Sanggar Pasinaon Pambiwara Tetap Beraktivitas, Mengisi “Kesepian” Masa Berkabung
SURAKARTA, iMNews.id – Masa berkabung panjang sampai 40 hari, atau bahkan sampai 100 hari sejak Sinuhun PB XIII wafat (iMNews.id, 2/11/2025), sampai Minggu (9/11) ini memasuki hitungan tujuh hari menurut kalender Masehi. Tetapi, menurut perhitungan kalender Jawa sudah memasuki hari kedelapan, karena upacara adat peringatan 7 hari atau “pitungdinanan” sudah digelar keluarga kecil almarhum, Jumat malam (7/11).
Upacara adat “wilujengan pitungdinanan” digelar di Bangsal Parasedya, Jumat malam (7/11) itu dihadiri sekitar 200 orang. Dari forum “wilujengan” itu terdengar kabar, akan ada upacara jumenengan nata. Namun dari kalangan “Bebadan Kabinet 2004” menyebutkan, kebenaran rencana itu perlu dipastikan ke sumbernya, mengingat jajaran “Bebadan” sama sekali tidak mengagendakan acara apa-apa kecuali “diam berkabung”.
Sementara itu, selama berlangsung hari berkabung hingga Minggu (9/11) siang tadi, di sekliling kawasan inti “kedhaton” memang terasa sepi. Karena, kegiatan layanan pariwisata di museum libur sejak Minggu (2/11), begitu pula pekerjaan proyek revitalisasi menara Panggung Sangga Buwana. Kegiatan berjaga hanya terjadi di Bangsal Smarakata, yang antara lain terlihat Gusti Moeng dan beberapa sentana dan abdi-dalem.
Walau layanan pariwisata di Museum dan Art Gallery serta proyek revitalisasi Panggung Sangga Buwana diliburkan selama masa berkabung, semua kegiatan dinas rutin kalangan jajaran Bebadan Kabinet 2004 tetap berjalan seperti biasa. Dua abdi-dalem kantor Sasana Wilapa, KRT Darpa Arwantodipuro dan Yemy Triana menyebutkan, kegiatan perkantoran di lembaganya dan kantor bebadan lainnya, tetap masuk seperti biasa.

Keduanya menyebutkan, selama masa berkabung malah ada yang diutus untuk melayat salah seorang prajurit bernama Andreas Sambodja yang upacara pemakamannya berlangsung di Sasanalayu, Boyolali, Sabtu (8/11). KP Siswantodiningrat hadir melayat sebagai utusan-dalem di rumah duka prajurit peniup seruling itu di kampung Margorejo, Gilingan, Banjarsari, Surakarta. KRT Arwanto dan KRT Pramudijanto juga melayat.
“Kalau yang diutus mewakili KP Siswantodiningrat. Tetapi saya dan Ebit (KRT Pramudijanto) juga melayat. Karena, kami sehari-hari bergaul dengan para prajurit. Untuk pencatatan administrasi dan penugasan, juga menjadi tanggung-jawab saya,” tegas KRT Arwanto. Prajurit Andreas Sambodja jatuh sakit saat mengawal mengawal jenazah Sinuhun PB XIII, Minggu (2/11), saat itu dirawat di rumah sakit dan meninggal (8/11).
Layanan wisata di museum kraton ditutup, tetapi suasana di halaman Kamandungan Lor tetap tampak ramai di hari Minggu (9/11) pagi hingga siang tadi. Selain menjadi ajang olah-raga warga sekitar di lingkungan Baluwarti, ruang terbuka itu masih menjadi tujuan kunjungan publik yang ingin berwisata. Apalagi banyak di antaranya yang ingin melihat langsung setelah berbagai media memberitakan wafatnya Sinuhun PB XIII.
Walau beberapa aktivitas lain diliburkan, namun tidak demikian yang terjadi di “kampus” bangsal Marcukunda. Di lembaga Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta yang dipimpin KPH Raditya Lintang Sasangka itu, siang tadi tetap menggelar aktivitas belajar-mengajar bagi sejumlah siswanya. KP Budayaningrat (dwija) sedang mengajar, KPH Lintang dan beberapa dwija dan pamong “ngantor” di dekatnya.

“Ini sebenarnya kegiatan rutin belajar-mengajar sanggar pasinaon yang tidak boleh berhenti. Tetapi, kali ini menjadi kesempatan istimewa. Karena ada kelas khusus bagi para siswa sanggar ‘pang’ (cabang) Semarang. Mereka ‘setengah’ kepada sanggar punjer, la wong belajar pengetahuan budaya yang bersumber dari kraton, kok tidak pernah melihat (merasakan) di kraton?,” ujar KPH Lintang menirukan protes siswa.
Karena ada permintaan yang rasional itu, lanjut Pangarsa (ketua) Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta, semua “dwija” dan para pamong diminta hadir bergilir di kampus “Bangsal Marcukunda”. Karena, sekitar 20 siswa sanggar pambiwara cabang Semarang itu, akan diberi beberapa mata pelajaran sesuai porsi kursusnya oleh para dwija dalam beberapa jam, mulai siang hingga malam, Minggu (9/11) ini.
Di bagian lain, saat “ngobrol” spontan yang terjadi antara KPH Raditya Lintang Sasangka dengan sejarawan Ketua Lokantara Pusat (Jogja) Ki Dr Purwadi dan iMNews.id di “kampus” Bangsal Marcukunda itu, juga sempat menyinggung soal proses aloh kepemimpinan yang sedang berjalan. Perbincangan juga merespon apa yang sedang dibahas atas lontaran pernyataan dari berbagai pihak di beberapa platform media sosial.
Menjawab pertanyaan iMNews.id, KPH Raditya Lintang Sasangka hanya menegaskan, bahwa seorang “Ratu”, istilah lain dari raja khusus untuk terminologi di Kraton Mataram, juga Mataram Islam Surakarta, harus berbekal tiga hal penting. Karena menurutnya, menjadi “Ratu tanpa laku”. Menjadi seorang “Nata” (raja) tidak bisa “tanpa labuh karya”. Dan yang ketiga, menjadi “Narendra”, tidak bisa “tanpa weruh kawula”.

“Tetapi, kita juga harus realistis. Artinya, bagaimana kita bisa tetap eksis, sambil menjalankan segala kegiatan adat dan budaya, tetapi juga bisa menyesuaikan tuntutan zaman. Jadi, selain ada beberapa hal yang mutlak harus dimiliki (dan dilakukan) tadi, seseorang pemimpin dalam terminologi kraton Mataram harus menjalankan ‘budaya hidup’. Bukan hanya punya teori dan tata-nilai,” tunjuk KPH Raditya.
Peneliti PUSPARI LPPM UNS sekaligus dosen FEB UNS itu tidak menguraikan panjang-lebar mengenai makna “Ratu tanpa laku”, “Nata tanpa labuh karya” dan “Narendra tanpa werus kawula” yang menjadi tantangan berat bagi seorang (calon) raja Mataram Surakarta itu. Tetapi dari ungkapan itu bisa dijabarkan, bahwa tampil menjadi seorang “Raja”, tidak bisa tanpa melalui “laku” perjalanan spiritual apapun wujudnya.
“Laku” itu mirip yang disebut KPH Raditya sebagai “budaya hidup”. Artinya, siapapun dalam kapasitas apa saja, terlebih yang berkait dengan terminologi spiritual kraton dan Budaya Jawa, serta berbagai daya-dukungnya di lingkungan Mataram, harus pernah menjalani “budaya hidup”. Yaitu merasakan atau melakukan hubungan batin dengan sumber energi yang terkait, misalnya berziarah ke makam, kirim doa dan tahlil.
Tantangan kedua adalah “Nata tanpa labuh karya”, yang artinya seseorang yang ingin menjadi raja atau calon raja, harus memperlihatkan pengorbanannya dalam karya nyata atau karya pengorbanan. Konteksnya bisa luas sekali, tetapi bisa diawali dari lingkup kraton (Mataram Surakarta), budayanya sendiri (Budaya Jawa) dan “pabrayan agung” atas publik secara luas. Apakah sudah pada paham dan melakukan ini semua?.

Tantangan ketiga yang dimaksud wayah-dalem Sinuhun PB X itu adalah “Narendra tanpa weruh kawula”. Ini adalah tantangan berat yang sulit diwujudkan, tetapi bisa dirasakan dengan cara halus mengikuti alur yang sudah sering terjadi dalam konteks Kraton Mataram Surakarta masa kini. Karena, seorang “Narendra” dituntut harus “weruh”, bahkan bisa “manjing ajur-ajer” di tengah para “kawulanya” sekali waktu.
KPH Raditya tidak memberi penjelasan dan menakar siapa saja yang namanya belakangan masuk “bursa kandidasi” tokoh pengganti Sinuhun PB XIII. Tetapi, dari pernyataannya menyiratkan fakta yang ada pada “bursa kandidasi” proses alih kepemimpinan tahun 2004. Menurutnya, yang terjadi pada proses suksesi kali ini bukan mengulang peristiwa tahun 2004, tetapi bagaimana “mereka” menghadapi tantangan itu?.

Dalam pada itu, ketiga tantangan di atas secara langsung atau tidak sudah banyak dihadapi KGPH Hangabehi, satu di antara dua kandidat dari garis “putra-dalem” atau mungkin lebih dari itu dari lintas generasi. Karena, sepanjang iMNews.id mengikuti banyak perjalanan Gusti Moeng menginisiasi berbagai kegiatan adat di internal maupun di eksternal kraton, selalu memberi kesempatan KGPH Hangabehi terlibat.
Pelibatan KGPH Hangabehi dalam berbagai kegiatan adat yang diinisiasi Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA dan segala kapasitasnya, karena yang bersangkutan adalah putra tertua dari dua putra-dalem Sinuhun PB XIII. Dialah tokoh yang sedikit banyak sudah mencoba tiga tantangan di atas, dan salah satunya sudah dikenal baik dan akrab di kalangan elemen masyarakat adat, khususnya Pakasa. (won-i1)









