Sekaten Garebeg Mulud 2024 Menjadi Momentum Penting Perubahan Status Kelembagaan (Seri 6 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:September 25, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Sekaten Garebeg Mulud 2024 Menjadi Momentum Penting Perubahan Status Kelembagaan (Seri 6 – bersambung)
SIMBOL AROGANSI : Mengerahkan kekuatan untuk memperlihatkan kekuasaan seperti yang terjadi pada tahun 2017 ini, adalah contoh simbol arogansi yang sudah tidak patut ditiru. Cara-cara seperti itu tidak ditempuh "Bebadan Kabinet 2004" yang dipimpin Gusti Moeng, karena itu bukan cermin manusia beretika dan berbudaya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Publik Perlu Memahami, Bahwa Arogansi Kekuasaan 2017, Cukup Dibalas dengan Kearifan

IMNEWS.ID – “SING becik bakal ketitik, sing ala bakal ketara”. Begitu kalimat singkat sebuah adagium bijak yang pernah disebut KRT Sukadi, seorang abdi-dalem dari Pakasa Cabang Pati (iMNews.id, 15/8). Kalimat singkat itu untuk membenarkan adanya kearifan Bebadan Kabinet 2004 dalam menghadapi “pengkhianatan dan persekongkolan” jahat dari pihak seberang.

Kata bijak yang pernah dilahirkan dari kalangan Pujangga Jawa Mataram Surakarta itu selalu banyak mengandung kebenaran, karena kalimat itu disusun berdasarkan pengalaman empiris dan keahlian membaca masa depan. Dan hampir semua peristiwa perjalanan masyarakat adat Mataram Surakarta yang selama ini dialami, telah membuktikan hukum kausalitas itu.

Termasuk, peristiwa seorang oknum yang membawa map berisi SK “dahwuh” untuk menabuh gamelan Sekaten kali pertama, Senin (9/9) lalu. Kemudian suasana “pihak seberang” yang sedang “melampiaskan” apa yang disebut sebagai hak “kewenangan” dan “kekuasaan” sepuas-puasnya, pada puncak ritual hajad-dalem Gunungan Garebeg Mulud 2024, Senin (16/9) itu.

DIANGGAP BENAR : Setiap ada isu berkembang dari dinamika “politik” di internal kraton yang meningkat setelah 2017, langsung diantisipasi penguasa dengan pengerahan pasukan dari kepolisian. Cara-cara seperti ini untuk menciptakan opini bahwa tindakan menyimpang pihak “seberang” adalah “benar adanya”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pelampiasan kewenangan dan kekuasaan yang tergambar dalam insiden di depan Bangsal Prandanga Masjid Agung itu, secara tidak langsung menjadi bagian dari harapan “Sing becik ketitik, sing ala ketara” yang sudah benar-benar tebukti. Karena, SK “dhawuh” dalam map yang disebut berasal dari Pengageng Parentah Kraton itu, adalah ilegal atau tidak berlaku.

Karena lembaga Pengageng Parentah Kraton adalah bagian dari “Bebadan baru” yang dibentuk Sinuhun hasil penyalahgunaan SK Kemendagri No 430-2933 Tahun 2017 itu, sudah dinyatakan ilegal atau tidak berlaku sejak terbitnya putusan Mahkamah Agung (MA) No 87/Pdt.G/2019/PN.Skt (Ska-Red), 29 Agustus 2022. Bahkan Sinuhun dinyatakan mengalami cacat permanen sejak 2016.

Putusan MA itu bahkan ditegaskan lagi dengan peristiwa eksekusi dari Pengadilan Negeri (PN) Surakarta yang dilakukan tim eksekusi dan juru sita di depan Kori Kamandungan, 8 Agustus 2024, yang dipimpin panitera PN Surakarta Dr Asep Dedi Suwasta SH MH. Sedangkan Sinuhun dinyatakan cacat permanen dari putusan sidang di PN Sukoharjo tahun 2016.

TETAP SANTUN : Walau sampai demo turun ke jalan untuk mengekspresikan kekecewaan dan sikap tidak terima atas terjadinya arogansi kekuasaan 2017, tetapi ekspresi masyarakat adat di bawah “Bebadan Kabinet 2004” tetap melakukannya dengan santun dan berbudaya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Dalam vonis sidang kasus trafficing yang digelar PN Sukoharjo tahun 2016, Sinuhun (PB XIII) dibebaskan dari segala tuduhan keterlibatannya sebagai tersangka pelaku, karena alasan cacat permanen. Jadi, secara tidak langsung vonis itu sudah menegaskan bahwa Sinuhun mengalami cacat permanen. Segala produk aktivitasnya, tidak memiliki kekuatan hukum”.

“Jadi, dengan eksekusi atas putusan MA yang dilakukan PN Surakarta (8/8/2024) dan putusan vonis PN Sukoharjo (2016), sebenarnya sudah selesai final segala proses hukum yang membenarkan kewenangan Bebadan Kabinet 2004 dan Lembaga Dewan Adat (LDA). Kalau dari pihak sana masih ada yang nekat, ngeyel, itu adalah contoh orang-orang yang tidak taat hukum”.

“Itu sangat disayangkan. Tokoh-tokoh dari masyarakat adat berbudaya di kraton, seharusnya menjadi contoh yang baik bagi masyarakat luas. Bukan malah ngawur, nekat dan ngeyel seperti insiden di depan Bangsal Pradangga, Senin (9/9) dan juga beberapa peristiwa sebelumnya. Sekarang, akhirnya ketahuan siapa yang baik dan yang buruk,” ungkap KPP Haryo Sinawung.

GERAM DAN GUSAR : Geram dan gusar selalu diperlihatkan KPH Broto Adiningrat (alm) dan para tokoh sesepuh di kraton yang menjadi korban arogansi kekuasaan di tahun 2017. Tetapi, ekspresi yang terbatas ditumpahkan dalam forum internal seperti inilah yang menjadi ciri orang-orang beretika dan berbudaya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

KPP Haryo Sinawung Waluyoputro yang sering dimintai konfirmasi iMNews.id, adalah seorang tokoh muda sentana-dalem trah darah-dalem Sinuhun PB IX, yang selama ini berada di belakang Gusti Moeng. Bersama sejumlah sentana-dalem lainnya, mereka mendukung pimpinan “Bebadan Kabinet 2004” dan Pangarsa LDA yang selalu menjaga tegaknya paugeran adat.

Tokoh sentana-dalem paling muda itu bahkan sering “pasang badan” atau secara fisik selalu berusaha menghalangi upaya penyimpangan paugeran adat, terutama pelaksanaan upacara adat seperti yang terjadi dalam dua tahun terakhir. Secara umum  sikap akomodatif “Bebadan Kabinet 2004” bisa menerima, tetapi kelonggaran yang diberikan ternyata disalahgunakan.

“Secara pribadi, saya sulit membenarkan adanya kelonggaran yang diberikan Bebadan Kabinet 2004 padasaat ada eksekusi putusan MA, 8 Agustus lalu. Karena, ternyata malah disalahgunakan pada peristiwa di Masjid Agung, Senin (9/9). Dari satu sisi, kelonggaran itu bisa dianggap bahwa kita tidak tegas. Tetapi, mungkin itulah jalan yang harus dilalui,” jelasnya.

TAK MEMBALAS : “Bebadan Kabinet 2004” tetap menjaga kearifannya saat mengikuti eksekusi tim PN Surakarta, 8 Agustus lalu. Karena, meniru “pihak seberang” yang memanfaatkan kekuasaan mengerahkan 2000 Brimob dan 400 tentara untuk mengusirnya di tahun 2017, adalah cermin orang-orang arogan, tidak beretika dan tidak berbudaya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kelonggaran yang dimaksud KPP Haryo Sinawung yang secara “tidak langsung” sudah diberikan kepada “pihak seberang”, adalah tawaran dari institusi kepolisian untuk mengirim pasukan guna mengawal jalannya eksekusi oleh tim PN Surakarta di depan Kori Kamandungan, 8 Agustus. Tetapi, tawaran itu ditolak halus karena “Bebadan Kabinet 2004” ingin bersikap arif.

Sikap arif tetap dikedepankan “Bebadan Kabinet 2004”, karena “putusan MA” yang mengabulkan gugatan pihaknya tidak boleh menjadikan “jumawa” dan berlaku arogan. Tetapi kalau disebut sebagai “kemenangan”, biarlah menjadi kemenangan semua keluarga besar masyarakat adat Mataram Surakarta, tanpa perlu pamer “kekuatan kekuasaan” yang bisa diasumsikan negatif.

Sebuah edukasi yang sangat bijak telah ditunjukkan “Bebadan Kabinet 2004” pada peristiwa eksekusi putusan MA (8/8/2024) itu. Ini yang diharapkan bisa dipahami publik secara luas dengan penalaran yang waras dan menjadi contoh yang baik. Bahwa “Bebadan” yang menjadi korban arogansi kekuatan 2000 Brimob dan 400 tentara di tahun 2017, tak harus membalas. (Won Poerwono-bersambung/i1)