Banyak Leluhur Dinasti Mataram di Sekitar Gunung Muria, Selalu Terjaga Harum Namanya (seri 3-habis)

  • Post author:
  • Post published:October 10, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Banyak Leluhur Dinasti Mataram di Sekitar Gunung Muria, Selalu Terjaga Harum Namanya (seri 3-habis)
SUDAH IDEAL : Kehadiran putra mahkota KGPH Hangabehi di puncak ritual haul wafat Kyai Ageng Ngerang I yang digelar Pakasa Cabang bersama panitia di Astana Pajimatan Desa Trimulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Rabu (4/10), sudah ideal dan tepat. Tetapi harus waspada dari ulah pihak-pihak yang bisa mengeklaim acara itu milik parpol tertentu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Waspada Menjelang Pemilu, Ada yang Memanfaatkan Ritual untuk Kepentingan Politik

IMNEWS.ID – POTENSI penyimpangan yang bisa melahirkan stigma negatif dari suburnya semangat masyarakat adat yang menggelar ritual haul di makam para tokoh leluhur Dinasti Mataram, benar sekali seperti yang diungkapkan KRAT Mulyadi Puspopustoko selaku Ketua Pakasa Cabang Pati (iMNews.id, 9/10). Mengingat, jumlah makam para tokoh leluhur itu memang banyak sekali yang berada di wilayah sekitar Gunung Muria. Sementara, kegiatan perziarahan semakin tinggi intensitasnya dan semakin banyak melibatkan orang dari wilayah yang sangat luas, hingga bisa dikemas menjadi komoditas wisata religi yang mendatangkan income semakin banyak.

Berdasar arah perkembangan seperti itu, maka tidak aneh apabila Pakasa Cabang Pati mencatat ada data-data tentang kegiatan warga di wilayahnya yang terkesan mulai “merekayasa” keberadaan makam tokoh, baik sebagai “duplikasi” maupun “tandingan” dari nama tokoh yang sudah ada (Kyai Ageng Ngerang), maupun memunculkan nama baru. “Rekayasa” memunculkan makam yang diduga bertujuan mengundang kunjungan wisata religi untuk menghasilkan “income” di wilayah Kabupaten Pati itu, adalah potensi penyimpangan tersendiri yang perlu diwaspadai masyarakat adat setempat, Pemkab dan publik calon peziarah, apalagi kraton.

SIMBOL ADAT : Makam Kyai Ageng Ngerang di di Astana Pajimatan Desa Trimulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, sudah menjadi simbol adat dan masyarakat adat setempat yang disegani dan dihormati para peziarah dan berbagai pihak, yang sudah tidak memerlukan simbol parpol apapun. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Selain itu, ada potensi penyimpangan lain yang sifatnya situasional karena saat-saat sekarang sudah berada di ujung tahun politik yaitu suasana politik dukung-mendukung menjelang Pemilu dan Pilpres 2024. Karena, massa yang juga menjadi peziarah di berbagai makam yang mengelar ritual haul di daerah-daerah di sekitar Gunung Muria, bahkan di wilayah Jateng bagian utara, bisa disebut sebagian besar warga Nahdliyin. Jumlah besar warga Nahdliyin itu, kini sedang diincar banyak partai politik yang sudah berada di koalisi manapun, yang masing-masing sudah memiliki bakal calon presiden yang pasti akan membutuhkan partisipasi politik terutama warga Nahdliyin.

Dalam posisi seperti itulah, para pengurus dan warga Pakasa cabang terutama yang ada di wilayah tersebut di atas harus waspada, jangan sampai penyelenggaraan ritual haul dan upacara adat religi sejenisnya menjadi ajang “kampanye” atau ajang siasat menggiring dukungan politik bagi tokoh calon legislatif (caleg) atau parpol tertentu hingga merusak esensi upacara adat itu. Dan yang lebih diwaspadi dari kemungkinan ritual haul atau sejenisnya bila dijadikan ajang mencari dukungan, potensi terjadinya perpecahan akan sangat tinggi di tubuh Pakasa cabang, hubungan kekerabatan dan hal-hal ideal lain yang sudah dirasakan selama ini.

RIBUAN ORANG : Lebih lima ribu orang yang hadir dalam ritual haul bersamaan dengan peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW di makam Kyai Ageng Ngerang I di Astana Pajimatan Desa Trimulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Rabu (4/10), adalah kekuatan besar yang tepat untuk melegitimasi ritual, Pakasa cabang, budaya Jawa dan raton, tetapi bukan untuk parpol. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Peristiwa haul atau peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW di makam Kyai Ageng Butuh di Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen, beberapa waktu lalu bisa menjadi pelajaran yang baik bagi banyak pihak terutama kalangan Pakasa Cabang  secara umum, termasuk juga Kraton Mataram Surakarta. Karena perhelatan upacara adat religi itu nyaris menjadi korban penyimpangan oleh beberapa “oknum petualang”, yang akan menjadikan acara itu untuk berbagai tujuan menyimpang, di antaranya mencari keutungan ekonomis, klaim organisasi dan potensi “dijual” kepada caleg dari parpol tertentu.

“Saya mencium gelagat beraroma penyimpangan itu, sehingga saya menolak ajakan beberapa oknum pengurus Pakasa. Sedianya saya diminta untuk menjadi narasumber agar memberi paparan edukasi tentang sejarah Kabupaten Sragen yang berhubungan dengan Kraton Mataram Surakarta. Saya menolak, karena acara itu adalah haul atau peringatan Maulud Nabi SAW yang diadakan masyarakat adat setempat. Kalau saya mau diajak masuk ke situ, berarti ‘kan saya diajak membonceng. Itu sangat tidak baik. Tidak etis. Apalagi disebutkan, akan dihadirkan tokoh caleg dan pejabat Bupati atau otoritas yang lain di acara itu. Ini sungguh tidak etis”.

TAK MAU DIGIRING : Meski bersedia menggelar lakon “Babad Sukowati” dan jerih-payahnya menjadi dalang penyaji di Desa Dukuh, Kecamatan Tangen, tidak perlu dihargai dengan rupiah, tetapi bukan berarti Ki Dr Purwadi mau diklaim menjadi bagian acara parpol tertentu untuk tujuan politik tertentu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Penegasan itu disampaikan Dr Purwadi, seorang peneliti sejarah yang juga Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara (Lokantara) Pusat di Jogja, saat dimintai konfirmasi iMNews.id, kemarin. “Lolos” dari acara di makam Kyai Ageng Butuh yang juga makam Kyai Ageng Ngerang II itu, penulis lebih dari 100 judul buku tentang khasanah budaya Jawa dan sejarah Mataram itu “terjebak” di sebuah acara yang digelar Pakasa Anak Cabang Tangen, Cabang Kabupaten Sragen, Jumat (6/10). Dengan tema penampilan yag hampir sama, dia hadir menjadi “bintang tamu” pada acara yang sudah “diskenario” ada seorang caleg menyerahkan sumbangan uang.

“Kalau yang di Tangen itu, saya benar-benar seperti terjebak. Tetapi sebenarnya enggak masalah, kalau tidak disertai kata-kata yang seolah-olah sudah rela berkorban untuk mencukupi segala kebutuhan pementasan saya dan yang lain. Beruntung ada acara pelantikan/penatapan pengurus Pakasa Cabang Madiun Raya, yang bisa mengartikulasi acara yang sebenarnya milik Pakasa Anak Cabang Tangen, yang lebih banyak merepotkan tuan rumah itu (KRT Simin Atmosukarto Hadinagoro-Red) itu,” jelas Dr Purwadi  yang juga warga Pakasa Cabang Jogja itu.

JADI PENYELAMAT : Proses pelantikan/penetapan pengurus Pakasa Cabang Madiun Raya yang dilakukan Pangarsa Pakasa Punjer di acara “Tangen Bershalawat” dan syukuran seorang warga Pakasa anak cabang di Desa Dukuh, Kecamatan Tangen, belum lama ini, menjadi penyelamat karena malam menjadi inti acara yang terkesan diarahkan oleh pihak tertentu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kewaspadaan kalangan masyarakat adat Pakasa cabang di berbagai kota/kabupaten di beberapa provinsi, perlu ditingkatkan menjelang Pemilu dan Piplres 2024. Karena, organisasi yang utamanya bergerak di bidang seni budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta ini, harus tetap solid dan kuat ikatan kekerabatan serta silaturahminya, meskipun kalangan anggotanya juga menjadi kader atau anggota sejumlah parpol berbeda. Kewaspadaan perlu ditingkatkan bukan hanya menyangkut pribadi/kelompok orangnya, tetapi juga aktivitas-aktivitas seni budayanya harus diupayakan steril dari anasir-anasir politik.

Pakasa-pakasa cabang di wilayah selatan pula Jawa seperti Kabupaten Klaten, memang belum pernah populer dengan gelar haul tokoh leluhur Dinasti Mataram yang ada di wilayahnya. Selain pasif atau tidak berdaya menginisiasi masyarakat adat di sekitar makam, misalnya makam Kyai Ageng Gribig di Jatinom, juga terkesan malah sering menjadi “tunggangan” parpol tertentu dalam kegiatan-kegiatan yang kurang legitimatif. Kegiatan membangun Taman Batas Kraton, misalnya, bahkan bisa kontraproduktif, baik bagi Pakasa cabang setempat maupun bagi Kraton Mataram Surakarta sebagai tempat induk organisasi Pakasa.(Won Poerwono-habis/i1).