Semangat Nasionalisme yang Lahir dari Tatacara Pelantikan di Lingkungan Masyarakat Adat
IMNEWS.ID – PEMANDANGAN yang sedikit berbeda dari tatacara dan format upacara ketika berlangsung pelantikan dan penetapan pengurus Pakasa Cabang Ngawi, belum lama ini (iMNews.id, 4/1/2024), tentu ada beberapa peristiwa serupa yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya di beberapa wilayah berbeda yang menjadi pembandingnya.
Kalau upacara pelantikan yang berlangsung di Pendapa Wedya Graha kompleks Pemkab Ngawi Kamis (4/1) siang itu, tidak diwarnai dengan pelantikan dan penetapan seluruh organ pengurus cabang secara lengkap di atas panggung, ini merupakan hal berbeda dari serangkaian upacara untuk keperluan yang sama di berbagai tempat lain, sebelumnya.
Bahkan, tak hanya pengambilan sumpah dan janji seluruh organ pengurus di panggung, beberapa ucapan sumpah dan janjipun juga sudah disederhanakan. Di Pendapa Wedya Graha itu, tidak terdengar ucapan kesanggupan menjaga keutuhan NKRI dan sebagainya, tetapi juga tidak ada ucapan kesanggupan melestarikan budaya Jawa sekaligus Kraton Mataram Surakarta sebagai sumbernya.
Sumpah dan janji itu sudah disederhanakan dan secara eksplisit ada di dalam pengucapan janji prasetya saat semua wisudawan hendak diwisuda dan harus menjawab pertanyaan yang dilontarkan KRMH Saptonojati, ketika membacakan dasar hukum dan segala konsekuensi yang melekat pada setiap insan yang sudah diwisuda menjadi abdi-dalem melalui kekancingan yang diterimanya.
Janji prasetya bagi abdi-dalem yang notabene anggota Pakasa, harus memenuhi dan mewujudkan “gawa-gawe” apalagi punya “labuh-labet” terhadap pelestarian budaya Jawa dan demi kelangsungan Kraton Mataram Surakarta. Terhadap dua hal yang menjadi konsekuensi melekat pada gelar kekerabatan, sudah dibuktikan dan diwujudkan kalangan abdi-dalem anggota Pakasa Cabang Ngawi.
Hal yang membedadakan lagi, dalam beberapa peristiwa upacara pelantikan pengurus Pakasa cabang, lebih sering disertai dengan serah-terima bendera pataka simbol Pakasa yang tidak tampak di Pendapa Pemkab Ngawi. Serah-terima tongkat kepemimpinan yang bisa berujud pusaka, sangat jarang terjadi tetapi justru menjadi simbol pengukuhan pengurus Pakasa Cabang Ngawi, siang itu.
Pelantikan pengurus Pakasa cabang di wilayah Jateng seperti Kabupaten Demak (2021), Pati (2021) dan Jepara (2021), kemudian di wilayah Jatim Kabupaten Trenggalek (2019) dan Sidoarjo (2020), sangat bervariasi tatacara dan formatnya, tetapi semangat dan sikap nasionalismenya lebih terasa karena selalu terdengar ada ikrar kesanggupan menjaga utuhnya NKRI dan sebagainya.
Variasi tatacara dan format upacara pelantikan yang sangat dinamis itu, tentu menjadi hal yang sangat wajar terjadi, karena organisasi Pakasa yang kini bangkit lagi setelah vakum lama, merupakan Pakasa yang lahir kembali atau “new reborn”. Apalagi, kelahirannya kembali ini berhadapan dengan situasi dan kondisi zaman yang sudah melompat jauh sangat maju dari tahun 1931.
Ketika dilahirkan pada 29 November 1931, mungkin tidak akan terbayangkan jika Pakasa akan berada di tengah-tengah organisasi kemasyarakatan (ormas) yang begitu banyak, terlebih berada di tengah-tengah organisasi partai politik yang bisa saja hidup berdampingan, berseberangan, saling mengkooptasi atau justru bisa “membinasakan” salah satunya.
Sebagai bagian dari organisasi di tingkat Punjer yang berkedududkan di Kraton Mataram Surakarta dan menjadi elemen Lembaga Dewan Adat yang diketuai GKR Wandansari Koes Moertiyah, organisasi Pakasa di tingkat cabang tentu ikut menyesuaikan kultur dan situasi serta kondisi lingkungan kecil hingga besar yang ada di sekelilingnya.
Sebagai Pakasa “new reborn” itulah, kemudian menjadi sangat maklum dan wajar apabila format organisasi, format kepengurusan, tatacara upacara pelantikan dan sebagainya hingga kini masih dalam proses mencari bentuk yang ideal dan tepat sesuai kebutuhan. Karena, organisasi Pakasa hingga sampai cabang, bukan ormas kebanyakan dan bukan organisasi politik.
Pakasa sampai di tingkat cabang, punya komitmen untuk melakukan aktivitas yang tidak keluar dari upaya pelestarian seni budaya Jawa yang bersumber dari kraton, sesuai semboyan yang sudah “diamandemen” sesuai zamannya yaitu “Saraya, Setya dan Rumeksa Budaya Bangsa”. Oleh sebab itu, budaya Jawa yang akan menjadi watak dan warnanya dalam segala hal.
Walau dalam beberapa hal masih terus berproses untuk mencari bentuk yang ideal dan pas, tetapi semangat dan sikap nasionalisme yang sudah lahir dari kalangan masyarakat adat keluarga besar Dinasti Mataram ini sudah menjadi simbol dan salah satu cirikhas Pakasa. Kekuatan semangat ini justru perlu dipertahankan, karena sangat dibutuhkan bangsa saat ini.
Sikap dan semangat nasionalisme rupanya diperlukan lahir kembali di zaman yang sedang di-“create” untuk melupakan, bahkan berusaha “menghapus” jasa-jasa para leluhur Dinasti Mataram ini. Para caleg, capres, cawapres dan calon kepala daerahpun dianjurkan Gusti Moeng untuk kembali mempelajari isi UUD 45, agar ketika menjadi pejabat tidak mengkhianati konstitusi.
Tatacara upacara pelantikan pengurus Pakasa cabang, memang patut menjadi acuan sekaligus teladan organisasi-organisasi lain. Karena, dalam balutan busana adat Jawa yang menyiratkan kepribadian santun, lagu Indonesia Raya bisa lantang berkumandang di situ, ikrar dan janji menjaga keutuhan NKRI, UUD 45, Pancasila dan Kebhinekaan bangsapun tegas diungkapkan. (Won Poerwono-bersambung/i1).