Pertunjukan Seni yang Sedang Marak di Kalangan “Rakyat Bawah”, “Menghibur Diri” di Saat-saat Sulit? (seri 3 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:May 29, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Pertunjukan Seni yang Sedang Marak di Kalangan “Rakyat Bawah”, “Menghibur Diri” di Saat-saat Sulit? (seri 3 – bersambung)
KLASIK KONVENSIONAL : Pertunjukan seni wayang kulit yang kini semakin sempit wilayah sebaran edukasi dan apresiasinya, format asli yang klasik dan konvensional hingga kini masih dirawat dengan baik oleh Kraton Mataram Surakarta sebagai sumber Budaya Jawa. Para pesindennya masih menghadap ke "kelir" (layar). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tinggal Pribadi dan Kelompok Terbatas yang “Merawat” Seni Budaya Jawa

IMNEWS.ID – PADA seri sebelumnya (iMNews.id, 28/5) disuguhkan kondisi umum dan sepak-terjang grup OM Lorenza yang mewakili seni pertunjukan musik modern kreatif sebagai ilustrasi. Jenis musik ini sama-sama punya titik singgung dalam grafik peredaran seni rakyat di “pasar hiburan”, yang laris-manis di tengah suasana rakyat lelah fisik dan psikis, ekonomi lesu.

Kesenian rakyat (tradisional) yang juga laris di “pasar hiburan” di lokasi dan segmen “pengguna” atau “penanggap” yang sama dengan musik dangdut modern kreatif (OM Lorenza), maka bisa diasumsikan kedua kategori kesenian itu benar-benar  jenis hiburan yang sesuai selera “pasar”. Ada pelepasan simbol-simbol “keagungan” di antaranya, terutama kesenian rakyat.

Pelepasan simbol-simbol keagungan terutama yang berkait dengan nilai-nilai estetika dan etikanya, dialami kesenian wayang kulit atau seni pakeliran/pedalangan. Karena, jenis kesenian ini menempati kasta tertinggi dalam dalam seni Budaya Jawa, sebagai gabungan beberapa unsur kesenian yang menyatu paripurna dan dianggap mewakili kehidupan mikro dan makro-kosmos.

Karena realitas dan fakta di lapangan semakin berubah (dikreasi) dan terdegradasi dari waktu ke waktu untuk mengejar trend dan “selera pasar”, maka simbol-simbol yang dimiliki tinggal “sekadar hiburan” sesaat saja. Sebagai hiburan yang  sesuai “selera pasar”, wayang kulit apalagi jenis-jenis kesenian “berbau” tradisi lainnya, akan terus dikreasi mengikuti pasar.

MOMENTUM PENTING : Pentas wayang kulit klasik konvensional yang pernah disuguhkan Kraton Mataram Surakarta selama gelar upacara adat hajad-dalem Sekaten Garebeg Mulud, menjadi momentum yang ideal, tepat dan penting untuk mengedukasi publik etnik Jawa khususnya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Akhirnya, format dan simbol-simbol kesenian di pasar hiburan yang laris dalam suasana kehidupan seperti sekarang ini, bisa diasumsikan sama atau “sederajat” seni pertunjukan musik dangdut yang diwakili OM Lorenza. Meskipun, di dalam penampilan masing-masing khususnya dangdut, ada sebuah ekspresi kebanggaan yang mewakili sebuah sikap atas suasana yang dirasakan.

Hukum kausalitas jelas tampak dalam peristiwa seperti tertulis dalam judul besar artikel di atas. Dan bila dicermati dan dianalisis lebih dalam, aset kekayaan masyarakat adat etnik peradaban Budaya Jawa yang sedang dirongrong dan akan terus “dilumpuhkan” agar mudah “digulung” dan dilenyapkan. Simbol-simbol keagungannya “diamputasi”, untuk “sepiring nasi”.

Pelukisan di atas, lebih ke arah materi produk seni budayanya, warisan leluhur khususnya di zaman Mataram yang “digodok” dari abad 16-19 di zaman Mataram Islam Surakarta Hadiningrat (1745-1945). Warisan aset peradaban itu lalu “diklaim” para pelaku seni sebagai “milik rakyat” untuk “mengaburkan” hak kekayaan inteletual penciptaannya agar “bebas diperdagangkan”.

“Iya mas. Jadi, kalau sekarang dalam situasi yang sedang sulit ini masih ada yang ‘nanggap’ wayang atau beberapa jenis kesenian tradisi (juga dangdut-Red), itu kebanyakan hanya pribadi/perorangan. Atau kelompok yang sedang menggelar tradisi Bersih Desa dan sebagainya. Mereka urunan (patungan) untuk nanggap wayang, klenengan atau campursari,” ujar Ki Purbo.

TOKOH KONSISTEN : Dr Purwadi selaku intelektual kampus, peneliti sejarah dan ketua Lokantara Pusat di Jogja itu adalah tokoh praktisi seni pedalangan yang konsisten pada format sajian klasik dan konvensional wayang kulit, khususnya dalam soal keruntutan penyajian sesuai kaidahnya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ki Purbo Asmoro, dalang profesional senior dan dosen jurusan pedalangan ISI Surakarta, memiliki pandangan yang sangat terarah dan mendasar dalam melihat fenomena “aneh” sekarang ini. Karena, dirinya adalah salah seorang seniman pelaku yang berkiprah di dunia seni pedalangan dari zaman ke zaman, sejak masih berstatus mahasiswa 40-an tahun lalu hingga kini.

“Jadi, sekarang sudah tidak ada lembaga dan instansi pemerintah maupun swasta ‘nanggap’ wayang kulit. Ada kebijakan dari masing-masing pimpinan internal yang melarang menggelar acara (resepsi) apapun termasuk peresmian, mengeluarkan uang untuk nanggap wayang. Mungkin juga termasuk beberapa jenis kesenian lain. Kalau musik, saya tidak tahu,” tandasnya lagi.

Dalam soal maraknya pertunjukan seni tradisional yang sudah dikreasi atau “dibesut” dan sedang “boom” di tengah situasi ekonomi lesu saat ini, menurut dalang kelahiran Pacitan (Jatim) 58 tahun lalu itu, bukan karena hanya faktor ekspresi kejenuhan rakyat di bawah. Tetapi banyak faktor yang berpengaruh, termasuk adanya potensi “ancaman aliran” tertentu.

“Sekarang, yang masih nanggap wayang itu tradisi bersih desa di berbagai daerah, yang biayanya urunan. Jadi, penyangga budaya pertunjukan wayang dan sebagainya tinggal itu. Jadi, faktornya bukan itu (kejenuhan-Red). Tetapi, ada aliran tertentu yang menolak tradisi,” ujar Ki Purbo yang mengaku kebagian jadwal pentas Dies Natalis UNS, terakhir 3 tahun lalu.

MASA KINI : Penyajian pertunjukan wayang kulit dengan bintang tamu pelawak yang mengajak pesinden berdiri ikut melawak, bisa mewakili “proses pelepasan” nilai-nilai dari simbol-simbol keagungan seni pakeliran yang dulu dianggap mewakili mikro dan makrokosmos kehidupan masyarakat Jawa. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dari sudut pandang Dr Purwadi, soal situasi ekonomi yang lesu dan suasana sosial-politik yang mungkin ada hubungannya dengan fenomena maraknya pertunjukan beberapa kesenian tradisional “besutan” dan musik dangdut (OM Lorenza), banyak faktornya. Tetapi, perilaku peradaban kehidupan secara umum dan seni budaya Jawa yang menjadi hiburan punya kisah sendiri.

Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara (Lokantara) Pusat di Jogja itu merinci profil seni budaya yang tersisa saat ini, karena mendapat lima perlakuan publik yang terdiri dari berbagai unsur. Pertama adalah perlakuan partai politik, kekuasaan dan para praktisi politik yang menggunakan berbagai jenis kesenian tradisional khas Jawa untuk pengerahan (massa) sosial.

“Jadi, kesenian tradisional yang selalu digembar-gemborkan para pimpinan (kekuasaan dan parpol) sebagai budaya yang adi luhung itu, ya hanya di saat ada peristiwa politik saja. Misalnya, untuk kampanye Pemilu tiap 5 tahun itu. Sajiannya, ya disesuaikan dengan kemauan (politik) yang nanggap. Intinya, posisi kesenian hanya sebagai alat untuk pengerahan massa,” ujarnya.

Dia mencontohkan pertunjukan wayang kulit yang “ditanggap” dalam keperluan pengerahan sosial, yang sedikitnya karena ada dua kesan yang bisa membentuk opini publik. Yaitu kesan telah peduli pada pelestarian wayang kulit yang mereka sebut adiluhung. Kemudian, kesan bahwa simpatisan pendukungnya adalah kalangan seniman wayang yang mereka klaim adiluhung itu.

MENJADI SAMA : Dalam konteksi penyajian seperti pentas wayang di atas, derajatnya menjadi sama dengan penampilan musik dangdut di “pasar hiburan” lepas di wilayah yang sangat luas. Karena, nilai estetika dan etika yang dibawa dan melekat pada penampilannya hanya sekenanya dan seadanya yang jauh dari adiluhung. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Mencermati “perlakuan” publik pertama yang diugkap Dr Purwadi itu, ketika dianalisis lebih jauh merupakan sebuah proses pendangkalan nilai-nilai dari simbol-simbol produk estetika dan etika Budaya Jawa yang bernama seni pakeliran wayang kulit itu. Itu sudah terjadi sejak lama, bahkan bisa disebut, lahirnya lembaga-lembaga pendidikan seni itu sebagai penandanya.

Sangat berbeda persoalannya, ketika yang sedang marak di “pasar hiburan” jenis seni musik dangdut seperti yang “diwakili”  OM Lorenza. Karena, kesenian itu sejak hadir hanya membawa nilai-nilai dan simbol-simbol estetika dan etika seadanya, bukan yang berciri-ciri Budaya Jawa. Musik itu memang murni sebagai produk jasa hiburan, terlebih bagi rakyat kelas bawah. (Won Poerwono – bersambung/i1)