Jadi Trend Mahal Jasa WO di Kota-kota Besar
iMNews.id – Meski perjalanan budaya (peradaban) Jawa sudah berjalan hampir 500 tahun sejak Keraton Mataram berdiri (1588), hingga kini masyarakat peradaban masih memelihara salah satu cabang seni yang kini menjadi bidang secara khusus, yaitu “paes” atau rias pengantin.
Dan seni paes yang menempatkan wanita sebagai objek utama yang identik dengan estetika idealistik, bersumber dari upaya personifikasi seorang bidadari dari kahyangan yang mewujud pada seorang penari Bedaya Ketawang.
Tentang kecantikan wanita Jawa ini, selama ini memang bersumber dari seni pedalangan yang notabene adalah cabang budaya Jawa. Terlebih ketika menyebut bahwa seni pedalangan itu gaya Surakarta, yang berarti gaya yang merupakan cirikhas baku dari Keraton Mataram Surakarta.
Dari seni pedalangan itu, sosok seorang dalang sering melukiskan keindahan yang ada di dalam lakon yang dikisahkan, apakah itu diambil dari Mahabharata, Ramayana atau sejumlah karya lakon adaptatif yang ditulis para empu di Keraton Mataram Surakarta, bahkan sejak Keraton Mataram masih beribukota di Kartasura.
Cara melukiskan keindahan tempat (keraton dan seisinya), juga tokoh-tokoh atau manusianya terutama wanita, melalui prolog yang disebut “janturan”. Ketika dalang sedang “njatur” itulah, keindahan seorang makhluk wanita dikupas habis, dan lebih sering dipersonifikasikan sebagai seorang bidadari, misalnya Bathari/Dewi Kumaratih, Bathari/Dewi Widawati dan sebagainya.
Namun, masyarakat yang tidak mengenal seni wayang kulit atau seni pakeliran, secara langsung melihat contoh sosok wanita Jawa yang ideal dan penuh keindahan serta anggun itu dari sosok yang diimajinasikan sebagai Kanjeng Ratu Kencanasari atau Kanjeng Ratu Kidul (penguasa laut selatan pulau Jawa).
Bijak dan Penuh Estetika
Imajinasi inilah yang kemudian menginspirasi karena mudah dilihat secara langsung dan nyata, melalui sosok penari Jawa yang memiliki kelengkapan spesifikasi yang secara khusus ada di tarian Bedaya Ketawang. Padahal, Bedaya Ketawang yang penarinya sembilan orang itu, adalah satu-satunya milik Keraton Mataram Surakarta.
Tarian itu muncul saat transisi dari Mataram (lama) Panembahan Senapati ke Mataram (baru) Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, sekitar tahun 1613. Pada masa transisi itulah, citra wanita ”sempurna” Kanjeng Ratu Kencanasari muncul, yang kemudian dilukiskan secara bijak dan penuh estetika ke dalam tarian Bedaya Ketawang.
“La, postur tubuh yang wajahnya dipaes (dirias), kemudian berbusana serta mengenakan berbagai atribut dan aksesoris seperti penari Bedayang Ketawang itu, yang selama ini menjadi panutan masyarakat Jawa. Bahkan lebih luas lagi. Bahwa itu, adalah contoh sosok pengantin wanita Jawa yang ideal dan dijadikan panutan”.
“Sebagai Ketua LDA (Keraton Mataram Surakarta) dan Pengageng Sasana Wilapa, saya tentu harus berterimakasih. Karena masyarakat Jawa, hingga kini masih menjaga dan melestarikan peninggalan leluhur nenek moyang kita,” ucap GKR Wandansari Koes Moertiyah yang akrab disapa Gusti Moeng, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.
Pengantin wanita yang ditiru karena diidolakan masyarakat Jawa itulah, diyakini sebagai jelmaan bidadari. Bahkan banyak yang meyakini, karena para penari Bedaya Ketawang tidak ubahnya seperti Kanjeng Ratu Kencanasari.
Sisi sakral yang selama ini juga masih diyakini masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta, saat penari Bedayang Ketawang yang berjumlah 9 orang itu menjalankan tugas di Pendapa Sasana Sewaka, kedatangan Kanjeng Ratu Kencanasari. Tak hanya jumlah penarinya tampak menjadi 10 orang, tetapi kecantikan dan citra visual kesepuluh penari itu sama persis, “sempurna”.
Almarhum juru penerang budaya Keraton Mataram Surakarta KP Winarno Kusumo semasa hidupnya sering berpesan, boleh-boleh saja masyarakat luas tidak percaya terhadap apa saja tentang keraton yang didengar dan dirasakan, tetapi tidak perlu atau tidak baik kalau “maido” (menyangkal).
Tak Salah Masyarakat Meniru
Dandanan wanita pengantin Jawa gaya Surakarta atau ala penari Bedaya Ketawang, makin digandrungi dan menjadi cita-cita kawula muda di kalangan masyarakat etnik Jawa, bahkan dandanan pengantin “basahan gaya Surakarta” itu makin jadi trend mahal di Jakarta dan kota-kota besar lain. Melihat itu Gusti Moeng tetap melihat banyak sisi positifnya, dan tidak ada salahnya masyarakat meniru hal baik peninggalan nenek-moyangnya.
“Kami tetap memandang banyak nilai positifnya. Itu pertanda, masyarakat masih cinta dan mau melestarikan budaya Jawa. Hal-hal itu justru saya tekankan saat saya bicara di forum seminar tentang busana pengantin gaya Surakarta, beberapa waktu lalu,” jelas mantan anggota DPR RI dua periode (terpisah) yang mendapat penghargaan The Fukuoka Culture Prize Award 2012 di Jepang itu.
Karena pentingnya pelestarian budaya Jawa di bidang tatacara penggunaan simbol-simbol bagi wanita pengantin Jawa, Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Mataram Surakarta bekerja sama dengan DPC Harpi Melati Solo menggelar seminar, awal Desember 2020.
Gusti Moeng, GKR Timoer (anak tertua Sinuhun PB XIII) dan KPH Raditya Lintang Sasangka (sesepuh keraton), menjadi nara sumber dalam seminar itu. Ketiganya berbicara sesuai porsi masing-masing dalam kerangka busana pengantin wanita gaya Keraton Mataram Surakarta.
Sebagai nara sumber berbagai hal tentang adat di keraton, Gusti Moeng menyatakan kalau upacara adat perkawinan di dalam keraton memang beda. Karena, aturan adat secara utuh harus dijalankan, tidak hanya pengantinnya saja yang menggunakan segala atribut sesuai adat, melainkan tatacara semua yang berkait dengan upacara itu harus dijalankan sesuai adat, misalnya motif batik busana antara yang dikenakan anak raja, pangeran dan abdidalem.
“Kalau masyarakat luas yang mau meniru, ya mangga. Bebas. Tetapi, semua yang dikenakan itu ada makna simbolik dan filosofinya. Itu yang menentukan proposionalitas (kesesuaian) pemakainya. Kalau di dalam (keraton), itu sudah berjalan secara adat sejak lama. Hampir semua yang di dalam sudah tahu. Fokusnya kan pengantinnya. Yang lain, bebas saja,” ujar Gusti Moeng.
Sementara, GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani selaku Wakil Pengageng Keputren yang akrab disapa Gusti Timoer, banyak mendapat pertanyaan di antara 300-an peserta seminar. Pertanyaan yang diajukan mengenai munculnya perias lelaki yang berkembang dari usaha jasa salon dan “wedding organizing” (WO), yang dijawab tegas bahwa kehadiran perias lelaki dalam perkawinan adat Jawa sebaiknya dihindari, karena tidak elok dari sisi apapun. (Won Poerwono)