditambah utusan yang menyusul kemudian, walaupun Pakasa Cabang Pacitan berhalangan hadir, karena Ketuanya sedang berdukacita.
Dukungan warga Pakasa cabang hingga bisa disebut “Untung Ada Pakasa”, memang sangat mencolok dari berbagai simbol dan isyarat. Setidaknya, ketika berlangsung tatacara donga wilujengan di Pendapa Cepuri Pesanggrahan Parangkusuma, Minggu sore mulai pukul 15.15 WIB, pendapa tampak penuh sampai meluber ke halaman sekelilingnya untuk menjaga keagungannya.
Kehadiran warga Pakasa cabang juga semakin kelihatan saat barisan prosesi sudah ditata dan berjalan dari cepuri menuju bibir pantai sekitar 1 KM, lebih separo jarak tempuh penuh terisi arak-arakan manusia peserta prosesi pembawa uba-rampe Labuhan. Di situlah, vandel simbol lambang Pakasa cabang ikut berkibar bersama di antara lambang kebesaran kraton.
Upacara adat Labuhan yang digelar Kraton Mataram Surakarta memang penuh warna, estetika dan etika. Begitu barisan prosesi arak-arakan berjalan, citra visual barisan yang cukup panjang itu tampak indah sekali, komposisi warna yang komplet dan bervariasi, yang di antaranya diperkaya oleh warna-warni simbol cirikhas Pakasa cabang yang mendukungnya.
Pakasa Cabang Jepara yang dipimpin ketuanya, KP Bambang S Adiningrat, menyertakan prajurit Bregada Sura Praja-nya yang berkostum biru, ikut mewarnai barisan bersama vandel simbol Pakasanya. Berikut Pakasa Cabang Ponorogo yang dipimpin langsung KP MN Gendut Wreksodiningrat (Ketua cabang), menurunkan warganya berseragam khas “Panaragan” selain yang “Jawi jangkep”.
Vandel lambang Pakasa Ponorogo tampak berkibar-kibar di bibir pantai. Pakasa cabang Ngawi (Jatim) yang dipimpin langsung KRT Suyono Sastroredjo (Ketua Harian) sebagian besar rombongannya sama dengan utusan Pakasa cabang lain yang berseragam “Jawi jangkep”. Tetapi, yang berseragam jingga dengan tulisan SAR “Elpeje”, sungguh mencolok, bikin “ayem” dan bangga. (Won Poerwono-bersambung/i1)