Kraton “Butuh” Elemen Organisasi “yang Bisa Menjaga” Kewibawaan dan Keharumannya
IMNEWS.ID – PERSOALAN kembalinya eksistensi Lembaga Dewan Adat (LDA) menjadi lembaga berbadan hukum yang resmi dan sah berdasar keputusan hukum tertinggi di Tanah Air (putusan PK MA RI No.1006/PK/Pdt/2022-Red) yang telah dieksekusi pada 8 Agustus 2024 (iMNews.id, 26/4), adalah jawaban yang jelas dan tegas atas “pertanyaan” seorang yang mengaku “abdi-dalem”.
Dari hasil penelusuran iMNews.id, seseorang yang mengaku “abdi-dalem” dan “ngoceh” mempertanyakan eksistensi Lembaga Dewan Adat dan elemen pakasa di grup WA Pakasa, ternyata adalah “siluman penyusup”. Yang bersangkutan adalah anggota organisasi sejenis yang konon lahir di “kraton”, tetapi tidak jelas asal-usulnya dan untuk tujuan apa kelahirannya?.
Sabtu (26/4) kemarin, KPH Edy Wirabhumi (Pimpinan Eksekutif Lembaga Hukum Kraton Mataram Surakarta ) selaku tim hukum LDA telah mengeluarkan “peringatan” kepada kalangan media yang tidak menjalankan kewajiban tugas jurnalistiknya “memasang” hak jawab LDA. Penjelasannya, secara tidak langsung bisa menjawab “abdi-dalem” yang mempertanyakan eksistensi LDA itu.

Penegasan soal eksistensi LDA itu mengingatkan kembali pada sejarah perjalanan Kraton Mataram Surakarta dari awal sekali ketika Dinasti Mataram didirikan Panembahan Senapati selaku Raja pertama Kraton Mataram Islam. Selama kurun waktu 400-an tahun, bahkan 500-an tahun dihitung dari leluhur dinasti sejak Demak, bahwa kraton berkembang secara natural sesuai zamannya.
Artinya, selain paugeran adat yang menjadi konstitusi dan acuan fundamental membangun kehidupan, peradaban dan komunal masyarakat adatnya, secara alami juga membutuhkan elemen-elemen “inovatif” sesuai kebutuhan saat itu. Yaitu kebutuhan yang bisa diadaptasi dengan kultur adat internalnya, misalnya kebutuhan fundamental terjaganya unsur Hankam, yaitu prajurit.
Eksistensi prajurit sebagai penopang utama Hankam untuk menjaga stabilitas lembaga masyarakat adat dan kraton, menjadi elemen sangat penting, bahkan vital. Padahal, salah satu “peralatan” perang itu jelas bukan murni dan mutlak produk paugeran adat. Contoh inilah yang bisa menjadi bukti rasional atau pembenaran atas perkembangan kraton dari abad ke abad.

Analogi kebutuhan elemen pendukung atau pembantu di luar dalil-dalil paugeran adat, misalnya kehadiran pelabuhan atau tempat bersandar perahu atau kapal yang digunakan sebagai sarana transportasi pada waktu itu. Perahu atau kapalnya bisa dimaknai menjadi bagian “turangga” selain wisma, kukila dan wanita, tetapi “dermaganya” adalah inovasi/perkembangan baru.
Berpijak dari perkembangan/perubahan atau inovasi secara natural yang terus terjadi dan dimaklumi dalam kata bijak “Nut jaman kelakone”, maka pertambahan dan pengurangan di luar konstitusi paugeran adat bisa dimaknai sebagai kebutuhan. Bahkan, yang disebut konstitusi itu sendiri, juga bisa berubah atau menerima inovasi sejauh tidak merusak tata-nilai yang ada.
Karena kebutuhan yang ternyata “sangat ramah” atau bisa beradaptasi dengan nili-nilai konstitusi paugeran adat, maka hadirnya organisasi Pakasa, Putri Narpa Wandawa, lembaga Museum dan Pariwisata, Lembaga Dewan Adat, Lembaga Hukum Kraton (Mataram) Surakarta sama tujuannya ketika kraton butuh prajurit, pelabuhan/demaga, perkebunan, pabrik, kereta api dan sebagainya.

Hadirnya hal-hal inovatif yang masuk kategori “Nut jaman kelakone” itu, ternyata sangat adaptatif dan bisa tereduksi atau diakomodasi dengan baik sehingga tidak bertentangan/merusak sistem tata nilai paugeran adat. Proses perubahan yang “ramah”, halus dan adaptif seperti ini, sesungguhnya dan seharusnya terjadi di kraton, seperti contoh-contoh di masa lalu.
Bukan proses perubahan “sulit” diakomodasi sistem tata-nilai paugeran adat, misalnya semua pintu kraton hendak ditutup karena Sinuhun akan melakukan meditasi. Atau seorang istri Sinuhun yang duduk di kursi mendampingi, dalam upacara-upcara adat. Atau rekaman video yang memperlihatkan dua putri-dalem sedang bermain sepakbola di depan Pendapa Sasana Sewaka.
Alasan mereka yang “membela” dengan kalimat “Aturane Sinuhun sing saiki pancen kaya iki…”. “Paugeran sing berlaku saiki iki ya kaya ngene iki….”, terdengarnya memang hal yang bisa dimaklume oleh publik “yang tidak paham”. Karena, sangat banyak yang tak paham makna konstitusi tak tertulis paugeran adat itu, termasuk mereka yang “membela” di atas.

Kalau mencermati kalimat pembelaan itu, lalu kita sandingkan dengan “ocehan” seseorang yang mengaku “abdi-dalem” di grup WA Pakasa, belum lama ini, menjadi semakin menambah bingung publik yang memperhatikan setiap perkembangan kraton. Mereka jadi bertanya-tanya, apakah yang berbicara itu benar-benar bisa diyakini sebagai “orang kraton” atau sekadar klaim.
Kemudian, bila melihat kalimat pembelaan dan isi ocehan itu, apakah yang berbicara atau “ngoceh” itu benar-benar memahami makna paugeran adat?. Sebab, kalau yang mengeluarkan “kalimat pembelaan” dan yang “mengaku abdi-dalem” abdi-dalem itu benar-benar memahami sistem tata-nilai paugeran adat, tentu tidak akan mengeluarkan kalimat atau berbicara seperti itu.
Kalau kalimat pembelaan dan yang “ngoceh” itu bertentangan dengan sistem tata-nilai paugeran adat, ya sebenarnya sudah tidak pantas disebut “orang kraton” atau “abdi-dalem”. Kraton tidak butuh orang/elemen yang justru merusak nama baik dan merendahkan martabat kraton. Tetapi sangat butuh orang/elemen yang bisa menjaga kewibawaan, kehormatan dan keharumannya. (Won Poerwono -bersambung/i1)