Sayang, Kisah Aksi Heroik Mbah Glongsor tak Pernah Jadi Tema “Karya Seni”
IMNEWS.ID – NAMA besar “Mbah Glongsor” yang mirip “pahlawan” karena jasanya mengatasi “teror” penjahat perampok beras komplotan “Kramaleya”, adalah sebuah kisah yang bisa digali dari perjalanan hidup seorang prajurit yang hidup pada zaman antara Sinuhun PB I (1705-1719) dan penggantinya Sinuhun Amangkurat Jawi atau IV (1719-1727) di Kraton Mataram Kartasura.
Kisah ini bersumber dari keluarga besar KRT Prana Kusumadjati, generasi 5-6 dari trah darah-dalem keturunan Sunan Kudus. Rangkaian kisah yang bersentuhan dengan situasi dan kondisi sosial kehidupan masyarakat Kudus dan sekitarnya antara 1705-1727 itu, menjadi cerita sendiri yang dituturkan generasi ke generasi hingga “grat” (trah) ke-14 keluarga KRA Panembahan Didik.
Hingga kini memang belum muncul penulisan hasil kajian sejarah yang khusus tentang kisah “petualangan” Kramaleya dan “kisah kepahlawanan” Mbah Glongsor dalam dua sisi lain yang berlawanan, tetapi petualangan perampok beras itu justru sudah muncul di pentas pertunjukan wayang kulit sekitar 40-an tahun lalu. Ini menambah bobot pembenaran bahwa kisah itu pernah ada/terjadi.
“Jadi, dari cerita eyang saya, ketika komplotan perampok Kramaleya itu beraksi di tengah malam atau lewat, pasti didahului dengan suara gamelan mirip kenong ditabuh “thong….thong…”. Suara itu seperti berjalan dalam ke gelapan melewati setiap pemukiman. Tujuannya, agar setiap orang takut keluar rumah. Di saat itulah, pasti ada lumbung beras warga yang dirampok”.
“Sekali, dua kali, perampokan di lumbung beras milik petani yang lumayan berhasil atau rumah-rumah penduduk yang sudah berhasil dibobol komplotan “Kramaleya”, lama-lama menjadi keresahan di berbagai desa yang luas. Ternyata, diam-diam Mbah Glongsor juga menyelidiki. Tiap malam ke luar rumah untuk menelusuri peta jalan orang-orang yang dicurigai”.
“Akhirnya didengar kabar ada petani yang memergoki sekelompok orang berganti pakaian di tengah sawah. Ternyata, komplotan Kramaleya yang berganti busana adat Jawa di tengah sawah, untuk menyamar sebagai pejabat kraton saat beroperasi merampok. Termasuk, para laskar yang mengaku tentara Belanda, yang mengawal perampok dengan menyamar,” ujar KRA Panembahan Didik.
Ketua Pakasa Cabang Kudus, KRA Panembahan Didik Gilingwesi Hadinagoro yang juga Ketua Pamong Makam Mbah Glongsor itu lebih lanjut menuturkan, dengan menelusuri pemilik pakaian yang ditinggal di “galengan” tengah sawah itu, akhirnya petualangan perampok beras terungkap. Dari identitas pakaian yang ditemukan, semua komplotan “Kramaleya” ditangkap.
Penangkapan Kramaleya dan komplotannya, diceritakan KRA Panembahan Didik sesudah beraksi dan para perampok membawa beras hasil rampokannya dalam kereta kuda yang disamarkan seakan-akan sedang membawa jenazah. Kereta jenazah itu, disamarkan dengan kain penutup dan dikawal beberapa laskar tentara di kanan-kirinya, ketika disergap dan ditombak, berasnya berceceran.
Saat iring-iringan kereta Kramaleya berjalan di kegelapan malam dengan hasil rampokannya, Mbah Glongsor dan adik iparnya bernama Soera Widjaya menyergap. Dengan kemampuan bela-diri dan ilmu kanuragan yang dibantu para santri anak buah Soera Widjaya, Mbah Glongsor menumpas bos perampok Kramaleya dan beberapa anak-buahnya yang disebut beroperasi sampai ke Rembang.
“Cerita eyang saya, sebenarnya ada beberapa muridnya yang inging membantu, tetapi dilarang Mbah Glongsor. Tetapi, Soera Widjaya (adik ipar-Red) bersama para santrinya yang sudah mengikuti dari kejauhan dan sembunyi, akhirnya juga ikut membantu menumpas komplotan Kramaleya. Dari peristiwa itu, Mbah Glongsor dan Soera Widjaya mendapat julukan nama lain”.
“Mulai saat itu, beliau berdua dikenal dengan nama ‘Alap-alap Gilingwesi’. Semua keturunannya diberi nama itu sejak lahir. Termasuk ssaya. Hanya ‘Alap-alap’ yang di tidak disertakan. Alap-alap Gilingwesi untuk mengistilahkan keberanian merampas senjata yang terbuat dari besi atau logam seperti meriam, bedil, pistol dan sebagainya”.
“Waktu saya selesai menceritakan kisah itu dalam sambutan singkat setelah kirab budaya yang mengangkat nama besar Mbah Glongsor, sabtu (17/8) itu, saya ditemui beberapa orang yang di antaranya menawarkan diri kepada saya. Kisah itu akan dikumpulkan dan akan disusun menjadi sebuah buku. Sayapun setuju untuk membahas lebih lanjut,” ujar KRA Panembahan Didik.
“Kramaleya” dihadirkan sebagai “ontran-ontran” tindak kejahatan di tengah peperangan dalam pentas wayang kulit yang disajikan Ki Anom Suroto, sebagai penambah bobot peristiwa perang. Aksi kejahatan yang diberi judul “jathilan Kramaleya” divisualkan dengan aksi perampokan Kramaleya sedang disergap dan gaduh, tetapi ulahnya malah “jejogetan” lucu mirip kesenian “jathilan”.
Dalam sesi sisipan itu, aksi heroik Mbah Glongsor tidak dimunculkan secara jelas, tetapi hanya diperlihatkan para perampok dikejar-kejar dan digebugi oleh para tokoh “prajurit rucah” atau para tokoh Panakawan, Semar, Gateng, Petruk dan Bagong. Tetapi penyajian seperti ini sangat bisa dimaklumi, karena ada penafsiran berbeda dari banyak sisi positif dari kisah itu.
Hal yang perlu dimaklumi itu, karena rata-rata para seniman sudah apriori bahkan anti terhadap kebesaran dan kemegahan Mataram Islam dan kesenian yang berbasis budaya Jawa. Kisah Kediri, Majapahit hingga 200 tahun Mataram Surakarta dijungkir-balikkan serba negatif, karena para seniman pelakunya sudah “keracunan” berbagai anasir asing, termasuk komunis. (Won Poerwono-bersambung/i1)