Ada Nama Lima Tokoh Mataram yang Selalu “Digoreng” Jadi Propaganda Hitam
IMNEWS.ID – RAJA Mataram ke-3 Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645) yang memiliki kapasitas penuh di berbagai bidang dalam kepemimpinannya, memang sudah sangat pantas mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional. Kecerdasan dan kehebatannya dalam menyusun strategi perang, disebut Kyai Ahmad Muwafiq (iMNews.id, 31/8) menginspirasi masyarakat adat di berbagai wilayah di Nusantara, untuk mengusir “penjajah”. Tetapi khusus saat menghadapi VOC dan Portugis di Pelabuhan Sunda Kelapa, ada kajian yang lebih masuk akal menyebut, Sultan Agung sangat mungkin hanya melakukan “penertiban”, bukan berperang.
“Untuk sampai ke Pelabuhan Sunda Kelapa, harus melewati wilayah Cirebon dan wilayah kedaulatan Banten yang waktu itu masih aktif dan kuat. Kesultanan di Cirebon dan di Banten tentu bisa tersinggung kalau Sultan Agung memasuki wilayahnya untuk sampai ke Sunda Kelapa, dengan alasan apapun. Jadi, tidak masuk akal kalau Sultan Agung jauh-jauh datang ke Sunda Kelapa untuk menghadang saudagar para asing itu. Apalagi disebut kalah perang. Kalau semacam ada (kerjasama-Red) penugasan dari para pemilik wilayah untuk menertibkan kedatangan para saudagar, itu bisa diterima akal sehat. Jadi, tidak ada perang,” tegas Dr Purwadi.
“Pembelaan” yang dilakukan Kyai Ahmad Muwafiq melalui bidang dan kapasitasnya, tentu akan menjadi lebih lengkap ketika gabung dengan hasil penelitian dan kajian yang dilakukan Dr Purwadi, seorang peneliti sejarah dari Lembaga Olah Kajian Nusantara(Lokantara) Pusat di Jogja, yang sekaligus sebagai ketuanya. Saat diwawancarai iMNews.id secara terpisah, tadi pagi, dia menyebutkan tidak hanya Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma yang telah disimpangkan fakta perjalanan sejarahnya, tetapi ada 4 nama tokoh Mataram lain yang mendapat stigma negatif dari pihak-pihak tertentu yang sengaja ingin “membusukkan” nama Mataram.
Keraguan Kyai Muwafiq terhadap “kebencian yang memuncak” antara Mataram (Panembahan Senapati) dan Pajang (Pangeran Benawa I) serta peristiwa peperangan antara Sultan Agung dan pasukannya dengan para saudagar asing di Sunda Kelapa, karena ada pihak-pihak yang sengaja “menggoreng” informasi tentang fakta sejarah agar terkesan jahat, buruk dan gampang “dibelandakan” atau diberi “label Belanda”. Ketika sudah bercitra buruk, berstigma negatif, dituduh jahat, lalu mudah sekali digeser masuk ke “label Belanda”, dan kalau sudah masuk kategori “warisan Belanda”, sangat mudah dinasionalisasi atau diambil-alih.
“Jadi, selama ini Sultan Agung selalu dikesankan kalah perang. Ada fiksi besar dalam peristiwa yang disebut perang Sultan Agung di Pelabuhan Sunda Kelapa itu. Karena, kebesaran Sultan Agung bukan di situ (Sunda Kelapa). Melainkan di pelabuhan-pelabuhan dan pesisir utara (pantura) sepanjang Jawa Tengah hingga Jawa Timur, yang menjadi pintu keluar-masuk barang ekspor-impor para pengusaha pribumi. Berbagai kapasitas pribadi dalam kepemimpinannya yang bermanfaat bagi peradaban, sangat sedikit diungkap sebagai edukasi publik,” jelas anggota Pakasa Cabang Jogja itu.
Selain Sultan Agung, informasi stigma buruk dan jahat yang digoreng menjadi berita hoax lainnya, adalah ketokohan Raja Mataram pertama, Panembahan Senapati yang selalu digembar-gemborkan sebagai pembunuh Ki Ageng Mangir Wanabaya. Inilah yang termasuk dikritisi Kyai Ahmad Muwafiq, sebagai “propaganda” untuk membunuh karakter Mataram dan para tokohnya, yang selalu digembar-gemborkan melalui siaran drama ketoprak dan seni pertunjukan “live” tobong ketoprak di beberapa dekade lalu. Tema itu memang tema klasik yang diangkat dari persoalan keluarga, tetapi tak berakhir dengan berita manis sebagai solusinya.
Sebagai propaganda yang tujuannya memang untuk “membunuh karakter” dan meletakkan stigma negatif dan stampel jahat, peristiwa “perkawinan” yang disebut Kyai Ahmad Muwafiq memang bukan solusi yang jitu dan tuntas. Karena, dalam “case” propaganda ketokohan Panembahan Senapati, justru dikesankan menjadi jembatan untuk membunuh Ki Ageng Mangir Wanabaya. Ini merupakan fiksi besar yang menjadi propaganda di tahun 80-90-an, karena selalu diangkat menjadi lakon tobong ketoprak, siaran radio tonil ketoprak dan pentas-pentas drama di lingkungan lembaga pemerintah, misalnya TBS.
Dalam kajian Dr Purwadi, tema-tema kisah keluarga kraton terutama sejarah Mataram yang menjadi lakon ketoprak, sepanjang pengamatannya banyak dilakukan grup-grup ketoprak di wilayah Jogja dan Surakarta, bahkan khusus “case” Panembahan Senapati, banyak digarap dan didukung para seniman di Kabupaten Klaten yang berdekatan dengan Jogja. Jadi, sulit sekali disebut kebetulan, kalau di awal kemerdekaan ada semacam gerakan anti “swapraja” dan anti “feodalisme” yang memuncak pada anti Provinsi Daerah Istimewa Surakarta (DIS) di tahun 1946, yang banyak melibatkan para petani dan seniman di Kabupaten Klaten.
Berikutnya adalah propaganda jahat bahwa Raja Mataram ke-4 yaitu Sinuhun Amangkurat Agung telah membunuh ribuan santri dan ulama di sekitar wilayah Tegal. Propaganda yang menggoreng nama besar penerus Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma itu, menjadi berita hoax penuh kebohongan untuk melukiskan tokoh yang dimakamkan di Astana Pajimatan Tegalarum, Slawi/Tegal itu adalah sosok raja yang jahat, keji. Propaganda hitam itu mencuat ketika di awal republik, karena kekuatan oposisi berkolaborasi dengan PKI, sementara Kraton Mataram Surakarta menjadi modal utama yang menyokong berdirinya NKRI.
Kemudian ketokohan Sinuhun PB II, yang selalu dipropagandakan negatif karena pro-Belanda dan yang kemudian diakhiri dengan Perjanjian Giyanti “sebagai solusinya”. Yang terakhir adalah propaganda hitam untuk Sinuhun PB XII yang dituding pro-Belanda, padahal dialah Raja pertama yang menyatakan Kraton Mataram Surakarta mengakui dan mendukung kemerdekaan RI. Di masa lalu, koran/majalah dan radio menjadi media “propaganda hitam”. Kini, teknologi digital (medsos) menjadi media yang lebih mudah untuk “menggoreng” informasi berisi fitnah untuk menghancurkan Mataram dan tokoh-tokohnya, meskipun PKI sudah lama dinyatakan bubar. (Won Poerwono-habis/i1).