BOYOLALI, iMNews.id – Pengageng Sasana Wilapa yang juga Ketua LDA, GKR Wandansari Koes Moertiyah, memimpin rombongan sentana dan abdidalem untuk melakukan tradisi ”nyadran” atau ”nyekar” (ziarah) ke sejumlah makam leluhur Keraton Mataram Surakarta yang ada beberapa desa di kawasan Kecamatan Pengging, Kabupaten Boyolali. Ritual yang selalu diadakan menjelang datangnya bulan puasa/Ramadan Kamis siang ( 18/3) itu, mengunjungi lebih dari 4 kompleks makam yang lokasi desa/kampungnya berbeda, di antaranya makam Pujangga Jawa, Jasadipoera atau Jasadipura (Yosodipuro) I dan II.
Tradisi nyadran bagi keluarga besar penerus Dinasti Mataram di Surakarta Hadiningrat ini, tidak banyak berbeda dengan yang dilakukan masyarakat etnik Jawa kebanyakan. Intinya, sebagai ungkapan rasa hormat dan mengenang jasa-jasa yang telah meninggal, dengan berdoa di makam tokoh bersangkutan, sambil menaburkan aroma wangi bunga (mawar, melati, kanthil/kenanga), sebagai ungkapan untuk memuliakan tokoh-tokoh yang dikenang.
Tetapi ada sedikit berbeda, karena rombongan ”nyadran” dari Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Mataram Surakarta yang dipimpin ketuanya yang akrab disapa Gusti Moeng itu, membawa rombongan berisikan sederekdalem (saudara) di antaranya GKR Retno Dumilah, sentanadalem seperti KRRAP Bambang Kartiko, KRMH Saptonojati dan KPP Wijoyo Adiningrat serta para abdidalem yang membawa beberapa uba-rampe nyadran.
Yang membedakan lagi, nyadran atau nyekar atau ziarah itu disertai doa yang dipimpin KPP Wijoyo Adiningrat bersama beberapa abdidalem ulama untuk sekaligus memimpin tahlil dan dzikir secara singkat. Setelah prosesi doa, tahlil dan dzikir selesai, baru dilakukan tabur bunga atau nyekar sambil berdoa, secara bergantian oleh semua anggota rombongan yang berziarah.
”Meskipun doa, tahlil dan dzikirnya disingkat, tetapi kalau yang kami ‘sowani’ 4-5 tempat kompleks makam yang lokasinya berbeda, ya makan waktu seharian. Meskipun, eyang-eyang yang ‘sumare’ (dimakamkan) di sini, masih dalam satu wilayah kecamatan”.
”Ini memang adat tradisi kami, sebagai contoh dari ‘mikul dhuwur, mendhem jero’ (berbakti). Mereka semua ‘kan leluhur kami. Bahkan leluhur masyarakat adat secara luas. Apalagi ada eyang Pujangga Jawa (Yosodipuro I dan II), yang karyanya telah dipedomani dalam kehidupan publik secara luas,” ujar Gusti Moeng menjawab pertanyaan iMNews.id, tadi siang.
Selama sehari itu, Gusti Moeng menziarahi makam Sri Makurung Handayaningrat, ayah dari Kebo Kanigara, Kebo Kenanga dan Kebo Hamiluhur yang berada dalam satu kompleks makam. Kemudian pindah ke kompleks makam KR Padmanagara, Bupati Pekalongan di zaman Sinuhun Amangkurat Agung.
Eyang Padmanagara, mendapat tugas dari Sinuhun Amangkurat Agung menjadi Bupati Pengging (kini kecamatan), ketika Keraton Mataram pindah di Kartasura (kini kecamatan di Kabupaten Sukoharjo). Di sela-sela ”nyadran”, Gusti Moeng disambut Camat Banyudono dan seorang kepala desanya, untuk diajak meninjau sebuah candi yang sebagian masih berada di dalam tanah, yang dulu lingkungan sekitarnya dijadikan pasar.
Dari kompleks makam Pujangga Jasadipura I dan II, Gusti Moeng mengajak rombongan menziarahi kompleks makam Nyai Ageng Achmad. Namun, sebelum sampai di beberapa kompleks makam diKecamatan Pengging, rombongan nyekar di kompleks makam leluhur Mataram Kartasura, Ki Ageng Nis di Kelurahan Laweyan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta.
Di makam itu, bersemayam GPH Nur Cahyaningrat, salah seorang putradalem Sinuhun PB XII yang masih adik Gusti Moeng tetapi dari lain ibu. Selain Gusti Nur (alm), juga bersamayam KPH Broto Adiningrat, yang merupakan sesama pengikut setia LDA yang telah banyak jasanya dalam ”perjuangan” menegakkan paugeran adat sampai tutup usia pada tahun 2020 di bulan yang berbeda.
Gusti Moeng juga menyatakan, mulai ritual nyadran kali ini LDA baru merasakan ada yang hilang, yaitu figur abdidalem juru suranata yang nyaris habis. Setelah KRT Pujodipuro ”sepuh” meninggal di usia 70-an pada tahun 2018, penggantinya yaitu KRT Pujo Setiyonodipuro juga meninggal di usia 60-an pada awal 2020, kemudian penggantinya lagi yaitu KRT Pujo Hartoyodipuro meninggal di usia 60-an pada akhir 2020.
”Kemarin itu, KPP Wijoyo Adiningrat saya paksa menggantikan untuk memimpin doa. Beliau sentanadalem. Penguasaan ilmu agamanya nyaris tuntas. Tapi karena keperluannya mendesak, ya terpaksa beliau sementara menggantikan. Sebelum ada penggantinya secara definitif, nanti bisa tampil bergiliran dengan figur-figur lain,” jelas Gusti Moeng. (won)