Sikap Antisipasi untuk Kebutuhan Ratusan Tahun ke Depan yang “tak Terduga”
IMNEWS.ID – PENANAMAN pohon jati yang “intensif” dilakukan sejak awal Mataram di sepanjang pegunungan kapur selatan dan pegunungan Kendeng atau sepanjang pegunungan kapur utara, dalam kajian Dr Purwadi adalah sebuah gagasan futuristik. Selain sebagai industri yang menghasilkan uang, juga untuk mencukupi keperluan “negara” sejak Mataram, bahkan sejak era Demak.
Gagasan itu ketika dieksekusi dan menjadi bagian dari perencanaan jangka panjang para pemimpin “negara”, waktu itu, jelas didahului dengan sebuah “penelitian” dan “kajian”. Karena, faktanya hanya pohon jati yang bisa tumbuh subur di lahan berkarakter kapur, batangnya bisa panjang, lurus, berdiameter besar, keras dan paling bagus untuk bangunan dan mebel.
Penelitian dan kajian tentang sifat dan karakter pohon itu, pasti sudah ada khususnya di lingkungan perguruan tinggi (Fakultas Kehutanan) dan institusi Perhutani, juga beberapa di internet. Yang jelas, keberadaan hutan jati di pegunungan sisi selatan dan utara Pulau Jawa itu, erat kaitannya dengan keberadaan kraton-kraton di Jawa mulai abad 12.

Walau dokumen manuskrip dari Sasana Pustaka Kraton Mataram Surakarta belum muncul ke permukaan, keberadaan hutan pohon jati Danayala di Desa Watusomo, Kecamatan Slogohimo, Kabupaten Wonogiri itu banyak menyimpan misteri. Yaitu misteri soal lembaga kekuasaan yang punya otoritas atas hutan “pohon sejenis” di Jawa, yang luasnya tinggal 9,2 hektar di Danalaya itu.
Kemudian, misteri tentang pembagian otoritas atas wilayah geografis yang isinya hutan pohon jati, mengingat pegunungan kapur yang ditumbuhi hutan pohon jati itu memanjang di wilayah utara dan selatan Pulau Jawa, yang membentang dari Jateng sampai Jatim. Dan yang paling esensial, adalah misteri bagaimana mulanya pohon jati menjadi pilihan untuk ditanam?.
Dari berbagai sumber khususnya Sunarto (56), saat diwawancarai iMNews.id di sela-sela menerima kedatangan Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA) menyerahkan SK tetepan sebagai juru-kunci Danalaya, Sabtu (10/5), hanya mengisahkan singkat. Bahwa, hutan itu sudah ditunggu Ki Ageng Danalaya yang merupakan seorang keturunan Kraton Majapahit abad 14.

Saat dianalisis, siapa lembaga yang punya otoritas atas wilayah yang di dalamnya ada aset hutan pohon jati, itu penting dirunut. Karena, di Jawa ada sejumlah kraton yang menjadi pewaris tahta turun-temurun, yang ternyata tidak selalu “satu jalur”, melainkan lebih. Misalnya Prabu Brawijaya V yang disebut Raja terakhir Majapahit, ternyata masih ada VI dan VII.
Prabu Brawijaya V yang menurunkan Raden Patah, Raja Kraton Demak, tetapi pada waktu hampir bersamaan ada penerus bergelar Brawijaya VI dan VII, yang pusat kerajaannya dekat kawasan Trowulan, masih di wilayah (kini) Jatim. Adanya beberapa jalur keturunan ini, bisa diasumsikan melahirkan lebih dari satu lembaga otoritas atas wilayah aset hutan jati pohon yang ada.
Sebagai ilustrasi, beberapa kraton yang muncul di wilayah Cirebon (Jabar), juga banyak mendirikan bangunan kraton dengan material kayu jati cukup dominan. Ini juga bisa diasumsikan, bahwa kraton-kraton itu juga punya otoritas aset hutan jati di dekatnya, karena waktu itu belum ada pembagian wilayah adiminstrasi pemerintahan Jabar, Jateng, Jatim dan sebagainya.

Dengan analisis dan asumsi seperti di atas, maka jika hutan jati di Desa Watusomo, Kecamatan Slogohimo, Kabupaten Wonogiri itu menjadi aset Kraton Mataram Surakarta, tentu sangat masuk akal. Karena, sejak Panembahan Senapati (Raja Mataram ke-1), sistem administrasi kewilayahan mulai dibangun yang memungkinkan memberi batas otoritas atas aset hutan jati itu pula.
Namun, seiring perjalanan waktu panjang sampai Kraton Mataram Islam pindah ke Kartasura, kemudian ke Surakarta dan muncul Kraton Jogja dan beberapa kadipaten, hingga kini tak ada dokumen muncul ke publik yang menjelaskan rincian otoritasnya. Yang muncul ke publik sehabis kerusuhan 1998, adalah hutan jati di Lamongan (Jatim) sebagai aset milik Mataram Surakarta.
Soal hutan pohon jati aset kraton di Kabupaten Lamongan yang dijarah habis di sekitar kerusuhan 1998, memang pernah diakui Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA), beberapa waktu lalu. Namun setelah itu tidak ada lagi tindak-lanjutnya, meskipun status itu bisa ada benarnya, mengingat selama 200 tahun Mataram Surakarta adalah “negara” monarki.

Walau masalah posisi dan status “bekas” kepemilikan hingga kini masih menjadi misteri, tetapi di sisi lain yaitu kearifan muncul dari sana. Yaitu sikap antisipasif para leluhur Dinasti Mataram dan para pemimpin/pengelola kraton, walau kayu jati menjadi industri dagang. Mereka sangat sadar dan peduli terhadap kelangsungan “peradaban” dan manusianya, jauh ke depan.
Sikap antisipasif itu tampak saat “negara” membutuhkan kelengkapan segala macam insfrastruktur pendukung, termasuk untuk membangun tempat tinggal. Dalam kerangka kebutuhan ini, sudah tersedia pohon jati dan tinggal mengambil dari hutan. Tetapi di sana ada kearifan, ukuran pengambilannya adalah skala kebutuhan yang “tanpa merusak”, bukan tebang habis karena “tamak”.
Perkembangan zaman dan perubahan tatanan sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya yang terjadi pada ratusan tahun kemudian, adalah hal yang “tak diduga” para inisiator dan penjaga lestarinya hutan jati. Karena, hutan industri itu peruntukannya sangat jauh dari makna pasal 33 UUD 45 khususnya ayat 3, banyak yang gundul dan mendatangkan bencana besar. (Won Poerwono – bersambung/i1)