Masih Bisa Jadi Faktor Penguat Ketahanan Budaya Nasional
SURAKARTA, iMNews.id – Meskipun masa pandemi Corona sudah “berakhir” dan tidak ada lagi pembatasan mobilitas orang atau kerumunan, tetapi aktivitas seni pertunjukan wayang kulit belum begitu kelihatan kembali bermunculan di tengah masyarakat secara luas. Ada beberapa faktor yang telah “melumpuhkan” kegiatan seni pertunjukan pakeliran tertutama wayang purwa itu selama hingga pascapandemi, salah satunya adalah daya beli masyarakat sangat rendah akibat perekonomian secara umum di Tanah Air belum bisa pulih.
“Banyak sekali faktornya yang terakumulasi selama pandemi (Corona) selama dua tahun. Instansi-instansi pemerintah ‘kan sudah tidak bisa mengeluarkan anggaran untuk nanggap wayang. Para pengusaha juga semakin sedikit yang nanggap wayang. Masyarakat di pedesaan yang biasanya punya nadar nanggap wayang, sekarang juga masih berat karena pandemi. Sementara, ada kalangan masyarakat tertentu yang ‘tidak boleh’ atau ‘pantangan’ nanggap wayang. Bahkan, saya pernah mendengar ada yang mengharamkan pentas wayang kulit,” jelas Dr Purwadi, seorang peneliti sejarah dari Lokantara Pusat (Jogja).
Anggota Pakasa Cabang Jogja yang juga berprofesi sebagai dalang wayang kulit purwa itu banyak mengungkapkan berbagai persoalan seni pedalangan di satu sisi dan karya tatah sungging wayang di sisi lain, dalam beberapa kali diskusi dengan iMNews.id hingga ritual “ngisis wayang” di Kraton Mataram Surakarta, Kamis (29/6) lalu. Kondisi dan situasi riil di lapangan yang melukiskan rendahnya intensitas kegiatan pentas wayang kulit di tengah masyarakat, juga diungkapkan dalang Ki RT Purnomo Carita Adipuro (Surakarta), Ki Medhot Samiyono (Karanganyar) dan sejumlah Ketua Pakasa Cabang dari bebeerapa daerah.
Menurut Dr Purwadi, di masa Orde Baru hingga dekade pertama masa reformasi atau setelah pergantian abad milenium, pentas wayang kulit masih terlihat dan didominasi kantor-kantor instansi pemerintah dari level pusat hingga daerah terutama di Provinsi Jateng, Jatim dan DIY. Salah satu faktornya, karena instansi yang bersangkutan masih bisa mengeluarkan anggaran untuk nanggap wayang kulit, terutama pada saat datang hari-hari besar tertentu, misalnya peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, Hari Jadi Kota atau Kabupaten dan sebagainya.
Namun, lanjutnya, paradigma sosial dan politik berubah sehingga instansi pemerintah tidak mudah mengalokasikan anggaran untuk keperluan naggap wayang, karena harus melalui mekanisme persetujuan di DPRD atau DPR yang juga sudah berubah paradigma pandangannya sehingga mempengaruhi politik anggaran. Selain perubahan itu, selama dua tahun lebih ada pembatasan ketat dalam skala nasional akibat pandemi Corona, telah melumpuhkan sendi-sendi perekonomian yang telah menguras persediaan untuk keperluan komsumtif, tetapi aktivitas secara umum tidak produktif.
Peneliti sejarah yang fokus tentang “Mataram Surakarta” dan penulis ratusan judul buku hasil penelitiannya itu, membenarkan aktivitas pentas wayang kulit di tengah-tengah masyarakat secara luas semakin sempit titik-titik lokasi dan wilayahnya yang gejalanya sudah sangat masif sejak jauh sebelum ada pandemi. Pembatasan akibat pandemi selama dua tahun lebih, telah menambah berat situasi dan kondisi itu, dan kalaupun ada pihak-pihak yang masih bisa nanggap wayang kulit, jumlahnya sangat kecil dan kalangan yang sangat terbatas sekali.
“Situasi dan kondisi itu bersamaan dengan turunnya nama-nama dalang top yang pernah jaya dalam 30-40 tahun yang lalu. Sekarang, pak Manteb (Ki Manteb Soedarsono-Red) sudah tidak ada. Ki Enthus (Enthus Susmono-Red) dan Ki Seno Nugroho juga sudah tidak ada. Ki Anom (Anom Suroto-Red), sudah lama tidak aktif karena sakit. Ki Purbo Asmoro, Ki Warseno Slenk, Ki Bayuaji (anak Ki Anom-Red) dan Ki Wijo Kangko masih beredar. Kebanyakan sudah beralih ke medsos, kanal Youtube. Pentas live sudah sangat jarang,” sebut Dr Purwadi.
Saat dihubungi iMNews.id secara terpisah, Ki Gatot Purnomo atau RT Purnomo Carito Adipuro dan Ki Medhot Samiyono, salah seorang anak Ki Manteb Soedarsono (alm) membenarkan situasi dan kondisi tawaran job pentas atau “tanggapan” yang sudah sangat jarang datang kepadanya sampai selepas pandemi ini. Tetapi, keduanya menyebutkan masih ada masyarakat yang punya nadar untuk naggap wayang sebagai tradisi di lingkungan keluarganya, yaitu keperluan mantu, juga masih adanya ritual “Bersih Desa” atau “Sedekah Bumi”.
“Ya memang sudah jauh sekali dibanding sebelum ada pandemi. Dulu sebulan ada 2-3 tanggapan. Selama pandemi, jelas tidak ada. Setelah pandemi, sejak Januari sampai sekarang ya sudah 2 kali tanggapan. Yang jelas, bukan hanya masyarakat yang akan nanggap wayang yang tidak berdaya atau rendah daya belinya. Banyak teman-teman dalang yang bangkrut. Peralatannya pentas pada dijual satu persatu. Ya wayangnya, ya gamelannya, apa saja. Kalau yang masih punya tabungan dan usaha sampingan, ya masih bisa makan,” jelas Ki Medhot Samiyono yang memakai kata “Oye” milik ayahnya di belakang namanya.
Situasi dan kondisi yang kurang lebih sama diakui Ki RT Purnomo Carito Adipuro, yang merasa “terhibur” karena punya kegiatan membimbing dalang-dalang bocah di sanggar pedalangan miliknya yang bernama “Sanggar Sekar Mas” di Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres. Dalang kelahiran Kabupaten Klaten yang sejak 15 tahun lalu menetap tinggal di wilayah Kelurahan Mojosongo itu mengaku terakhir mendapat job pentas wayang kulit dari Dinas kebudayaan Kota Surakarta, untuk peringatan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni lalu di halaman Balai Kota Surakarta. (won-i1)