Kesulitan Ekonomi, Pangkal dari Segala Persoalan di Keraton (2-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:February 28, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read

Mengapa Negara Tidak Menyantuni 35 Putra/putri Sinuhun PB XII?

iMNews.id – MUNGKIN saja, istilah santunan, ganti rugi atau apapun istilahnya, belum populer seperti sekarang ini. Mungkin saja belum ada payung hukum atau dasar aturannya. Atau mungkin juga, pemerintah Orde Lama (Orla) belum sempat memikirkan. Kemudian, rezim pemerintahan Orde Baru (Orba) yang berkuasa selama 32 tahun itu, juga ”ogah-ogahan” memikirkan santunan atau apapun, termasuk dasar aturannya.

Begitu berganti ke rezim Reformasi yang sudah berganti beberapa presiden hingga saat ini, ternyata tidak juga terbetik ada kabar tentang munculnya keinginan pemerintah bertanggungjawab untuk mewujudkan santunan/ganti rugi bagi 35 putra/putri Sinuhun Paku Buwono (PB) XII. Tak hanya itu, tentu saja santunan/gantirugi terhadap tujuh putra/putri KGPAA Mangkunagoro VIII.

Sebab, Sinuhun PB XII telah rela mengorbankan salah satu asetnya yang paling berharga, yaitu nasib kehidupan dan penghidupan 35 putra/putrinya, selain hampir semua kedaulatannya, terutama kedaulatan ekonomi.

Tentu saja, sikap dan pengorbanan serupa juga diikuti oleh KGPAA Mangkunagoro VIII, karena ”Pengageng Pura” di Kadipaten Mangkunegaran ini pada posisi yang sama dengan Sinuhun PB XII ketika peristiwa NKRI lahir pada 17 Agustus 1945 yang dituntaskan pada KMB di Denhaag (Belanda) 24-29 November 1949.

Adalah sikap yang aneh dan tidak lazim dalam adat ketimuran, utamanya ketika suasana peradaban Jawa masih kental dan pekat mengikat kehidupan sosial pada masa-masa sekitar 17/8/1945. Aneh dan tidak lazim, bagi seseorang tokoh terhormat seperti Sinuhun PB XII, sudah rela mengorbankan ”sebagian kehormatannya” berupa keluarga besarnya, tetapi sama sekali tidak mendapat perlakuan setimpal oleh pihak yang sudah diberi/diserahi ”sebagian kehormatan” itu.

Kalau adat-istiadat dan norma-norma etika Jawa menyebut ”tepa-slira” yang diadaptasi dalam bahasa Indonesia menjadi tenggang-rasa, peristiwa pengorbanan Sinuhun PB XII dan juga KGPAA Mangkunagoro VIII, seperti sia-sia karena tak berbalas.

Adagium ”tepa-slira” yang biasanya langsung dibalas dengan rasa dan sikap ”ewuh-pekewuh” dengan serangkaian tindakan untuk menebus segala kebaikan yang telah diterima, tetapi agaknya belum pernah dialami Sinuhun PB XII dan KGPAA Mangkunagoro VIII masing-masing beserta keluarga besarnya.

Pakar hukum tata negara Prof Yusril Ihza Mahendra bersama Gusti Moeng dan KPH Edy Wirabhumi
MENJELANG UJI MATERI : Pakar hukum tata negara Prof Yusril Ihza Mahendra bersama Gusti Moeng dan KPH Edy Wirabhumi, saat berkunjung ke Keraton Mataram Surakarta menjelang uji materi UU No 10/1950 di tahun 2012.(foto : iMNews.Id/Won Poerwono)

Seperti ”Gerakan Tutup Mulut”

Begitu proklamasi kemerdekaan selesai dibacakan Soekarno-Hatta pada 17/8/45 ataupun waktu-waktu setelah itu, IMNews.Id memang belum menemukan catatan-catatan penting yang muncul kemudian menyertai bagian akhir kalimat dalam teks proklamasi. Bagian akhir teks proklamasi yang berbunyi”…hal-hal yang mengenai perpindahan kekuasaan, akan diselesaikan dalam tempo sesingkat-singkatnya..”, hingga kini seakan menjadi ruang yang gelap gulita.

Siapapun dan pihak manapun yang berkepentingan, seperti para pakar hukum tata negara yang ahli di bidang proses ketatanegaraan, hingga kini seakan melakukan ”gerakan tutup mulut”, karena terlalu mengecilkan arti ”kepakaran” mereka, kalau disebut ”tidak tahu-menahu” soal proses alih kekuasaan seperti disebut pada kalimat kedua teks proklamasi itu.

Memang, nasib 35 putra/putri Sinuhun PB XII dan 7 putra/putri KGPAA Mangkunagoro VIII terkesan tak ada hubungannya dengan bunyi kalimat terakhir teks proklamasi. Tetapi penulis dari FMIPA UGM, Dr Sri Juari Santosa mempunyai catatan mengenai aset bergerak milik ”nagari” yang disumbangkan sebagai modal kerja pemerintahan republik yang baru berdiri.

Tetapi setidaknya, ”perpindahan kekuasaan” yang kemudian diikuti perpindahan segala aset yang berada dalam kerangka pelepasan kedaulatan ekonomi, tentu bisa dilukiskan aspek kepantasannya, kewajarannya, dan apakah setimpal bila dibandingkan antara pengorbanan Sinuhun PB XII dan KGPAA Mangkunagoro VIII dengan yang ”proses pemelaratan” yang hingga kini masih dialami.

”La wong proses transmigrasi warga Wonogiri yang ‘dibedol-desa’ ke Sitiung dan daerah-daerah transmigran di Sumatera tahun 1970-1980 lalu, ada santunan/gantiruginya. Mosok wilayah nagari Mataram Surakarta dan semua kedaulatannya diserahkan, terutama kedaulatan ekonomi, kok sama sekali tidak ada gantirugi/santunannya?.”

”Di sini ini lo, letak ketidaklazimannya….. Di sini letak keanehannya…Ini tidak wajar, kalau terlalu kasar dikatakan tidak manusiawi. Mosok, negara dan semua kedaulatannya dengan sukarela diserahkan, gantirugi/santunan kok tidak diberikan. Terus mau dikatakan apa?,” ketus KRAT Hendri Rosyad (62) bertanya-tanya sambil terheran-heran, menjawab pertanyaan iMNews.Id, kemarin.

Bangunan Pasar Klewer lama (barat) dan bangunan tambahan (timur)
SERBA GELAP : Bangunan Pasar Klewer lama (barat) dan bangunan tambahan (timur), keberadaannya di situ hingga kini tak jelas statusnya. Bagaimana asal-usulnya sampai sebidang tanah yang merupakan bagian dari kawasan Keraton Mataram Surakarta yang total luasnya 90 hektar itu, hingga kini bahkan serba gelap. (foto : iMNews.Id/Won Poerwono)

Ganti rugi untuk Korban Proyek Jalan Tol

Pemerhati Keraton Mataram Surakarta dan budaya Jawa terutama dari sisi spiritualnya itu teringat dan ingin mencoba membandingkan, sejumlah warga pemilik tanah yang sebagian tanah dan sawahnya terkena proyek jalan tol trans Jawa, mendapatkan penghormatan berupa gantirugi/santunan. Begitu pula sejumlah warga di Kabupaten Tuban yang tanahnya terkena proyek pembangunan kilang minyak Pertamina, mendapatkan kehormatan berlebih, bahkan banyak yang menyebut kaya-raya.

Lalu, bagaimana nasib 35 putra/putri Sinuhun PB XII yang kini tinggal 20-an, karena di antara mereka keburu meninggal satu demisatu , termasuk GPH Nur Cahyaningrat pada bulan Desember 2020. Bagaimana pula nasib 7 putra/putri KGPAA Mangkunagoro VIII, yang kini tinggal 4 orang termasuk KGPAA Mangkunagoro IX.

Dulu, Keraton Mataram Surakarta punya wilayah yang sangat luas, hampir duapertiga pulau Jawa. Dari situlah, tanah-tanah itu banyak disewa Belanda dengan ”Lang Contract” (jangka panjang), yang hasilnya banyak diterima di masa Sinuhun PB X, dan kemudian diwujudkan berbagai bangunan, dan insfrastruktur seperti jalan, perusahaan berikut jaringan rel kereta-api di Jawa, 159 pabrik gula (Dr Purwadi/Lokantara), hutan jati di wilayah nagari (negara) Mataram Surakarta Hadiningrat, sumber air minum (Klaten dan Boyolali), perusahaan listrik dan sebagainya.

Kini, aset-aset ekonomi berikut semua hak-hak pengelolaan dengan segala kedaulatan ekonominya ”sudah diserahkan” Sinuhun PB XII kepada NKRI. Begitu juga, dua pabrik gula (PG Colomadu dan Tasikmadu) milik KGPAA Mangkunagoro VIII sebagai ”hadiah” dari Sinuhun PB X serta kebun teh Kemuning (Karanganyar), adalah bagian dari kedaulatan ekonomi Pura Mangkunegaran yang kemudian berada di tangan NKRI.

”Sepahit apapun, bagian masa lalu yang masih gelap harus dibuka, agar menjadi terang benderang. Pemerintah harus jujur dan terbuka untuk mengatakan yang seharusnya dikatakan/dijelaskan. Agar luka masa lalu, tidak menjadi benih-benih kebencian, dendam dan hubungan yang tidak baik di masa sesudahnya”.

”Generasi anak-cucu bangsa ini jangan diwarisi benih-benih kurang baik. Berikan apa yang menjadi hak rakyat,” ujar KRAT Eko Budiharto Tirtonagoro selaku Ketua Paguyuban Kawula Keraton Surakarta (Pakasa) Cabang Banjarnegara, yang diwawancarai iMNews.Id di tempat terpisah. (Won Poerwono-bersambung)