Pakasa Cabang Kudus Sulit Cari Perajin Nasi Tumpeng Uba-Rampe Wilujengan
KUDUS, iMNews.id – Pengurus Pakasa Cabang Kudus menggelar hajadan “donga wilujengan” atas “kembalinya” terompet pusaka peninggalan Mbah Glongsor di kediaman ketuanya, KRA Panembahan Didik Gilingwesi Hadinagoro, Desa Singocandi, Senin malam (11/11). Syukuran itu sekaligus mendoakan Nyi MNg Maya Tri Prasetyowati (almh), warga Pakasa yang meninggal sepulang umroh.
Ada beberapa hal menarik dalam acara syukuran dan donga wilujengan yang digelar Ketua Pakasa Cabang Kudus di salah satu Majlis Taklim yang dipimpinnya. Selain syukuran kembalinya “terompet pusaka” dan kirim doa untuk almarhumah penerima hadiah umroh, agenda acara rutin tiap Senin malam itu juga diisi pelepasan 16 ekor burung perkutut dan pengundian umroh.
“Selain wilujengan atas kembalinya terompet, malam itu semua yang hadir dalam pertemuan juga mengirim doa kepada warga Pakasa yang meninggal sepulang umroh, Nyi MNg Maya Tri Prasetyowati. Tetapi ada lagi, yaitu kami melepaskan 16 ekor perkutut malam itu. Selain biar lepas dan hidup di alam bebas, kalau ada yang dihinggapi akan mendapat hadiah”.
“Ya memang betul. Dari 16 ekor yang dilepas, rata-rata hanya hinggap sekenanya yang ada di dekatnya. Lainnya hanya terbang muter-muter di dekat teras kecil rumah saya. Kebetulan kok ada dua warga peserta wilujengan yang dihinggapi perkutut cukup lama. Yaitu Nyi Lurah Nita Ayu Anggraini dan MNg Miftahul Munir Hadi Prasetyo,” ujar KRA Panembahan Didik.
Tetapi karena hadiahnya hanya untuk seorang, lanjut Ketua Pamong Makam Mbah Glongsor itu, dua warga yang dihinggapi perkutut itu lalu diundi lagi dan pemenang yang beruntung adalah MNg Miftahul Hadi Prasetyo. Hadiah pemenang undian umroh dari 16 ekor perkutut yang dilepas bebas itu, berupa biaya ibadah umroh seperti warga beruntung sebelumnya.
Hadiah biaya umroh dan pelepasan 16 ekor burung perkutut, adalah rangkaian menentukan pemenangnya, tetapi keduanya merupakan bentuk berbagi amal sedekah dari KRA Panembahan Didik Gilingwesi Hadinagoro atas nama keluarganya. Menurutnya, berbagai amal sedekah itu dilakukan karena dirinya merasa memiliki banyak dosa dan kesalahan, terutama di masa mudanya.
Disebutkan, acara donga wilujengan yang digelar malam itu dihadiri 72 orang atau sebagian kecil dari keseluruhan anggota Pakasa Cabang Kudus dan jumlah santri tiga Majlis Taklim yang diasuh KRA Panembahan Didik Gilingwesi. Karena, kediaman yang dijadikan tempat wilujengan sangat terbatas luasnya, maksimum bisa menampung 100 orang dalam kondisi berdesakan.
Ada satu hal lagi yang menarik dari acara yang pas di jadwal pertemuan salah satu Majlis Taklim itu, Senin malam, adalah simbol wilujengan yang biasanya dijadikan menu santapan utamanya. Yaitu soto dan beberapa jenis makanan ringan lain, tetapi bukan nasi tumpeng seperti biasa masyarakat Jawa menggelar kenduri wilujengan di berbagai daerah di Pulau Jawa.
“Di Kabupaten Kudus, apalagi di kotanya, sudah lama masyarakat tidak mengenal jenis-jenis simbol tradisi dan Budaya Jawa. Termasuk nasi tumpeng yang menjadi ambengan yang dibutuhkan saat kenduri dan donga wilujengan. Warga Kudus yang sudah dewasa dan berumah-tangga, rata-rata menjadi karyawan pabrik rokok dan sebagainya. Waktunya habis untuk itu”.
“Maka, untuk kebutuhan acara wilujengan seperti ini, yang pesan makan ke perusahaan katering, nasi soto atau yang lain, biar praktis. Kalau masak dan bikin nasi tumpeng, mungkin sudah tidak ada waktu dan malah jadi repot. Di sini sulit mencari katering dan warga yang bisa membuat nasi tumpeng dan uba-rampe wilujengan,” ujar KRA Panembahan Didik.
Menanggapi masukan dan usulan iMNews.id soal upaya pelestarian Budaya Jawa termasuk mencukupi kebutuhan uba-rampe wilujengan, trah darah-dalem Sunan Kudus yang melestarikan nama “Alap-alap Gilingwesi” itu menyatakan setuju. Dia memandang positif bila Pakasa Cabang Kudus merintis pembekalan ketrampilan membuat uba-rampe wilujengan bagi warganya.
Seperti diketahui, Kraton Mataram Surakarta memiliki dapur umum “Koken Gandarasan” yang salah satu fungsinya menyiapkan segala bentuk uba-rampe untuk upacara adat termasuk donga wilujengan. Tradisi dan adat dari Budaya Jawa membuat simbol wilujengan ini masih dipelihara warga di sekeliling kraton, apalagi yang di desa-desa di luar wilayah Surakarta.
Mengenai 16 ekor burung perkutut yang dilepas saat donag wilujengan, menurutnya itu bukan bagian dari 93 ekor yang disiapkan untuk peringatan Ultah ke-93 Pakasa. Karena, yang 93 ekor itu sudah disiapkan sendiri yang nanti akan dilepas di tiga lokasi terpisah, masing-masing 31 ekor pada malam hari di waktu bersamaan yaitu tepat pada tanggal 29 November.
Khusus mengenai terompet Mbah Glongsor, setelah dijamas beberapa waktu lalu (iMNews.id, 5/11), MNg Afif Adi Prasetyo (juru-kunci makam) diminta kembali menyimpan di almari pos jaga makam. Sejak itu, peziarah terus berdatangan, termasuk Kantor Dinas PUPR Pemkab Kudus yang membuat pintu darurat ke arah makam, untuk memudahkan para karyawannya berziarah. (won-i1).