Di Zaman Sinuhun PB III, “Hanya” Dua Bregada dan PB VI Ada 13 Bregada
IMNEWS.ID – Temuan data KRT Darpa Arwantodipuro (iMNews.id, 17/4/2025), sejak Sinuhun PB II jumeneng nata di Kraton Mataram (Ibu-Kota) Kartasura (1727-1745) maupun ketika pindah ke Ibu kota Surakarta (1745-1749), kraton memiliki 10 bregada prajurit. Tetapi, jumlah golongan/bregada itu berkurang drastis menjadi hanya dua saat Raja berganti Sinuhun PB III.
Perbedaan yang sangat mencolok itu, terkesan tidak rasional. Tetapi bisa dianalisis dan akan menunjukkan beberapa alasan, baik sebelum atau sesudah ditemukan data baru yang melengkapi tentang aset kekayaan prajurit Kraton Mataram Surakarta. Pertama, mungkin jumlah bregada yang disebut untuk masing-masing periode kepemimpinan Raja, hanya ditampilkan sebagian.
Data yang tampil sebagian itu artinya adalah data baru yang melukiskan jumlah keseluruhan bregada prajurit hasil pengembangan dari pemimpin sebelumnya (Sinuhun Amangkurat Jawi-IV). Kemudian, bisa dimaknai hanya ditampilkan jumlah tambahannya saja. Semua bisa memungkinkan terjadi, tetapi akan mendekati fakta sesungguhnya kalau ada alasan lain yang berkait.
Yaitu, ketika Sinuhun PB II yang selama 7 tahun mempersiapkan pinda Ibu Kota “negara” (monarki) plus prosesi boyong-kedhaton dari Kartasura ke Ibu Kota baru di Surakarta Hadiningrat, jelas membutuhkan dana besar. Kebutuhan dana besar itu tak hanya untuk membiayai perencanaan, pelaksanaan proyek dan prosesi boyong-kedhaton, tetapi pasti untuk logistik Hankam.

Untuk biaya pengamanan (Hankam) mulai dari perencanaan, prosesi boyong kedhaton hingga pelaksanaan pembangunan proyek semua jenis infrastruktur Ibu Kota baru di Surakarta, jelas butuh dana sangat besar. Biaya sangat besar dikeluarkan untuk logistik personel Hankam yang terkesan “dilipat-gandakan” jenis bregada dan jumlah pasukannya, demi kelancaran semua itu.
Ketika melihat berbagai kebutuhan untuk semua “kerepotan” pindah Ibu Kota itu, sisi rasional itu muncul. Karena lebih dari 50 persen “APBN” Mataram Kartasura dan Surakarta, jelas dikonsentrasikan untuk mewujudkan “boyong kedhaton”, proyek pembangunan Ibu Kota dan logistik Hankam pengamannya. Sayang, catatan pendukung berbagai kemungkinan ini belum muncul.
Sebagai ilustrasi, karena ibunda Sinuhun PB II adalah Kanjeng Ratu Kentjana putri Adipati Tirokusumo (Bupati Kudus), semakin menambah bobot rasionalitas pemusatan APBN pindah Ibu Kota itu. Maka perlu dilihat peran sosok “ibu” yaitu istri raja (Sinuhun Amangkurat IV) yang digantikannya, dari sebelumnya hingga sesudahnya rata-rata kuat secara ekonomi.
Karena sosok permaisuri Raja sejak Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma (Raja Mataram ketiga) rata-rata dari keluarga yang kaya-raya, maka dari sanalah sumber utama APBN yang digunakan untuk membiayai seluruh kebutuhan “negara” dan rakyatnya. Oleh sebab itu, “kerepotan” Sinuhun PB II itu menjadi contoh penting bahwa ada tokoh wanita di balik sukses seorang Raja.

Dengan asumsi pemusatan seluruh energi dari APBN untuk membiayai karya mahas besar Sinuhun PB II, maka sangatlah masuk akal ketika melihat data kekuatan Hankamnya saja tercatat ada 10 golongan atau bregada prajurit. Dan data dari catatan KRT Darpa Arwantodipuro berikutnya, juga menunjukkan adanya rasionalitas tinggi soal fakta yang mendekati sesungguhnya.
Karena, ketika tampuk pimpinan beralih kepada putranya, Sinuhun PB III (1749-1788), jumlah golongan/bregada prajurit yang muncul di catatan itu hanya dua. Yaitu Bregada Prajurit Carangan berjumlah 125 orang yang merangkap sebagai “Korsik Drumband” dipimpin Pangeran Adipati Anom (putra mahkota) dan Prajurit Darapati 120 orang sebagai pengawal permaisuri.
Catatan tentang kekuatan Hankam prajurit pada zaman Sinuhun PB III jumeneng nata itu, juga bisa dianalisis dengan banyak kemungkinan. Bisa karena Bregada Prajurit Carangan dan Prajurit Darapati itu merupakan bentukan baru, tetapi 10 bregada sebelumnya tidak ditampilkan, atau memang yang sebelumnya diganti dengan yang baru dua jenis/bregada tersebut di atas.
Kemungkinan lain berdasar analisis kritis, bisa saja saat Sinuhun PB III posisi “keuangan negara” (APBN) sudah menipis atau yang tersedia sudah dialokasikan untuk membiayai kelanjutan proyek pembangunan semua infrastruktur Ibu Kota negara. Sehingga, sudah tidak ada alokasi untuk membangun kekuatan Hankam seperti yang dilakukan ayahandanya, Sinuhun PB II.

Sinuhun PB III yang meneruskan tahta ayahandanya, Dinuhun PB II di Ibu Kota Surakarta Hadiningrat dan meneruskan pembangunan segala macam sarana infrastruktur Ibu Kota, sangat rasional apabila tidak perlu kekuatan Hankam berlipat-ganda. Sebab, pada zaman PB III suasana politik lebih terkendali, terasa damai dan jauh dari aktivitas dan potensi perang.
Seperti kajian sejarah Dr Purwadi, saat Sinuhun PB III jumeneng nata nyaris tak ada perang karena kekuatan yang bisa disebut menjadi potensi ancaman sudah “mendapatkan” haknya. Yaitu dari Pangeran Mangkubumi yang diberi “gadhuhan” tanah “Alas Mentaok” untuk dibangun kraton tempat tahtanya sebagai Sultan HB I, melalui “Perjanjian Giyanti” 13-2- 1755.
Potensi ancaman berikut, dari Pangeran Sambernyawa yang diizinkan menempati seberang utara Ibu Kota Surakarta Hadiningrat dengan wilayah 4 kabupaten (Karanganyar, Sragen, Wonogiri, Gunungkidul) sebagai tempat tahta dan wilayah Kadipaten Mangkunegaran berdasar Perjanjian Salatiga, 1757. Karena potensi ancaman sudah tidak ada, PB III mengurangi kukuatan Hankam.
Dua hasil analisis tentang “APBN” yang menipis dan suasana damai yang dicapai “Bapak Perdamaian” Sinuhun PB III itu, menjadi faktor yang sangat rasional hingga kekuatan Hankam tinggal 2 bregada. Yang masih dimungkinkan, tetap memelihara sisa-sisa kekuatan prajurit peninggalan ayahanda, Sinuhun PB II, meskipun tidak ditampilkan sebagai data pada catatan itu.

Pada zaman Sinuhun PB IV (1788-1820), yang muncul dalam catatan hanya 4 bregada/golongan prajurit, yaitu Bregada prajurit Talangpati, Prajurit Prawiteng, Prajurit Mijipinilih dan Bregada Prajurit Jayengastra. Masing-masing disebut berkekuatan 124 orang (Talangpati), 50 orang (prawiteng) dan 125 orang (Mijipinilih), sedang Prajurit Jayengastra tak disebut jumlahnya.
Ini juga patut dianalisis, karena dimungkinkan punya alasan-alasan untuk pencatatan secara administratif atau mungkin situasi dan kondisi keuangan negara (APBN) pada kepemimpinan Sinuhun PB IV belum membaik. Karena, pada zaman itu proses pembangunan infrastruktur Ibu Kota masih berlangsung, bahkan banyak karya “fisik dan nonfisik” lain yang diwujudkan. (Won Poerwono – bersambung/i1)