Tetap Penuh Semangat dan Sukacita Bergotong-royong
IMNEWS.ID – UPACARA adat “Malem Selikuran” yang secara perdana digelar Selasa malam (11/4/2023) dalam suasana kembalinya “Bebadan Kabinet 4004” sejak “insiden Gusti Moeng kondur ngedhaton” 17 Desember 2022, memberi banyak pesan terhadap publik secara luas dan kalangan internal masyarakat Mataram Surakarta.
Suasana semangat bergotong-royong dan sukacita kebersamaan lebih terlihat jelas, meski ada beberapa hal tersirat yang bisa saja terlewatkan dari perhatian publik secara luas. Ritual hajad-dalem “tumpeng-sewu” untuk menyambut turunnya “Wahyu Illahi” atau “Lailathul Qadar”, memang punya cirikhas keceriaan penuh warna-warni nyala lentera atau “ting” ditambah “oncor” (obor) yang bisa memberi sensasi tersendiri.
Boleh jadi, peristiwa datangnya ritual hajad-dalem memperingati turunnya Nabi Muhammad SAW dari gunung “Jabal Nur” atau sering disebut “Malam Seribu Bulan” itu, merupakan saat yang ditunggu-tunggu publik secara luas. Yaitu digelar dalam suasana “perdamaian” dan “Bebadan Kabianet 2004” yang dipimpin Gusti Moeng usdah kembali berada di dalam Kraton Mataram Surakarta.
Berikutnya, ritual menyambut “Lailathul Qadar” itu sudah dinanti-nanti khususnya warga masyarakat adat khususnya kalangan anggota Pakasa dari cabang-cabang yang tersebar di berbagai daerah di Provinsi Jateng, Jatim dan DIY. Momentum berkumpulnya warga Pakasa dalam upacara adat jelas memberi kesan mendalam, karena banyak lahir Pakasa cabang baru dan anggota baru.
Selama lima tahun lebih, Pakasa dengan warga barunya merasa belum pernah melihat kraton dan merasakan keceriaan upacara adat, dan pada Selasa malam (11/4/2023) itu mereka bisa menikmati dan merasakannya. Bagi pengurus Pakasa dan para warganya yang sudah ada sebelum 2017, pasti juga sudah sangat rindu untuk bersama-sama mengikuti pisowanan ritual “Malem Selikuran” itu.
Oleh sebab itu, banyak kesan, pesan dan harapan bermunculan dari kalangan pengurus Pakasa cabang saat diwawancarai iMNews.id, baik secara langsung bertemu saat upacara adat berlangsung maupun melalui alat komunikasi yang bisa sewaktu-waktu dihubungi, meski masih di perjalan pulang ke tempat asal maupun ketika sudah sampai di kediaman, hingga tadi malam.
Kesan, pesan dan harapan juga diberikan karena masing-masing warga Pakasa memiliki cara sendiri untuk memaknai pisowanan upacara adat yang memang punya cirikhas sukacita penuh kegembiraan ini. Di antaranya adalah KRAT Sunarso Suro Agul-agul, Ketua II Pakasa Cabang Ponorogo (Jatim) yang “tiba-tiba muncul” mengenakan kostum prajurit Tamtama.
Ketua Paguyuban Reog “Katon Sumirat” Pakasa Ponorogo (Jatim) itu berada di tengah-tengah sembilan bregada prajurit kraton yang menjadi pemandu dan mengawal barisan prosesi kirab hajad-dalem “Malem Selikuran”, Selasa malam (12/4) itu. Dia tampak sudah “luwes” dan benar-benar beradaptasi serta memahami tugas di bidang keprajuritan yang sedang mengawal upacara adat malam itu.
Kalau bisa disebut ada sensasi tersendiri, menjadi “prajurit dadakan” sudah dilakukan KRAT Sunarso Suro Agul-agul sejak pelaksanaan ritual tingalan jumenengan, 16 Februari silam. Sama ketika tampil ikut mengawal hajad-dalem “Malem Selikuran, Selasa malam, dia tampak serius, bersikap sempurna dan “penyamarannya” belum diketahui publik.
“Yang jelas, sudah pernah menyaksikan upacara adat ini. Tetapi belum pernah merasakan menjadi prajurit dalam tugas itu. Ya ada rasa senang, bangga sekaligus puas bisa mengalami sendiri. Ini bisa jadi pengalaman pribadi. Bisa diceritakan kepada anak-cucu,” tutur KRAT Sunarso Suro Agul-agul yang sudah beberapa kali menjadi koordinator lapangan kirab peringatan Hari Jadi Kabupaten Ponorogo itu.
Pengurus Pakasa yang ingin mencoba sensasi “mendadak jadi prajruit”, memang baru KRAT Sunarso. Tetapi malam itu dia tidak datang sendiri, melainkan bersama 22 orang lain dari unsur pengurus dan warga Pakasa yang mengikuti pisowanan dengan mobil. Mereka dipimpin langsung oleh Ketua Pakasa cabang Ponorogo, yaitu KRRA MN Gendut Wreksodiningrat bersama istri, yang kelihatan waktu doa wilujengan “Malem Selikuran” digelar di kagungan-dalem Masjid Agung.
“Sebetulnya, pasti lebih banyak yang akan ikut sowan. Tetapi, memang kebetulan upacaranya bukan pas hari libur. Dan di Ponorogo, cabang juga punya kegiatan yang bersamaan waktunya. Tadinya, yang akan ikut sowan cuma 10 orang, termasuk saya. Sampai menjelang berangkat Selasa siang, menjadi 23 orang. Yang jelas, upacara adat yang penuh sukacita ini perlu didukung pelestariannya,” ajak Ketua Cabang yang masih trah darahdalem Sinuhun PB VI itu, saat dihubungi iMNews.id, pagi tadi.
Kesan bersukacita seperti sifat upacara adat yang disimbolkan pawai “ting” (lentera) warna-warni ini, juga diperlihatkan Rasmaji Projo Susetyo, Anam Setyopuro, Shihab, Huda, Nur Sahid dan Dimas Julianto yang punya sensasi sendiri ketika ikut bergotong-royong memikul “kremun” dan ancak berisi uba-rampe upacara “Tumpeng Sewu”, bersama iring-iringan kirab dari kraton menuju Masjid Agung.
Ketua Pakasa Cabang Jepara, KRA Bambang Setiawan Adiningrat yang dihubungi iMNews.id secara terpisah menyebut, dirinya tidak bisa ikut sowan, tetapi mengutus sejumlah pengurus cabang untuk hadir dalam upacara “Malem Selikuran”. Mengingat hari berlangsungnya “Malem Selikuran” bukan tepat pada hari libur, terlebih Senin (10/4) atau sehari sebelumnya, Pakasa cabang ikut memeriahkan upacara hari jadi Kabupaten Jepara, dia terpaksa minta izin tidak sowan.
“Kami harus berbagi para paraganya. Semua pengurus dan anggota, Senin (10/4) diminta bergabung dalam upacara peringatan Hari Jadi Kabupaten Jepara. Sesuai gawa-gawe dan labuh-labet seperti ikrar Pakasa, kami juga wajib sowan pada ritual hajad-dalem Malem Selikuran. Ada sejumlah pengurus yang ikut memikul kremun dan ancak. Saya tidak bisa sowan, tetapi trenyuh sekali melihat foto-fotonya. Karena, ini yang pertama setelah Gusti Wandan kembali masuk kraton,” ujar KRA Bambang.
Benar sekali, memang ada pemandangan yang tidak biasanya “kremun” dipikul beramai-ramai lebih dari empat orang, dan ancak yang berisi puluhan bungkus nasi “wuduk” diusung lebih dari enam orang, di antaranya mengenakan stelan busana adat yang agak beda. Mereka mengenakan keris dengan posisi “nyanggar” atau menggantung dalam sarung, khas tradisi lokal Jepara.
“Ternyata berat juga ya, walau sudah dipikul lebih empat orang. Tetapi, secara pribadi saya sangat senang, punya pengalaman hidup yang unik dan baru. Sebelumnya tidak pernah saya alami. Ikut mengusung kremun dan ancak pada suasana Malem Selikuran, yang ada hanya rasa senang, bangga dan ada sensasi. Saya belum pernah merasakan sebahagia ini di tempat dan peristiwa lain. Karena, ini saya rasakan di kraton,” ujar Anam Setyopuro dan Rasmaji Projosusetyo bergantian, saat dihampiri iMNews.id, di topengan Masjid Agung, malam itu.
Malam itu, memang cukup banyak pengurus Pakasa cabang yang sowan, meskipun tidak disertai organ inti cabang seperti figur ketua karena berhalangan dan hanya diwakili sejumlah utusannya, seperti Pakasa Cabang Jepara dan Pakasa Karanganyar yang diwakili sejjumlah abdidalem “Semut Ireng” yang ikut mengusung kremun dan ancak uba-rampe hajad-dalem.
Beberapa sensasi yang dialami para utusan Pakasa cabang itu, selain karena faktor pengalaman baru yang dirasakan, juga karena jenis peristiwanya sangat langka, karena terjadi di Kraton Mataram Surakarta yang memang hanya ada di Surakarta, yang berbeda dengan Kadipaten Mangkunegaran atau Kraton Jogja, meski sama-sama anggoat Catur Sagatra, penerus Dinasti Mataram.
Selain peristiwa dan lokasinya, kirab hajad-dalem “Malem Selikuran” yang berjalan kaki sejauh kurang lebih 2 KM mengelilingi lingkar dalam Baluwarti, juga punya sensasi tersendiri. Karena lokasi kirab yang baru dikenal dan barisan peserta kirab yang bercirikhas Mataram Surakarta, karena ada 9 Bregada Prajurit, sentuhan seni hadrah dan Santiswaran, warna-warni “ting” atau lentera simbol “Malam Seribu Bulan” dan sebagainya.
Pengalaman seperti itu, mungkin sudah lebih sekali bagi KRAT Bagiyono Rumeksonagoro selaku Ketua Pakasa Cabang Magelang, yang malam itu datang berlima dari Kabupaten Magelang, ikut pisowanan. Selain di antara mereka ada anggota baru, tentu saja mengikuti kirab “malem Selikuran” adalah hal baru. Apalagi, kepengurusan Pakasa Cabang Magelang, memang baru terbentuk sekitar 4 bulan yang lalu.
“Kula ndherek bangga lo. Raosipun mongkog lan remen, saget ndherek sowan upacara Malem Selikuran. Kirabipun medal saking kraton, menika damel gumun kula sarencang. Ketingal gayeng, amargi kathah ingkang sami ndherek sowan lan ndherek kirab. Kula bangga dados peranganipun upacara adat menika. “Amargi upacara adat kados ngaten menika mboten wonten ing papan utawi kraton sanes,” ujar KRAT Bagiyono.
Ungkapan Ketua Pakasa Kabupaten Magelang itu dibenarkan KRT Nadar Hadinagoro, unsur Dewan Penasihat cabang, yang dihubungi iMNews.id secara terpisah, tadi malam. Dia iktu bersama rombongan lima orang yang dipimpin KRAT Bagiyono, mengikuti ritual hingga selesai di Masjid Agung, bahkan sempat berfoto bersama putra mahkota tertua, KGPH Hangabehi di depan masjid yang dibangun selesai lengkap Sinuhun PB II, III dan IV (1745-1820) itu.
Rasa senang dan sukacita tentu juga dialami KRAT Sukoco, Ketua Pakasa Cabang Nganjuk bersama sejumlah rombongannya, yang mengikuti upacara hingga seluruh rangkaian doa wilujengan “Malem Selikuran” berakhir di Masjid Agung. Dia tampak duduk bersebelahan dengan Ketua Pakasa Trenggalek KRAT Seviola Ananda bersama rombongan masing-masing, tepat di belakang grup karawitan Santiswaran, ketika berlangsung rangkaian doa wilujengan “Malem Selikuran”. (Won Poerwono-bersambung/i1)