Gusti Moeng Khawatirkan Nasib Kraton Surakarta ke Depan
SURAKARTA, iMNews.id – Kalau di antara keluarga besar keturunan Sinuhun PB XII dan warga perdaban secara luas termasuk di antara masyarakat adat sudah tidak peduli dengan nasib Kraton Mataram Surakarta, kini dan yang akan datang, itu sangat jelas bertolak-belakang dengan ungkapan Gusti Moeng saat memberi smabutan di Bangsal Smarakata, Sabtu malam (13/5). Disaksikan lebih dari 90 wisudawan bersama keluarganya, para kerabat keturunan Sinuhun PB XII yang berada dalam “bebadan Kabinet 2004”, Gusti Moeng mengungkapkan kekhawatirannya terhadap nasib kraton ke depan.
“Setelah enam tahun saya berada di luar, sekarang berdiri di sini rasanya kok, bagaimana ya….? Karena, kalau ada acara seperti ini, di situ mbakyu-mbakyu duduk jejer. Tetapi sekarang sudah tidak ada. Saya tinggal sendirian. Saya hanya ingin mengatakan, bagaimanapun kraton harus ada gusti-gusti atau putra/putri-dalem yang mengurusi segala pekerjaan yang menjadi tugas, kewajiban dan tanggung-jawabnya. Enggak mungkin ada kraton tetapi tidak ada keluarga inti (jumeneng nata-Red) yang mengelolanya,” tunjuk Ketua Yayasan Pawiyatan Kabudayan Kraton Mataram Surakarta itu.
Dalam kesempatan memberi pidato sambutan perdana setelah dirinya bisa kembali bekerja di dalam, sejak peristiwa 17 Desember 2022 atau “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton”, Sabtu malam itu dia meminta waktu sebentar untuk mengungkapkan isi hatinya. Dan hal yang sangat penting serta memerlukan perhatian bersama, adalah tentang nasib kraton ke depan yang menurutnya sangat mekhawatirkan kelangsungannya, kalau situasi dan kondisinya masih tetap seperti sekarang.
Dalam satu sisi, menurut Gusti Moeng harus ada solusi agar kraton dengan isi dan aset-asetnya baik yang “tangable” maupun “intangable” ke depan tetap bisa terpelihara dengan baik. Solusi soal keberadaan keluarga yang jumeneng nata ini disebutkan menjadi tanggung-jawab putra mahkota tertua KGPH Hangabehi. Sedangkan para sentana, abdi-dalem dan kawula-dalem yang ikut bekerja dalam konteks pelestarian budaya Jawa yang bersumber dari kraton, menjadi persoalan yang berkait dan solusinya sudah bisa diatasi antara lain sejak berdirinya Sanggar Pasinaon Pambiwara, tahun 1993.
“La, kalau kraton kosong gimana…? Ada rajanya, kalau tidak ada gusti-gusti yang mengurusi pekerjaan di dalam bagaimana…? Ada kraton kalau tidak ada kawulanya terus gimana…? Ini yang akhir-akhir ini menjadi pemikiran saya. Ini yang sangat saya khawatirkan, karena menyangkut nasib kraton ke depan. Intinya, salah satu solusinya ya ada pada Kanjeng Gusti (KGPH) Hangabehi itu. Harus mau menjadi ‘pejantan’. Dulu, banyak wanita berlomba-lomba menjadi garwa-dalem, karena harapannya bisa menurunkan calon raja,” sebut Gusti Moeng yang terus menggoda dalam gaya kelakarnya.
“Setuju napa mboten….? Setuju napa setuju….? La yen mboten setuju terus pripun nasibe kraton. Gusti-gusti kados mbakyu-mbakyu kula rumiyin niku kedah wonten. Amargi kedah wonten ingkang nggula-wenthah aset-aset seni budaya isinipun kraton. Ugi upacara-upacara adat ingkang kedah mlampah wonten kraton, mbetahaken tuladha saking gusti-gusti menika. Nanging, suwita wonten kraton, nomer setunggal kedah tresna dhateng budaya Jawa. Cinta terhadap budaya. Dasarnya harus itu dulu. Kados wisudan lulusan sanggar dalu menika, dasaripun kedah tresna rumiyin dhumateng budaya.”
Dalam pidato sambutan Gusti Moeng baik selaku ketua yayasan, Pengageng Sasana Wilapa maupun Ketua Lembaga Dewan Adat yang sesekali diselipi Bahasa Indonesia, juga menyinggung hal yang ditegaskan KPH Raditya Lintang sasangka selaku Ketua Sanggar Pasinaon Pambiwara. Gusti Moeng sangat setuju, para siswa Sanggar Pasinaon Pambiwara tidak perlu berharap akan mendapat gelar, pangkat dan sesebutan atau gelar kekerabatan dari kraton, karena antara pasinaon secara kelembagaan dengan posisi kekerabatan yang terwadahi dalam Pakasa, sangat beda urusannya dan tidak ada hubungannya.
“Melalui kesempatan ini saya ingin menyampaikan, bahwa Sanggar Pasinaon Pambiwara tidak ada hubungannya dengan permintaan atau pemberian pangkat, gelar dan sesebutan. Jadi, jangan berharap, ketika sudah menjadi siswa sanggar sekaligus akan mendapatkan itu. Itu salah besar. Karena tidak demikian. Semua ada prosedurnya. Tetapi memang, kalau ada siswa lalu juga meminta gelar, prosesnya akan sangat lama. Karena harus dimulai dari yang paling bawah. Pangkatnya Lurah. Tetapi proses belajar di sanggar bukan untuk itu,” tegas KPH Raditya Lintang Sasangka.
Menurut Ketua Sanggar Pasinaon Pambiwara yang hampir semua pidatonya disampaikan dalam Bahasa Jawa “krama inggil” itu, kalau ada siswa yang mengajukan gelar melalui lembaga sanggar dan kalau dimungkinkan yang bisa diberikan mulai dari pangkat “Lurah” (Mas Lurah-Red), dia meyakini tidak akan mau. Tetapi sebaliknya, prosedur permohonan gelar, pangkat dan sesebutan yang prosesnya tidak dilengkapi dengan belajar meninctai dan memahami budaya Jawa lewat Sanggar Pasinaon Pambiwara terlebih dahulu, dianggapnya terkesan tumpang-tindih.
“Kalau melalui di luar Sanggar Pasinaon Pambiwara, bisa langsung Raden Tumenggung (RT) atau malah Kanjeng Raden Tumenggung (KRT), itu ‘kan tanpa melalui proses yang seharusnya dilakukan. Jadi, tidak tiba-tiba seperti itu. Ke depan, selama belajar di sanggar, tidak dibenarkan meminta itu. Saya juga menyarankan, agar pamong sanggar tidak merangkap jabatan sebagai pamong Pakasa. Jangan sampai tumpang-tindih. Kemudian yang juga penting saya tegaskan di sini , bahwa sanggar tidak pernah minta pisungsung (hadiah-Red) dari para siswa,” tandas dosen pascasarjana di FEB UNS itu.
Sementara itu, upacara wisuda lulusan sanggar pasinaon “perdana” atau “kali pertama” Sabtu malam (13/5) itu terkesan bersukacita dan penuh canda-tawa seperti yang seluruh Gusti Moeng dan KPH Lintang saat berpidato. Ada 94 yang diwisuda, terdiri dari lulusan sanggar pusat di kraton angkatan ke-39, Semarang ke-27, Blitar (Jatim) ke-22 dan cabang Malang ke-8 dari lebih 100 siswa. Malam itu. “Babaran” lama ditutup, sekaligus dibuka “Babaran” baru di semua sanggar dan khusus di pusat proses belajar-mengajar, pendadaran (ujian) hingga wisudanya akan berlangsung di dalam kraton.
Seperti diketahui, selama lebih lima tahun sejak April 2017 hingga 17 Desember 2022, proses belajar-mengajar, pendadaran hingga wisuda lulusan Sanggar Pasinaon Pambiwara, tetap berjalan walau “terseok-seok” terutama saat dua tahun lebih dilanda pandemi Corona, antara 2020-2022. Ketiga rangkaian proses berjalannya aktivitas sanggar, juga terpaksa menumpang di rumah GKR Ayu Koes Indriyah, adik kandung Gusti Moeng, di ndalem Kayonan, Baluwarti, yang jauh lebih sempit karena hanya seukuran kompleks ndalem “pangeran putra”.
Melihat jalannya upacara wisuda Sanggar Pasinaon Pambiwara di Kraton Mataram Surakarta, akan sangat jauh berbeda tatacara dan citra visualnya bila dibanding dengan lembaga pendidikan berjenjang resmi milik pemerintah atau lembaga kursus swasta kebanyakan. Karena, tampak sekali pengetahuan nilai-nilai budaya Jawa nyaris lengkap diajarkan dan dipraktikkan dalam sekilas upacara wisuda Sabtu malam itu, terlebih lokasinya di Bangsal Smarakata, bagian dari kraton yang notabene sumbernya budaya Jawa.
Pemandangan yang tampak sejak pukul 19.00 WIB, lantai Bangsal Smarakata itu hanya untuk duduk lesehan para wisudawan dan para pengrawit yang menyajikan orkestra karawitan secara “live” sebagai iringan paduan suara “panembrama” maupun menyajikan gending-gending Jawa secara lepas sebagai hiburan. MC atau juru pambiwara yang dihadirkan tentu sangat meyakinkan, karena mereka adalah bagian dari sanggar pasinaon, memandu acara dari awal hingga akhir, termasuk memberi aba-aba para wisudawan untuk tampil diwisuda, datang dan meninggalkan tempat dengan “laku dhodhok”. (won-i1)