Jadi Monumen Peradaban Bangsa dan Layak Dilindungi UU Cagar Budaya
IMNEWS.ID – DENGAN melihat teladan yang sudah sering dicontohkan GKR Wandansari Koes Moertiyah, Pangarsa Lembaga Dewan Adat yang mendapat penghargaan The Fukuoka Culture Prize Award dari Jepang di tahun 2012 itu, tentu menjadi contoh jelas dan tegas mengedukasi kalangan masyarakat adat dan warga peradaban secara luas.
Edukasi tentang bagaimana generasi masyarakat adat dan warga perdaban luas sekarang dan generasi di masa mendatang, untuk bersikap, mengambil cara pandang dan berbuat nyata terhadap realitas adanya makam para leluhurnya, terutama para tokoh dari Dinasti Mataram yang punya kaliber tokoh bangsa/negara bahkan dunia.
Walaupun, wujud fisik bangunan pusara atau nisan makam tokoh-tokohnya, di luar dugaan kemudian diketahui punya nama “ganda”, sebagai “side effect” dari sebuah kebijakan yang diambil pihak pemilik otoritas, dalam situasi dan kondisi umum yang sedang tidak baik-baik saja seperti pasca-17 Agustus 1945, misalnya.
Melihat contoh-contoh teladan, realitas sikap akomodatif masyarakat yang selama ini menjunjung tinggi adab budaya Jawa, sikap rasional dalam tujuan penghormatan dan pemuliaan serta niat berbhakti untuk “mikul dhuwur, mendhem jero” ketokohan para leluhur itu, rasanya tak perlu ada masalah dengan adanya “makam ganda”.
Tetapi memang, di zaman apa saja selalu muncul oknum-oknum yang ingin berspekulasi dari peluang apa saja, misalnya merekayasa adanya makam tokoh tertentu yang mirip dengan yang sudah ada, apalagi di lokasi yang berdekatan. Ketua Pakasa Cabang Pati, KRAT Mulyadi Puspopustoko mendeteksi adanya fenomena itu.
Adanya kesengajaan merekayasa “makam ganda” seperti ini, menurut Ketua Pakasa Cabang Jepara, KRA Bambang S Adiningrat perlu menjadi perhatian bersama, khususnya masyarakat adat. Menurutnya, kraton punya data soal itu sebagai salah satu cara mengurangi munculnya fenomena itu, tetapi perlu dukungan berbagai pihak.
Dukungan berbagai pihak itu, di antaranya adalah instrumen kelembagaan di Pemkab masing-masing daerah yang punya kewenangan di bidang perlindungan kawasan/bangunan/benada cagar budaya atau peninggalan sejarah. Karena sudah ada UU Cagar Budaya No 11/2010, sebagai landasan hukum untuk memberikan perlindungan.
Ketika sudah sampai pada tahap tersedianya perangkat perlindungan sekaligus perangkat hukum untuk proses penyelesaiannya ketika ada kasus tindak kejahatan terhadap objek kawasan/bangunan/benda cagar budaya, maka makam para tokoh leluhur Dinasti Mataram di manapun lokasinya, jelas termasuk objek yang dilindungi.
Sekalipun ada fenomena “makam ganda” atau dengan tegas disebut sebagai petilasan, kalau itu memiliki nilai sejarah purbakala yang berada di suatu kawasan dan di dalam sebuah bangunan kuno di atas 50 tahun usianya, jelas juga menjadi objek yang dilindungi negara berdasarkan UU No 11/2010 itu.
Dengan mengacu berbagai unsur dan aspek perlindungan dan kegiatan ritual yang punya unsur rasional dalam hal sarana dan tujuannya, maka adanya fenomena “makam ganda”, petilasan dan kemiripan nama tokoh leluhur khususnya Dinasti Mataram, sudah jelas dan tegas tidak ada persoalan dan tidak perlu ada yang dipersoalkan.
Dan berangkat dari keyakinan atas adanya kemanan, kenyamanan dan perlindungan hukum itu, seharusnya bisa meningkatkan semangat warga peradaban secara luas, khususnya masyarakat adat untuk peduli dan rajin merawat peninggalan para tokoh leluhur Dinasti Mataram, walau tinggal berupa makam dan petilasannya.
Bahkan, dengan mengingat jasa-jasanya terhadap peradaban dan kehidupan makro maupun mikro, makam atau petilasan para tokoh leluhur Dinasti Mataram itu sangat layak dimuliakan secara monumental. Monumentasi di titik lokasi makam atau petilasannya itu, akan memberi banyak manfaat bagi kehidupan secara luas.
Monumentasi peninggalan leluhur Dinasti Mataram yang sudah terwujud dan menjadi ikon kebanggaan masyarakat Kabupaten Kudus, adalah bangunan menara yang berada satu kompleks kawasan cagar budaya dengan makam Sunan Kudus dan masjidnya. Kawasan itu menjadi objek vital sekaligus taman kota yang indah dan membanggakan.
Patung Sinuhun PB VI yang dibangun bersama sebuah taman di persimpangan Jalan PB VI di kawasan wisata Selo, Kabupaten Boyolali, juga menjadi monumentasi nyata dari petilasan dan jejak peninggalan Raja Mataram Surakarta itu. Terlebih, ayah Sinuhun PB IX itu sudah lama berstatus sebagai Pahlawan Nasional.
Cara-cara penghormatan dan pemuliaan seperti inilah cermin sikap generasi bangsa yang punya etika dan bermartabat. Sikap, cara pandang dan perbuatan nyata seperti dicontohkan Pemkab Boyolali itu, patut diteladani pihak-pihak lain dan khalayak luas peradaban kini dan kelak sepanjang masa.
Karena, masih banyak tokoh leluhur Dinasti Mataram yang makam serta petilasannya tersebar di berbagai wilayah yang luas, bahkan lintas provinsi. Misalnya, kawasan makam Bathara Katong, makam Kyai Ageng Muhammad Besari dan makam Eyang Jayengrono yang semuanya berada di wilayah Kabupaten Ponorogo.
Nama tokoh Batahara Katong, Bupati pertama sekaligus pendiri Kabupaten Ponorogo itu punya kemiripan dengan Kyai Ageng Katong yang ada di Kabupaten Pati. Memonumentasi makam para tokoh di Pati yang tergolong paling banyak di antara kabupaten lain, sepertinya sangat layak dan tepat sekali, setidaknya bagi warga Pati.
Memuliakan dengan perlindungan penuh secara monumental makam Bupati pertama sekaligus pendiri Kabupaten Jepara, Ratu Kalinyamat, juga sangat urgen. Jasa-jasa tokoh seperti ini, jelas lebih layak bila dibandingkan monumen atau patung tokoh “pahlawan nasional”, yang bertebaran menghiasi kota-kota besar di Tanah Air.
Padahal, masih banyak makam tokoh leluhur Dinasti Mataram yang tersebar di berbagai daerah, tetapi kurang terawat karena masyarakat di lingkungannya tidak peduli. Atau mungkin aparat Pemkabnya masih “perlu diedukasi” tentang sejarah berdirinya kabupaten, juga tokoh-tokoh sejarah yang berjasa mendirikannya.
Sebut saja makam Pangeran Benawa II yang ada di Kabupaten Pemalang, makam Ki Ageng Penjawi yang ada di Kabupaten Pati, makam atau petilasan Ki Ageng Penjawi yang disebut KRAT Eko Budi Tirtonagoro (Ketua Pakasa Cabang Banjarnegara) ada di Desa Kebanaran, Kecamatan Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara.
Menurut KRA Subagyo Teguh Wirotaruno (Ketua Pakasa Cabang Tegal), di Kabupaten Pemalang juga ada makam tokoh leluhur Dinasti Mataram yang perlu segera mendapat perhatian berbagai pihak. Juga petilasan Sinuhun Amangkurat Agung di Desa Ciroyom, Kabupaten Banyumas, perlu segera segera mendapat perlindungan selayaknya. (Won Poerwono-bersambung/i1).